In the practice of the Indonesian presidential system, the presidential elections held after the legislative elections do not strengthen the presidential system, checks and balances mechanism between the government and the People’s Representative Council have not run according to the mandate of the constitution yet. By using hermeneutic and verstehen approaches, as well as political sociology perspective, this paper considers that strengthen checks and balances mechanism between the government and People’s Representative Council is by carrying out regional and national simultaneous elections. The merging of legislative elections (People’s Representative Council and Regional representative Council) and presidential elections at national level also merging legislative and executive elections at regional level have several functions: first, the merging will result an effective and efficient governance in running the government; second, an easier and lighter electoral unification model, both for organizers in preparing stages of elections or for voters in channeling their voting rights; third, political issues that are programmed by candidate pairs and legislative candidates will be more focused and directed so that the public is clearer in determining their political choices. Dalam praktik sistem presidensial Indonesia, pemilu presiden yang diselenggarakan setelah pemilu legislatif tidak memperkuat sistem presidensial, mekanisme saling mengawasi (checks and balances) antara pemerintah dan DPR belum berjalan sesuai konstitusi. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutik dan verstehen serta perspektif sosiologi politik dan kelembagaan, tulisan ini memandang bahwa memperkuat checks and balances antara pemerintah dan parlemen melalui penyelenggaraan pemilu serentak nasional dan lokal. Penggabungan pemilu legislatif (DPR dan DPD) dan pemilu presiden pada level nasional serta penggabungan pemilu legislatif (DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota) dan eksekutif (gubernur, bupati, walikota) pada level daerah menjadi pilihan; pertama, penyatuan tersebut akan menghasilkan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam menjalankan kekuasaannya; kedua, model penyatuan level pemilu lebih mudah dan ringan, baik bagi penyelenggara dalam menyiapkan tahapan maupun bagi pemilih dalam menyalurkan hak pilihnya; ketiga, isu politik yang diprogramkan pasangan calon maupun calon legislatif akan lebih fokus dan terarah sehingga masyarakat lebih jelas dalam menentukan pilihan politiknya.
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana kedaulatan rakyat, melalui Pemilu akan diseleksi elite pemimpin melalui pemilihan yang demokratis. Pemilu Serentak 2019 merupakan Pemilu pertama yang menyatukan pemilihan presiden-wakil presiden dengan pemilihan legislatif, hasil Pemilu menunjukkan adanya pergeseran dan pertukaran posisi antar elite berkuasa. Berdasarkan hasil Pemilu 2019 di Sulawesi Selatan terjadi pergeseran posisi elite, dari total 85 anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, 59 orang merupakan pendatang baru (pertama terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi), hanya 26 orang incumbent yang masih terpilih. Pergeseran posisi ini disebabkan oleh meningkatnya kesadaran politik warga, juga dipengaruhi oleh adanya praktek klientalisme dan patronase. Sejumlah elite terpilih merupakan calon yang tidak terlalu kuat mengakar, juga bukan elite yang menonjol dalam masyarakat, namun faktor "X" yang mengantarkan sejumlah calon pada DPRd provinsi Sulawesi Selatan. Di antara elite terpilih terdapat sejumlah nama yang merupakan keluarga atau kerabat elite berkuasa, misalnya putra Bupati Bone terpilih sebagai anggota DPRD provinsi, putra anggota DPRD RI dari PPP juga diduga ia terpilih, karena pengaruh ayahnya.
Penelitian ini akan melihat aspek keberagaman dan multikulturalisme dalam pemilu elektoral. Artikel ini melihat ada kecenderungan kemenangan seseorang pada Pilkada karena alasan multikultural, diantaranya ikatan kebersamaan etnis, kesamaan suku dan daerah. Penelitian ini berlangsung di Luwu Timur dan menggunakan pendekatan perilaku politik, politik identitas, teori multikulturalisme, dan teori kekuasaan. Penelitian menggunakan metodologi kualitatif dengan metode pengumpulan data berupa wawancara secara intensif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan Pilkada Luwu Timur tahun 2015, etnisitas tidak terlalu memainkan peranan penting karena sentimen etnis pemilih relatif kecil. Pemilih bisa menerima kehadiran kepala daerah yang berbeda dengan etnis di luar dirinya. Keadaan di lapangan ditemukan bahwa dalam proses Pilkada, masyarakat cenderung memilih melihat hasil kinerja dari calon dan sosok figur calon. Sosok Thoriq Husler dalam kesehariannya yang hidup di tengah-tengah masyarakat multikultural memiliki rasa toleransi dan simpatik yang tinggi kepada semua kalangan masyarakat. Sehingga beliau dicintai dan diterima oleh semua kalangan etnis di Luwu Timur.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.