Latar belakang: Apendisitis adalah suatu proses peradangan pada appendiks. Kejadian appendisitis paling sering terjadi antara usia 10 dan 20 tahun, dengan risiko seumur hidup sebesar 8,6% pada pria dan 6,7% pada wanita. Secara anatomi, dinding caecum pada anak lebih tipis dari pada orang dewasa dan caecum tidak dapat mengembang serta omentum yang lebih kecil, sehingga meningkatkan resiko perforasi dan tidak dapat mencegah penyebaran infeksi meluas dalam peritonium pada kejadian perforasi pada anak. Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit apendisitis yaitu menganggap penyakit apendisitis merupakan penyakit maag atau sakit akibat terlambat makan sehingga masyarakat awam menganggap remeh penyakit apendisitis. Maka pengetahuan terhadap apendisitis akut pada anak sangat penting karena akan mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu tingkat pendidikan karena Pendidikan merupakan sarana yang digunakan oleh seorang individu agar nantinya ia memperoleh pemahaman tentang kesadaran mengenai kesehatan. Tujuan: Mengetahui hubungan tingkat pendidikan orang tua terhadap pengetahuan mengenai apendisitis akut pada anak di SD Shalom Semarang Metode: Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Penelitian dilakukan pada orang tua dari siswa/i SD Shalom Semarang yang berada di kelas 4 hingga 6 dengan jumlah responden penelitian 50 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat menggunakan Uji Chi-square. Hasil: Didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orang tua terhadap pengetahuan mengenai apendisitis akut pada anak di SD Shalom Semarang (p = 0,077). Kesimpulan: Tidak Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orang tua terhadap pengetahuan mengenai apendisitis akut pada anak di SD Shalom Semarang Kata kunci: apendisitis akut pada anak, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, orang tua PendahuluanApendisitis adalah kejadian umum pada populasi orang dewasa dan anak-anak. Kondisi ini paling sering terjadi antara usia 10 dan 20 tahun dengan risiko seumur hidup masing-masing 8,6% dan 6,7% untuk pria dan wanita. Pada kejadian apendisitis akut pada anak sering terjadi pada usia 10-15 tahun, dimana 50% pasien berusia kurang dari 5 tahun memiliki risiko perforasi dan semakin
THE OCCURRENCE AND EVOLUTION OF APHASIA SYNDROME WITHIN ONE MONTH AFTER STROKEABSTRACTIntroduction: Aphasia is a barrier for the rehabilitation of patients with stroke. The examination of aphasia is not only for diagnostic purpose, but also for the patient remaining language proficiency information and for comprehensive stroke treatment.Aims: To study the incidence rate of aphasia in acute ischemic stroke and the change of the aphasia syndrome one month after stroke.Methods: A descriptive observational with cohort study on ischemic stroke patients in Neurology ward, Dr. Hasan Sadikin Hospital and other hospitals in Bandung between November 2017 and February 2018. Tes Afasia, Diagnosis, Informasi dan Rehabilitasi(TADIR, a tools for diagnostic and rehabilitation of aphasia for Indonesian) was used to diagnose aphasia initially and repeated one month after diagnosis.Results: Aphasia was found in 24 out of 102 patients with acute ischemic stroke (23.5%). Majority was male (58.3%), the average age of the patients was 55.6±11,4 years and 8.8 years of education. The most common type of stroke causing aphasia was cardioembolic (62.5%). Based on the types, the most aphasia syndrome found in this study were global aphasia (58.3%), followed by Broca aphasia (25%). Twenty patients with aphasia were re-examined after one month and 40% patients experienced transformation into other type of aphasia syndrome. Between patients with global aphasia, 45.5% transformed into Broca aphasia and 9% into transcortical motor aphasia. Patients with Broca aphasia did not experience transformation, 50.0% of Wernicke aphasia transformed into conductive aphasia, and one conductive aphasia patient transformed into anomic aphasia.Discussion: The occurrence of aphasia in acute ischemic stroke is 23.5%. Within one month after stroke, 40% patients with