Hadirnya kebebasan berekspresi, terutama dalam pemilihan gaya pakaian, mendorong fenomena crossdress. Bahayanya, pelaku crossdress berpotensi mengalami gangguan transvestik. Riset ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk memahami faktor pemicu crossdressing dan management self-expression pelaku guna mencegah transvestik. Dengan menggunakan teknik snowball sampling, peneliti berhasil mengidentifikasi lima crossdresser pria di Kota Bandung. Data dikumpulkan melalui wawancara semi terstruktur, observasi non-partisipan, dan studi dokumentasi. Hasil riset menunjukkan dua faktor pemicu crossdressing, yakni pemahaman genderless style dan kepuasan emosional (faktor internal), serta interaksi sosial dan tawaran pekerjaan (faktor eksternal). Ini membuktikan bahwa crossdressing bukan hanya tentang fantasi seksual, dan tidak semua crossdresser menjadi transvestik. Dengan demikian, terdapat empat pendekatan untuk mengelola ekspresi diri dan mencegah transvestik, yakni memandang crossdress sebagai ekspresi diri, membatasi diri, menyadari pakaian tidak selalu memengaruhi hasrat seksual, dan konsultasi dengan profesional jika perlu.