Osteoarthritis is a chronic and degenerative disease characterized by pain and damage to joint cartilage, which often causes pain and limited movement in the elderly population to disrupt daily activities and cause severe socio-economic impacts. The risk factor is more than 50 years, female gender, obesity, history of knee trauma, and anatomical abnormalities. This study was conducted to determine the relationship between body mass index to the degree of genu osteoarthritis. The design of this study was observational analytic with a cross-sectional study approach, using consecutive sampling. The tools used are medical record paper, weight scales, staturmeter, X photo articulation genu. Parameters examined were gender, age, weight (BB), height (TB), grade osteoarthritis (OA) genu Kellgren-Lawrence. It is conducted at Tarakan Hospital, Jakarta. The results showed 67,5% of respondents were female, 67,5% of respondents with OA genu aged > 50 years, 67,5% of respondents with BMI ≥ 23, 17,5% OA genu with grade Kellgren-Lawrence 1, 22,5% OA genu with grade Kellgren-Lawrence 2, 30% OA genu with grade Kellgren-Lawrence 3 and 30% OA genu with Kellgren-Lawrence 4. Results of the chi-square test have a relationship between body mass index (p = 0.042) on the degree of osteoarthritis genu in Tarakan Hospital, Jakarta. It was concluded that there was a relationship between body mass index to the degree of osteoarthritis genu in Tarakan Hospital, Jakarta. Key words: Osteoarthritis, Body Mass Index, Grade OA Genu Kellgren-Lawrence.
Bronchopneumonia is the most common picture of pneumonia found, especially in the ICU. Bronchopneumonia occurs due to the interaction between infection and cellular immunity which causes peribronchial consolidation. This process can result in leukocytosis in the patient. This research is an observational analytic study with a cross sectional method which was carried out in RSUD dr. Chasbullah Abdulmajid Bekasi City, West Java with secondary data from patient medical records in the period 1 November 2021 – 19 December 2021. Samples were taken using the total sampling method from population being treated at the ICU Cattleya. The variables taken were age, gender, the diagnosis to be taken, the results of a chest X-ray, and the value of the patient. The sample used was 101 patients. The most demographic characteristics were men at 49.5%, the 18-64 year group at 68.3%, and the basic diagnosis of ICU care for cerebrovascular disease was 24.8%. Statistical test using Chi-square test found that there was no relationship between bronchopneumonia and leukocytosis (p=0.172; p>0.05). This study showed that there was no association between chest x-ray bronchopneumonia and leukocytosis in ICU patients
Pendahuluan: SARS-CoV-2 atau COVID-19 merupakan wabah baru yang menjadi Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Nyeri kepala merupakan manifestasi yang paling sering, memiliki heterogenitas tinggi, dapat muncul pertama dan sebagai gejala tunggal. Nyeri kepala dapat menjadi perhatian dini terhadap identifikasi dini infeksi, namun hingga saat ini tidak ada data sistematis dari karakteristik nyeri kepala akibat COVID-19. Tujuan: Untuk mengetahui frekuensi dan karakteristik nyeri kepala pada pasien COVID-19 Metode: Studi cross-sectional pada pasien COVID-19 dengan keluhan nyeri kepala di Instalansi Gawat Darurat (IGD) RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi. Teknik pengambilan sampel adalah total sampling menggunakan data sekunder rekam medis periode Oktober-Desember tahun 2020. Hasil: Dari 69 pasien dengan keluhan nyeri kepala terkonfirmasi COVID-19, mayoritas adalah perempuan (62%) dan kelompok usia terbanyak 40-60 tahun (71%). Nyeri kepala terkait COVID-19 pada sebagian besar pasien adalah nyeri kepala bilateral (49,28%), intensitas sedang (52,17%), dan bersifat menekan/mengikat (40,56%). Kesimpulan: Nyeri kepala terkait COVID-19 adalah keluhan yang sering ditemui di Instalansi Gawat Darurat (IGD) RSUD dr. Chasbullah Abdulmajid dengan lokasi nyeri paling banyak pada daerah temporal, intensitas nyeri sedang dan bersifat nyeri menekan/ mengikat.
Pengembangan teknologi citra medis terus dilakukan sampai saat ini karena sifatnya yang non-invasif dan memiliki manfaat yang besar dalam membantu klinisi mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan penyakit. Salah satu teknologi citra medis yang digunakan saat ini adalah digital subtraction angiography (DSA), yang berfungsi sebagai alat diagnostik penyakit kardiovaskular. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji berbagai modalitas citra medis vaskular yang ada saat ini termasuk DSA, serta peran pencitra medis DSA dalam menunjang prosedur terapi penyakit serebrovaskular. Metode: Artikel ini berupa telaah literatur yang didapatkan melalui peramban google cendekia dan pubmed dengan kata kunci: “digital substraction angiography, DSA, computed tomography angiography, CTA, neuro intervensi, magnetic resonating angiography, MRA”. Pencitra medis DSA sampai saat ini masih menjadi baku emas untuk mendeteksi penyakit pembuluh darah dan visualisasi diagnostik pada terapi intervensi pada beberapa penyakit vaskular, dengan tingkat resolusi spasial yang tinggi menghasilkan akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan MRA dan CTA namun masih memiliki kelemahan dalam hal sifatnya yang invasif, waktu diagnosis dan paparan radiasi. DSA masih lebih unggul dibandingkan modalitas lain untuk kepentingan diagnostik dan sebagai alat penunjang pada terapi endovaskular khususnya stroke, namun beberapa kelemahan DSA akan dapat diatasi dengan perkembangan teknologi dimasa depan. DSA masih relevan digunakan sebagai standar baku dalam diagnosis penyakit vascular
Stenosis Aterosklerosis Intrakranial (ICAS) adalah penyebab umum Transient Ischemic Attack (TIA) dan stroke iskemik yang merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia. Hingga 40 - 50%, tingkat ICAS simptomatik secara signifikan lebih tinggi pada populasi Asia dan mungkin merupakan penyebab paling umum dari stroke di seluruh dunia. Indikasi untuk perawatan endovaskular merupakan tantangan dan pemilihan bahan serta teknik intervensi pada dasarnya berbeda dari pengobatan stenosis ekstrakranial. Prosedur konservatif (perubahan medis dan gaya hidup) dan terapi endovaskular serta pendekatan terapi endovaskular (angioplasti balon perkutan (PTA) atau angioplasti stent-assisted (PTAS)) tersedia untuk perawatan ICAS. Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk menevaluasi peran angioplasty sebagai tatalaksana dari stenosis aterosklerosis intrakranial. Perawatan endovaskular, seperti balloon angioplasty dengan atau tanpa stenting, telah muncul sebagai pilihan terapeutik untuk stenosis intrakranial simtomatik. Ada banyak jenis teknik endovaskular yang tersedia untuk perawatan ICAS, termasuk balloon angioplasty, ballon – mounted stent (Pharos Vitesse), dan self – expandable stent (Wingspan), masing-masing memiliki fitur dan keunggulan spesifik yang berkaitan dengan lesi arteri intrakranial yang berbeda. Maka dari itu, terapi endovascular pada pasien ICAS dapat dipertimbangkan sebagai alternatif untuk mencegah TIA/stroke iskemik berulang. Tindakan endovaskular membutuhan pertimbangan yang komprehensif dan persiapan multidisiplin agar dapat memberikan pelayanan yang efektif untuk pasien. Kata Kunci : Stenosis Aterosklerosis Intrakranial, Angioplasty, Aterosklerosis Intrakranial, Stenosis Intrakranial
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.