Provinsi Sumatera Selatan menyandang predikat daerah zero conflict sebab tidak ditemukannya konflik di daerah Sumatera Selatan terutama yang terkait dengan Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA), hal tersebut terjadi disebabkan oleh masih digunakannya tradisi lokal, yaitu berupa tradisi “tepung tawar perdamaian” sebagai resolusi konflik. Hal ini merupakan upaya melakukan perdamaian melalui mediasi dialogis dari tokoh masyarakat terhadap pihak-pihak yang berselisih agar konflik yang lebih besar dan luas dapat dihindari. Artikel ini bertujuan untuk menganalisa bentuk resolusi konflik tersebut berdasarkan perspektif nilai-nilai Pancasila yang merupakan ideologi bangsa. Metode yang dipakai dalam penelitian ini ialah melalui kajian pustaka terhadap berbagai literatur terkait seperti jurnal ilmiah serta buku terutama yang membahas mengenai resolusi konflik, kearifan lokal serta implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan. Hasil analisis menunjukkan nilai-nilai Pancasila diimplementasikan melalui tradisi tepung tawar perdamaian terutama pada nilai persatuan dan musyawarah mufakat. Melalui tepung tawar perdamaian pihak-pihak yang berkonflik dikondisikan agar setuju untuk melakukan perdamaian. Hal ini biasanya dilakukan oleh tetua pada keluarga didampingi oleh berbagai orang yang dianggap tokoh. Ketika sudah mencapai kesepakatan mengenai waktu kedatangan maka pihak yang ingin berdamai akan mendatangi pihak lainnya dengan membawa ketan kunyit dan ayam panggang. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan jika bentuk resolusi konflik di Sumatera Selatan yang dilakukan melalui tepung tawar perdamaian merupakan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila yang merupakan nilai luhur dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Hal tersebut dapat menjadi solusi untuk mencegah dan mengatasi konflik yang sangat mungkin muncul dari keberagaman yang ada di Indonesia.
South Sumatra Province holds the title of zero conflict area because there are no conflicts found in the South Sumatra region, especially those related to ethnicity, religion, race, and inter-group. This happens because local traditions are still used, namely the tradition of "tepung tawar perdamaian" as a Conflict resolution is an effort to make peace through dialogical mediation by community leaders towards disputing parties so that larger and more widespread conflicts can be avoided. This article aims to analyze the form of conflict resolution based on the perspective of Pancasila values which is the nation's ideology. The method used in this research is through a literature review of various related literature such as scientific journals and books, especially those that discuss conflict resolution, local wisdom, and the implementation of Pancasila values in life. The results of the analysis show that the values of Pancasila are implemented through the tradition of “Tepung Tawar Perdamaian”, especially the values of unity and consensus deliberation. Through “tepung tawar perdamaian”, the parties in conflict are conditioned to agree to make peace. This is usually done by the elders in the family accompanied by various people who are considered figures. When an agreement has been reached regarding the time of arrival, the party who wants to make peace will come to the other party to make peace, brought turmeric sticky rice and grilled chicken. The conclusion of this research shows that the form of conflict resolution in South Sumatra which is carried out through “tepung tawar perdamaian” is an embodiment of the values of Pancasila which in fact are indeed noble values of the local wisdom of the Indonesian people, and this can be a solution to prevent and resolve serious conflicts, perhaps arises from the diversity that exists in Indonesia.