ASEAN Economic Community has been entered into force in December 31st, 2015. A free labour movement is one of major agendas to support the establishment of ASEAN as a single market and production base of ASEAN. This agenda becomes a hot debate since it can be an opportunity or threat for Indonesia. In fact, most of Indonesian people view it as a threat for Indonesia. On the contrary to that view, this research takes a clear position to support that a free labour movement is not a threat for Indonesia. This research is aimed to give a new perspective to see labour market liberalization in ASEAN not as a threat by giving new empirical findings. Theoritically, this research will give new empirical findings to explain that a free labour movement is not a threat for Indonesia by using liberal-institutionalis perspective. Practically, this research will give some policy recommendations addressed to the Government of Indonesia and other stakeholders related to employment issue.Keywords: ASEAN Economic Community, free labour movement, Indonesia
AbstrakKerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) bukanlah isu baru bagi Indonesia.Sejak Konperensi Asia Afrika (KAA) diselenggarakan pada tahun 1955 di Bandung, saat itulah Indonesia sudah memulai kebijakan kerjasama selatan-selatan. Hingga saat ini berarti sudah 60 tahun lebih Indonesia bergelut dengan kebijakan kerjasama selatan-selatan dan triangular ini.Meskipun demikian, masih ada banyak masalah dalam pengimplementasian kebijakan ini. Tidak semua orang Indonesia memahami isu KSST ini atau perlunya memberikan bantuan ke negara sedang berkembang yang lain sementara masih banyak permasalahan pembangunan di dalam negeri. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa mengapa Indonesia memberikan bantuan luar negeri melalui skema KSST. Selain itu tujuan ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan dan tantangan Indonesia dalam mengimplementasikan KSST. Tulisan ini akan menggunakan pendekatan liberal-institusionalisme untuk memahami dan menganalisa isu KSST ini. Keterlibatan Indonesia dalam G20 akan diangkat sebagai studi kasus dalam tulisan ini untuk menemukan jawabab mengapa Indonesia mau memberikan bantuan luar negeri melalui skema KSST, tentunya dengan menggunakan pandangan Liberalis-Institusionalisme. Argumen utama dari tulisan ini adalah Indonesia dapat menciptakan mutual gain melalui skema KSST dan memberikan kontribusi positif dalam mewujudkan kepentingan kolektif dari anggota G20 untuk meningkatkan kesejahteraan global.
The research examines the rhetorical style and political priorities in Indonesian President Joko Widodo’s public speeches during his first term in office. Content analysis is used to investigate a purposive sample of 66 presidential speeches from May 2017 to May 2018. In addition, the research identifies the similarity of words to understand the selective appraisal of Indonesia’s progress based on President Jokowi’s utterances. In one contentious oration on May 18th, 2017, delivered to government officials, the president bluntly asked ‘what’s wrong with us’? The question presupposes that something is wrong in Indonesian politics, and is narrowcast to an audience of government officials, some of whom are implicated in the developmental shortcomings, administrative inefficiencies, and social conflicts that persist in Indonesia today. The president’s strategic message implies that Indonesia’s economic development unduly lags regional competitors; disinformation and hate speech create social divisions and political distortions; and there is a significant digital and technological divide in the country. The research result shows that the president’s passion extends beyond bureaucratic reform and into contentious political topics, where selective attempts at disruptive truth-telling are made.
