ObjectivesAmeloblastomas and keratocystic odontogenic tumors (KCOTs) are important odontogenic tumors of the jaw. While their radiological findings are similar, the behaviors of these two types of tumors are different. Precise preoperative diagnosis of these tumors can help oral and maxillofacial surgeons plan appropriate treatment. In this study, we created a convolutional neural network (CNN) for the detection of ameloblastomas and KCOTs.MethodsFive hundred digital panoramic images of ameloblastomas and KCOTs were retrospectively collected from a hospital information system, whose patient information could not be identified, and preprocessed by inverse logarithm and histogram equalization. To overcome the imbalance of data entry, we focused our study on 2 tumors with equal distributions of input data. We implemented a transfer learning strategy to overcome the problem of limited patient data. Transfer learning used a 16-layer CNN (VGG-16) of the large sample dataset and was refined with our secondary training dataset comprising 400 images. A separate test dataset comprising 100 images was evaluated to compare the performance of CNN with diagnosis results produced by oral and maxillofacial specialists.ResultsThe sensitivity, specificity, accuracy, and diagnostic time were 81.8%, 83.3%, 83.0%, and 38 seconds, respectively, for the CNN. These values for the oral and maxillofacial specialist were 81.1%, 83.2%, 82.9%, and 23.1 minutes, respectively.ConclusionsAmeloblastomas and KCOTs could be detected based on digital panoramic radiographic images using CNN with accuracy comparable to that of manual diagnosis by oral maxillofacial specialists. These results demonstrate that CNN may aid in screening for ameloblastomas and KCOTs in a substantially shorter time.
Indonesia merupakan negara yang amat kaya akan bahan alam yang penuh manfaat bagi kesehatan. Salah satu tanaman yang diketahui memiliki banyak manfaat adalah daun serai karena kandungan minyak atsiri di dalamnya. Diketahui bahwa salah satu bagiannya, yaitu bagian atas (daun) sering tidak terpakai dan menjadi limbah, padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak bersifat toksik dan mengandung anti oksidan tinggi, memiliki daya hambat berbagai mikroba dan jamur. Pelatihan pemanfaat limbah serai sebagai obat kumur dan hand sanitizer dilakukan pada 25 orang di Yayasan Adz Zikra Jakarta Timur yang terdiri dari anak yatim dan ibu-ibu janda untuk dapat meningkatkan perekonomian komunitas tersebut. Pelatihan secara langsung diberikan oleh 5 pemateri yang mencakup latar belakang pemilihan limbah serai, manfaat, teknis pembuatan obat kumur dan hand sanitizer, pengemasan, monitoring dan evaluasi produk serta tinjauan pemberdayaan ekonomi. Antusiasme peserta tampak sangat baik dan evaluasi hasil produk dari segi rasa,warna dan bau seluruhnya dapat diterima dengan baik. Rekomendasi tim untuk dapat meneruskan kegiatan pelatihan ini pada anggota lainnya agar dapat mewujudkan peluang usaha lokal mandiri dari komunitas.
Introduction: Academic potential test (APT) is the terminology used for requirement in student recruitment process at Faculty of Dentistry, Trisakti University. According to literature, APT score is believed to predict the academic achievement in graduate school. Objectives: This study assessed the impact of APT score on GPA score at Bachelor Dental Program year 2015-2018. Methods: Cross sectional descriptive analysis were done on 486 students, divided into 4 groups based on credit semester (CS); group A 144 CS, B 100 CS, C 60 CS, and D 20 CS. Result: mean APT score were 598 + 95.46 and GPA score were 2.63 + 0.72. Linear regression test showed significant correlation between APT and GPA scores (p=0.007; r2=1.5%). It shows that APT contributed as only a little aspect for the success of students in their study. In dentistry, there are other factors that may influence GPA score beside APT such as intellectual quality, talent, behavior, psychomotor and capability in social, science and communication. Conclusion: Academic potential test could be used to predict the GPA score in Bachelor Dental Program.
Oroantral communication (OAC) ABSTRAKKomunikasi oroantral (KOA) dapat terjadi akibat komplikasi pasca pencabutan gigi posterior rahang atas yang memiliki akar divergen dan di daerah edentulus, atau trauma. Pneumatisasi rongga sinus maksilaris dapat terjadi pada usia lanjut, dan berakibat dekatnya hubungan dengan akar-akar gigi posterior rahang atas. Untuk mencegah terjadinya KOA maka sebelum melakukan pencabutan gigi, sebaiknya dilakukan anamnesis mengenai keluhan adanya gejala sinusitis sebelumnya dan pembuatan ronsen gigi untuk mengetahui morfologi akar gigi posterior serta hubungannya dengan sinus maksilaris. Setelah itu, direncanakan tindakan pencabutan secara trans-alveolar untuk mencegah komplikasi, serta dilakukan penjahitan luka. Jika terjadi KOA berukuran kecil, maka penjahitan dan penekanan dengan tampon untuk mencegah beku darah terlepas dapat dilakukan. Apabila diperlukan, diberikan medikamentosa untuk mencegah komplikasi lanjut. Apabila tidak disertai infeksi sebelumnya, maka tatalaksana KOA dapat dilakukan dengan mudah dengan hasil yang memuaskan. Kata kunci: komunikasi oroantral, pneumatisasi sinus maksilaris, foto ronsen, penjahitan Koresponden: Wiwiek Poedjiastoeti, Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti. Jakarta, Indonesia. E-mail: wiwiek.poedjiastoeti@gmail.com PENDAHULUANOroantral communication (OAC) yang selanjutnya disebut sebagai komunikasi oroantral (KOA) adalah suatu keadaan patologis terjadinya hubungan antara rongga hidung/antrum dengan rongga mulut. Keadaan ini merupakan komplikasi pasca pencabutan gigi posterior rahang atas yang insidennya berkisar 0,31%-3,8% dan sering menyebabkan ketidaknyamanan karena dapat menjadi masalah sistemik yang lebih serius. 1Tindakan pencabutan gigi merupakan bread and butter bagi seorang dokter gigi seperti halnya penambalan gigi. Pasien biasanya mengeluhkan gigi yang rusak dan ingin dicabut saja. Dokter gigi yang bijak, seyogyanya membuat perencanaan yang tepat meliputi pembuatan foto ronsen saat akan melakukan pencabutan gigi di regio posterior rahang atas. Menurut kepustakaan, akar gigi molar pertama dan kedua rahang atas memiliki kemungkinan paling tinggi terhadap hubungannya dengan sinus maksilaris. 2Komunikasi oroantral yang berdiameter < 2 mm dapat sembuh secara spontan, sedangkan yang berdiameter > 6 mm segera memerlukan tindakan operasi. Jika tidak, maka kemungkinan terjadinya fistula oroantral (FOA) sangat tinggi. 3Pentingnya informed consent sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi posterior rahang atas harus dipahami oleh dokter gigi, mengingat tingginya resiko terjadinya KOA pasca pencabutan gigi. Kemampuan identifikasi dan pencegahan terhadap terjadinya KOA sangat diharapkan dimiliki oleh seorang dokter gigi, sekaligus dapat melakukan tata laksana sederhana untuk menghindari komplikasi lebih lanjut. Untuk itu pada makalah ini akan dibahas mengenai etiologi dan penanganan komunikasi oroantral.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.