Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat lebih rinci transmisi penetapan BI rate terhadap perubahan SBI, PUAB, bunga deposito, bunga kredit, jumlah M1 & M2 dan kondisi ekonomi makro yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan keseimbangan neraca pembayaran. Pemahaman terhadap transmisi ini akan memberikan gambaran keseluruhan dari kebijakan moneter yang bersifat makro dan kebijakan mikro, di tatanan perbankan. Penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif, analisis menggunakan tabel, grafik, gambar serta Eviews sebagai perangkat kuantitatif. Kerangka berfikir tulisan ini adalah transmisi kebijakan moneter mulai dari BI rate menjadi Sertifikat BI (SBI), PUAB, Bunga Deposito, Bunga Kredit, spread (interest margin) perbankan, inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter berupa penetapan BI rate oleh Bank Indonesia merupakan kebijakan dengan sasaran berjenjang mulai dari sasaran operasional, sasaran antara dan sasaran akhir. Hasil dari kebijakan memerlukan lag yang lamanya sesuai dengan kategori sasaran, untuk itu perlu dilihat sasaran BI rate sesuai dengan jenjangnya. Kalau tidak, maka akan terjadi misleading penilaian terhadap keberhasilan penetapan BIrate yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pra krisis ekonomi 1998, Indonesia merupakan Negara urutan ketiga dalam tujuan investasi langsung Jepang (FDIJ, dibawah China dan Amerika Serikat Namun, paska krisis ekonomi 1998 tersebut, posisi Indonesia turun ke ranking kedelapan dan telah dilewati oleh India, Thailand, Vietnam, Rusia, dan Brazil. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah: kondisi infrastruktur yang buruk di dalam negeri terutama masalah perlistrikan, kurangnya kepastian hukum, adanya pajak berganda, fluktuasi nilai tukar rupiah yang terlampau tajam, dan lemahnya hubungan antar industri (linkage) . Dalam perdagangan luar negeri Jepang merupakan partner dagang terbesar Indonesia. Pada tahun 2007, total perdagangan Indonesia Jepang mencapai nilai USD 23,6, merupakan yang terbesar di ASEAN dibandingkan perdagangan Negara anggota ASEAN lainnya terhadap Jepang. Namun jenis ekspor Indonesia ke Jepang di dominasi oleh komoditi dasar seperti minyak bumi, gas, bahan tambang, dan produk kayu. Sementara ekspor Negara anggota ASEAN yang lain ke Jepang seperti Singapura, Thailand dan Malaysia didominasi produk manufaktur berupa komponen yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi. Gejala lainnya adalah bahwa ada tendensi peningkatan nilai perdagangan Indonesia dengan dua Negara Asia Timur yaitu China dan Korea. Hal ini positif bagi Indonesia namun kurang baik bagi kelanjutan hubungan ekonomi Indonesia Jepang. Berbagai masalah ini perlu dibicarakan secara lebih serius oleh kedua Negara agar nilai perdagangan dan investasi Indonesia Jepang dapat lebih meningkat lagi.
Foreign Direct Investment (FDI] plays an important role in Indonesia economy, since it brings not only capital but also technology and marketing network. Indonesian economy also transforms from the poor country to low middle income country since early 1970's. From the observation, writer recognized that in 2010, the FDI to Indonesia grows quite significant. Three sectors' namely manufacture, mining, and transportation are the important sector that attracted more foreign investor. However, other minor sectors such as electricity, energy, and clean water still record low value since they are still dominated by state own enterprises. To this extence, government of Indonesia has to relax the monopoly of SOE to these sectors and give the opportunity to FDI to involve in these businesses. This year, Government is processing the regulation regarding tax holiday incentives that expected to boost further FDI to Indonesia.
The ASEAN Economic Community (AEC) declared in 2003 in Bali has begun in 2015. The main agenda of the AEC is a single market and production base that includes freight traffic, goods, services, investment, labor and capital. The financial sector is a sector whose implementation is allowed to be leased until 2020 before being fully implemented. In the banking sub-sector is agreed a scheme known as the ASEAN Banking Integration Framework (ABIF) in which ASEAN banks that meet the criteria as Qualified ASEAN BANK (QAB) can participate in the ABIF scheme. The QAB criteria are: (i) well managed (ii) have sufficient capital (iii) obtain recommendation from the authorities, (iv) pass the Basel provisions and (v) be considered important banks in the country of origin To see the readiness of Indonesia’s banks to participate in the ABIF mechanism, the authors conducted a study to answer the question of whether Indonesia’s banks are ready to participate in the ABIF mechanism. The methodologies used by the authors are to determine some criteria against the condition of Indonesia’s banks such as financial ratios and bank health, which then the authors compare to the conditions of banks in other neighboring ASEAN countries. The result is that Indonesia’s banks in particular the QAB category are ready to participate in the ABIF mechanism whose implementation will begin in full by 2020.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.