Pandemi COVID-19 tidak hanya menimbulkan masalah kesehatan dan kematian jasmaniah, tetapi juga melahirkan masalah-masalah yang sifatnya spiritual. Kehadiran gereja melalui karya pastoralnya di tengah jemaat amatlah diperlukan. Akan tetapi, norma physical distancing yang diberlakukan di mana-mana selama masa pandemi COVID-19 membuat pihak gereja amat terhalang untuk dapat hadir secara fisik dalam melakukan karya pastoralnya. Artikel ini bertujuan untuk membaca profil situasi tersebut dengan data akurat yang diperoleh berdasarkan suatu penelitian kuantitatif (survey) dan diteguhkan melalui penelitian kualitatif (in depth interview) terhadap salah satu gereja di kota metropolitan, yaitu Gereja Kristen Jawa Joglo Jakarta. Hasil penelitian tersebut adalah ditemukan bahwa kehadiran gereja yang tanpa pamrih melalui para pelayan pastoral dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan secara on-site dan online di tengah kehidupan jemaat merupakan wujud konkret karya pastoral yang menyejahterakan bagi jemaat. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa kegiatan online memiliki bobot rohani yang sama dengan kegiatan on-site. Keduanya dapat digunakan oleh para pelayan pastoral sebagai sarana mengembangkan kehidupan spiritual jemaat. Tulisan ini hendak menyodorkan suatu refleksi teologis tentang sikap dasar rohani yang menjadi arah pastoral kehadiran gereja yang lebih berbobot di tengah situasi pandemi COVID-19 ini, yaitu dengan sikap tanpa pamrih.
In the moment of grief, people need consolation coming from the very core of human existence: living communication with one’s source of being. This communication ensues stories of life-sustaining one’s self-identity and spiritual vitality. When a story of life enlightens one’s experience of grief, it becomes a curative force for one’s soul-healing process. Yet if the life story becomes ineffective, it needs an “editing” process—or a revision—to get a meaning reconstruction that is more compatible with the grief situation. Using a postcolonial ethnography, we evaluate the pastoral care done by Nias Christian Church for people experiencing grief. We will describe a theoretical framework to argue that pastoral care is fundamentally an editing process of the story of life-sustaining the well-being of the human soul. We, then, will describe the Nias tradition on grief. Finally, we will discuss how the church should develop pastoral care interculturally.
This article describes a theological idea about the presence of God among God’s people. The presence of God takes the form of becoming “flesh” (incarnation), as depicted by the Johannine tradition in the Gospel of John, the First Letter of John, and the Book of Revelation. By becoming “flesh” God wholly participates in the vulnerability and precariousness of the human “flesh”: pointing to the very nature of humanity. This articlelocates the divine incarnation within the daily life of human beings in the “flesh”. Using the method of simple Bible reading, with a limited theoretical approach, this article suggests a hermeneutical message of the Johannine tradition. Since the Word has become “flesh,” the divine realm could always be found in the vulnerability of the world. As a result, despitesuff ering (theodicy) remains a mystery, the experience of vulnerability — through critical, persistent, and grateful faith — is potentially worthy of accommodating the divine presence. Abstrak Artikel ini mendeskripsikan suatu visi teologis tentang Allah yang setia menyertai umat-Nya. Kesetiaan menyertai umat-Nya itu terwujud dengan cara men-“daging” (berinkarnasi), sebagaimana terlukis di dalam tradisi Rasul Yohanes: yaitu di dalam Injil Yohanes, Surat 1 Yohanes, dan Kitab Wahyu. Cara men-“daging” itu membuat Allah senantiasa terlibat dalam aspek-aspek kerapuhan dan kehinaan kodrati “daging” manusia. Pertanyaannya, di manakah keterlibatan ilahi itu ditemukan di dalam realitas insani sehari-hari yang selalu bersalutkan aneka kerapuhan kodrati? Dengan metode pembacaan Alkitab sederhana,dengan pendekatan teoretis tafsir yang terbatas, artikel ini berusaha mendekati pertanyaan tersebut dengan memeriksa pesan hermeneutis dari tradisi Yohanes. Karena Sang Sabda menjadi “daging”, maka Allah bersemayam di dalam kerapuhan dunia. Akibatnya, meskipun misteri penderitaan (theodicy) tidak akan pernah dapat dijelaskan oleh manusia secara lengkap, pengalaman derita itu — via iman yang kritis, tabah, dan penuh syukur — selalu berpeluang untuk diolah menjadi wadah perjumpaan ilahi.
This article criticizes the way of thinking of the Indonesian Statute of Higher Education known as “Undang-undang No. 12 Tahun 2012”, which puts the academic discipline of theology into the realm of religious science which must be fostered, coordinated, and supervised by the Ministry of Religion. This placement has been brought about injudiciously regardless of the reality on the ground where—for many years in Indonesia—the efforts of doing higher education on theology have been carried out by many Christian communities using their consideration freely: whether to have their theological schools registered by the Ministry of Religion or whether to have them registered by the Ministry of Education. Evaluating the philosophy of the Statute, this article argues about a misconception regarding the idea of “theology” in the Indonesian system of national education. By showing the misconception, this article suggests an alternative direction for public policy: that the academic discipline of theology should be explicitly recognized in Indonesia not only as a science of religious life registered by the Ministry of Religion but also as a science of humanities registered by the Ministry of Education. AbstrakArtikel ini menghadirkan kritik atas cara berpikir UU No. 12 Tahun 2012 yang meletakkan ilmu teologi ke wilayah rumpun ilmu agama yang harus dibina, dikoordinasi, dan diawasi oleh Kementerian Agama. Tampaknya, peletakan ini dilakukan secara sembrono tanpa memerhatikan kenyataan lapangan yang me-nunjukkan bahwa selama bertahun-tahun usaha pengembangan ilmu teologi di Indonesia telah dilakukan oleh masyarakat Kristen dengan pilihan bebas: apa-kah hendak dikembangkan di bawah binaan Kementerian Agama ataukah di ba-wah binaan Kementerian Pendidikan. Dalam artikel ini, kritik digulirkan dengan memperlihatkan adanya miskonsepsi—pada cara berpikir undang-undang ter-sebut—atas ilmu teologi. Dengan memperlihatkan miskonsepsi itu, artikel ini bermaksud menunjuk suatu arah alternatif bagi kebijakan publik: supaya disi-plin ilmu teologi tidak dengan semena-mena diletakkan di wilayah rumpun ilmu agama yang dibina oleh Kementerian Agama namun juga diakui secara eksplisit di Indonesia sebagai wilayah rumpun ilmu humaniora yang dibina oleh Kemen-terian Pendidikan.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.