<p><em>Permasalahan lingkungan masih menjadi isu utama bagi negara-negara di Kepulauan Pasifik. Kawasan ini dikenal sebagai salah satu yang paling rentan terkena bahaya alam dan perubahan iklim di dunia</em><em>.<a title="" href="file:///C:/Users/Asus/Downloads/The%20Collaboration%20Indo-PICs%20(draft).docx#_ftn1"><strong>[1]</strong></a> </em><em> Penelitian terbaru menunjukkan bahwa setidaknya 8 pulau di Samudera Pasifik telah tenggelam akibat naiknya permukaan air laut</em><em>.<a title="" href="file:///C:/Users/Asus/Downloads/The%20Collaboration%20Indo-PICs%20(draft).docx#_ftn2"><strong>[2]</strong></a> </em><em> </em><em>Ancaman serupa pun terjadi di Indonesia.</em><em> Sebagai negara yang terletak di kawasan Pacific Ring of Fire dan dikelilingi tiga lempeng tektonik menyebabkan Indonesia </em><em>menjadi wilayah yang</em><em> rawan bencana</em><em>. dampak perubahan iklim telah mengancam sekitar 2000 pulau akan tenggelam sebelum tahun 2050</em><em>.<a title="" href="file:///C:/Users/Asus/Downloads/The%20Collaboration%20Indo-PICs%20(draft).docx#_ftn3"><strong>[3]</strong></a> </em><em>Melihat pada tantangan dan ancaman yang dihadapi oleh negara-negara di kepulauan Pasifik dan Indonesia, membangun kerja sama yang konstruktif untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang terjadi menjadi hal yang penting. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi tantangan-tantangan keamanan lingkungan yang dihadapi oleh negara-negara kepulauan Pasifik, memetakan kerja sama yang sudah dilakukan antara Indonesia dengan kawasan Pasifik, dan mengelaborasi mengapa kerja sama ini penting. Penelitian ini mengandalkan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur. Penelitian ini berpendapat bahwa kerja sama yang dilakukan melalui kerangka kerja sama Selatan-Selatan dan Triangulat merupakan upaya untuk memperkuat peran Indonesia dalam menjalin hubungan dengan PICs dan untuk mengatasi tantangan lingkungan.</em></p>
Abstrak Riset ini merupakan studi reflektif yang didanai oleh proyek dari Australia Awards in Indonesia melalui skema Alumni Grant Scheme. Judul proyek ini adalah “Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender di Tataran Lokal. Studi Kasus: Upaya Pemberdayaan Sosial dan Ekonomi Komunitas Perempuan Penyintas Kekerasan”. Proyek ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Riset ini memiliki arti penting mengingat angka kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih cenderung tinggi, bahkan angka kasusnya meningkat pada 2017 jika dibandingkan data pada 2016. Selanjutnya, riset ini juga berfokus kepada poin 5 SDGs, khususnya poin 5.2 yaitu penghapusan seluruh bentuk kekerasan terhadap perempuan serta para gadis baik di ruang public maupun ruang privat. Pertanyaan riset yang akan dijawab melalui riset ini: Pertama, efek dari kekerasan berbasis gender terhadap kondisi sosio-ekonomi dari para perempuan di wilayah Majalaya, Paseh, Arjasari, dan Ciparay; Kedua, tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para penyintas kekerasan terhadap perempuan; Ketiga, bagaimana dampak dari pendekatan “social entrepreneurship” terhadap pemberdayaan ekonomi dari para perempuan penyintas kekerasan. Riset ini menggunakan pendekatan studi kasus melalui pemilihan empat desa di kawasan Kabupaten Bandung yaitu Majalaya, Paseh, Arjasari, dan Ciparay sebagai lokasi utama dari riset lapangan ini. Para perempuan dari keempat desa ini tergabung ke dalam sebuah organisasi yang disebut Bale Istri yang diinisiasi oleh Sapa Institut. Kata kunci: kekerasan berbasis gender, perempuan penyintas kekerasan, social entrepreneurship, Kabupaten Bandung. Abstract This research is a reflective study from a project funded by Australia Awards in Indonesia through Alumni Grant Scheme. The name of the project is “Social and Economic Empowerment of Women Domestic Violence Survivors”. The project took places in Bandung Regency, West Java, Indonesia. This research is important since the cases of violence against women in Indonesia are still high – even the number of the cases increased in 2017 compared to the data in 2016. In addition, this research also focuses on SDGs point 5 particularly point 5.2 to eliminate all forms of violence against all women and girls in the public and private spheres. This research questions: firstly, the impacts of gender-based violence towards the economic and social conditions of the women in Majalaya, Paseh, Arjasari, and Ciparay; secondly, the challenges faced by the women violence survivors; thirdly, how social entrepreneurship impacts on the economic empowerment of the women violence survivors. Case study is utilized as the design of inquiry by selecting four villages in Bandung Regency including Majalaya, Paseh, Arjasari, and Ciparay as main sites of the field research. The women in those four sites are joined in one organization called Bale Istri initiatied by Sapa Institute. Keywords: gender-based violence, women violence survivors, social entrepreneurship, Bandung Regency
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.