Abstract. Post-truth has become a jargon in conversation and discussion. The concept of the theory is complex and becomes a challenge in itself to ground it in the general public. The dangers of post-truth in everyday life are real. Post-truth is a broader concept as well as more fluid than hoaxes, so post-truth is more difficult to detect, identify and handle than hoaxes. However, the current available digital literacy tends to be more in the form of black-and-white literacy: distinguishing between facts and not. Meanwhile, post-truth tends to be in the gray area between facts and non-facts, which works by exploiting one's prejudices based on ideology, group logic, moral claims, and other aspects beyond facts or non-facts. The literacy process needs to be gradually adjusted to the needs of the community. However, it is important to refine our literacy model in an approach that is able to mitigate the post-truth modus operandi. For this purpose, this paper will be divided into two main parts, namely anatomical maps and post-truth literacy. The discussion will be sub four four. First, classify the truth; second, the post-truth dimension; post-truth manipulation mode; and the post-truth literacy model. This paper concludes that post-truth can be handled, or at least minimized, if the individual has sensitivity to language, discipline in scientific logic, sensitivity in recognizing the ecological influence of media, sensitive to biased ideology, and has accuracy in carrying out his duties.
Abstrak. Istilah post-truth telah menjadi jargon di banyak pembicaraan dan pembahasan. Konsep teoritisnya kompleks dan menjadi tantangan tersendiri untuk membumikannya di masyarakat umum. Bahaya post-truth di kehidupan sehari-hari adalah nyata. Post-truth merupakan konsep yang lebih luas sekaligus lebih cair dibanding hoaks, sehingga post-truth lebih sulit untuk dideteksi, diidentifikasi dan ditangani dibanding hoaks. Namun, arus literasi digital yang tersedia cenderung lebih terkonsentrasi pada bentuk literasi yang hitam-putih: membedakan mana fakta dan bukan. Sementara itu, post-truth cenderung berada di area abu-abu antara fakta dan bukan fakta, yang cara kerjanya menggunakan eksploitasi prejudis seseorang berdasarkan ideologi, logika kelompok, klaim moral, dan aspek-aspek lain di luar fakta ataupun non-fakta. Proses literasi memang perlu bertahap menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, adalah penting untuk menyempurnakan model literasi kita pada pendekatan yang mampu memitigasi modus operandi post-truth. Untuk tujuan tersebut, tulisan ini akan dibagi menjadi dua bagian utama, yakni peta anatomi dan literasi post-truth. Pembahasannya akan akan dibagi menjadi empat sub. Pertama, klasifikasi kebenaran; kedua, dimensi post-truth; modus manipulasi pos-truth; dan model literasi post-truth. Tulisan ini menyimpulkan bahwa, post-truth dapat ditangani, atau setidaknya diminimalisir, bila individu telah memiliki sensitivitas terhadap penyalahgunaan bahasa, kedisiplinan dalam logika ilmiah, sensitivitas dalam mengenali pengaruh ekologi media, peka terhadap bias ideologis yang dimilikinya, dan punya ketelitian dalam melakukan penafsiran.