Petir sangat terkait dengan kondisi cuaca buruk yang berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat. Penelitian ini akan memanfaatkan data lightning detector dan Curah Hujan (CH) Hellman untuk menganalisis karakteristik dan hubungan keduanya di Kota Medan dan Sekitarnya. Data petir Awan ke Bumi (CG) dan CH Helmann jam-jaman selama tahun 2017 dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) digunakan pada penelitian ini. Data CG dibatasi radius 10 km untuk menghindari noise dan mendapat hasil yang semakin baik. Pada penelitian ini digunakan perata-rataan, korelasi dan analisis aktivitas konvektivitas. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 869 kali aktivitas petir selama tahun 2017 yang terdiri dari 548 CG negative (CG-) (63,1%) dan 309 CG positif (CG+) (36,9%). Aktivitas petir terbanyak (terendah) terjadi pada sore-malam hari (dini-pagi hari) sekitar pukul 15.00-20.00 LT (03.00 s.d 10.00 LT) dengan tertinggi (terendah) pukul 18.00 (10.00) LT. Korelasi Petir dan CH cukup signifikan yaitu 0.90 untuk CG+ dan 0.85 untuk CG-. Fase matang awan konvektif di wilayah medan berlangsung selama 6 jam berkisar pukul 15.00-21.00 LT.
Badai geomagnet terjadi akibat masuknya angin surya berkecepatan tinggi karena lontaran massa korona bersama dengan medan magnet. Badai geomagnet dipercaya membawa dampak besar di lintang tinggi dan semakin menurun sampai ke lintang rendah ekuator magnet. Penelitian ini untuk mengetahui bahwa tidak selamanya respon medan magnet di ekuator yang paling kecil. Penelitian ini menggunakaan data variasi medan magnet bumi dari Stasiun Geofisika Deli Serdang (TUN) dan 5 observatorium magnet bumi dari INTERMAGNET (CKI, PHU, IRT, GNG, CSY) dan badai geomagnetik pada tahun 2020. Pengolahan data variasi harian diawali dengan menghitung FFT dari seluruh sinyal yang terekam pada saat terjadi badai geomagnetik untuk memperoleh nilai SR (solar regular). Selanjutnya pada data variasi harian dari stasiun, nilai SR dihilangkan untuk mendapatkan nilai gangguan dari matahari. Data harian dibagi dalam interval tiga jam. Nilai simpangan maksimum di setiap interval kemudian dihitung pada komponen H dan Z. Hasil analisis menunjukkan bahwa TUN (lintang geomagnetik -3,74°) yang berlokasi di ekuator (lintang paling kecil), respon medan geomagnetik saat terjadi badai geomagnetik tidak menunjukan nilai yang paling kecil. Stasiun yang memberikan respon paling kecil adalah CKI (lintang geomagnetik -21,55°) dan IRT (lintang geogmagnetik 48,12°) kemudian stasiun yang memberikan respon paling tinggi adalah CSY (lintang geomagnetik -80,49°) yang berlokasi di dekat kutub selatan.
Sebagai upaya mitigasi, BMKG melakukan pengamatan parameter fisis dan kimiawi dengan memasang sensor parameter prekursor gempa bumi di Stasiun Pundong dan Piyungan, Yogyakarta. Data parameter prekursor (radon, suhu udara, geotemperatur, dan ketinggian air tanah) diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG dan data suhu udara tambahan dari NCEP/NCAR Reanalysis, sedangkan data parameter gempa bumi diperoleh dari katalog BMKG dengan kriteria magnitudo ≥ 2 dan jarak episenter dalam radius < 100 km pada tahun 2018. Penelitian ini menganalisis variasi nilai parameter prekursor yang diduga berasosiasi dengan aktivitas gempa bumi di wilayah Yogyakarta. Pengolahan data radon menggunakan metode autokorelasi yaitu menetapkan rasio simpangan korelasi dengan standar deviasi lebih kecil dari -1 sebagai batas anomali, data suhu udara dengan menetapkan jumlah rata-rata dan standar deviasi lebih besar dari nilai suhu udara harian, dan data geotemperatur dan ketinggian air tanah dengan metode rata-rata bergerak. Validasi dilakukan secara kuantitatif menggunakan data curah hujan dan secara kualitatif menggunakan data kondisi geologi dari studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan adanya indikasi perubahan nilai parameter prekursor sebelum gempa bumi dengan variasi nilai yang dipengaruhi oleh besarnya parameter gempa bumi, tetapi masih sulit dibedakan apakah anomali terjadi akibat aktivitas tektonik atau kondisi hujan.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.