aphasia have shown transformation from one type into other type of aphasia syndrome.Keyword: Aphasia, language proficiency, stroke, TADIRABSTRAKPendahuluan: Afasia dapat menghambat rehabilitasi pasien stroke. Pemeriksaan afasia, tidak hanya untuk keperluan diagnosis, namun juga sebagai informasi kemampuan berbahasa pasien yang tersisa dan akan bermanfaat untuk tata laksana stroke yang komprehensif.Tujuan: Mengetahui kejadian afasia pada stroke iskemik fase akut dan perubahannya pada satu bulan kemudian.Metode: Penelitian deskriptif observasional dengan rancangan kohort terhadap pasien stroke iskemik yang dirawat di ruang rawat inap Neurologi RSUP Dr. Hasan Sadikin dan beberapa RS di Bandung dan sekitarnya pada bulan November 2017 sampai Februari 2018. Penilaian afasia menggunakan Tes Afasia, Diagnosis, Informasi, dan Rehabilitasi (TADIR) yang diulang pada satu bulan kemudian.Hasil: Afasia ditemukan pada 24 dari 102 pasien stroke iskemik fase akut (23,5%). Mayoritas subjek adalah laki-laki (58,3%) dengan rerata usia 55,6±11,4 tahun dan rerata lama pendidikan 8,8 tahun. Penyebab afasia terbanyak adalah stroke kardioemboli (62,5%). Sindrom afasia yang terbanyak ditemukan adalah afasia global (58,3%) diikuti afasia Broca (25%). Pemeriksaan ulang pada satu bulan pascastroke dilakukan terhadap 20 pasien afasia, dan didapatkan 40% mengalami perubahan sindrom. Sebanyak 45,5% pasien afasia global berubah sindrom menjadi afasia Broca dan 9,0% menjadi afasia transkortikal motorik. Afasia Broca tidak mengalami perubahan sindrom. Seorang pasien dengan sindrom afasia Wernike berubah menjadi afasia konduksi; dan satu pasien dengan sindrom afasia konduksi berubah menjadi afasia anomik.Diskusi: Kejadian afasia pada stroke iskemik fase akut adalah 23,5%. Satu bulan pascastroke, 40% pasien afasia mengalami perubahan sindrom.Kata kunci: Afasia, kemampuan berbahasa, stroke, TADIR
Latar Belakang : Durasi tidur yang rendah dan kualitas tidur yang buruk dapat mempengaruhi kognitif dan psikomotor mahasiswa kedokteran. Jika profil tidur pada mahasiswa tidak segera diketahui dan diatasi maka akan berdampak pada kesehatan mereka dikemudian hari. Penelitian ini bertujuan menggambarkan profil durasi tidur dan persepsi kualitas tidur mahasiswa kemudian memberi input manajemen tidur yang baik. Desain Penelitian : Jenis penelitian ini adalah studi formatif dengan responden mahasiswa Fakultas Kedokteran Unika Soegijapranata sebanyak 42 orang dipilih secara purposive sampling. Pengambilan data dilakukan di akhir semester ganjil tahun ajaran 2020-2021 dengan menggunakan google form. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis univariat dan perhitungan mean dan standar deviasi untuk data numerik serta dilakukan uji proyeksi resiko. Hasil : Sebanyak 63,3% responden perempuan dan 83,3% laki-laki menilai kualitas tidur mereka baik dan 75% responden yang duduk di semester 2 dan 63,6% responden semester 4 menilai memiliki kualitas tidur yang baik. Rata-rata durasi tidur responden adalah 5,7 jam per malam dan responden perempuan lebih dominan mengalami durasi tidur < 7 jam/malam (0,75). Probabilitas meningkatnya prevalensi gangguan durasi tidur akan semakin memburuk apabila tidak dilakukan intervensi pengendalian gangguan tidur. Kesimpulan : Persepsi terhadap kualitas tidur tidak sejalan dengan durasi tidur yang dilaporkan oleh responden. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi berupa managemen waktu tidur dan sleep hygiene untuk mengendalikan prevalensi gangguan tidur di kalangan mahasiswa kedokteran.Kata kunci: gangguan tidur, sleep hygiene, durasi tidur, manajemen waktu tidur. PendahuluanTidur merupakan kebutuhan yang sangat esensial bagi manusia, karena bagian dari pemulihan tubuh dan pikiran. 1 Kebiasaan tidur yang sehat membutuhkan durasi yang cukup, waktu yang tepat, kualitas yang baik, keteraturan, dan tidak adanya gangguan. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa durasi tidur yang cukup dapat meningkatkan perhatian, perilaku, fungsi kognitif, dan pengelolaan emosional yang lebih baik. 2
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.