Kelindan post-truth dan agama mencakup skala yang lebih luas dari sekedar hoax, berita bohong dan demogog, yakni meliputi: hal-hal halus seperti penyalahgunaan logika kebahasaan, sihir visualitas, dan ilusi kesakralan digital. Dalam konteks teraktual di Indonesia, praktik post-truth 'halus' berbasis agama itu populer digunakan oleh gerakan populisme kanan yang cenderung ambisius pada bentuk negara teokratik. Post-truth 'halus' yang seperti itu dikenal sebagai retorika post-truth. Pengejawantahannya merentang mulai dari komunikasi verbal-fisikal, hingga komunikasi daring berbasis multimedia. Untuk menguraikan hal tersebut, penelitian ini menggunakan caption Instagram Felix Siauw sebagai bahan analisis. Felix Siauw dinilai cukup representatif untuk menggambarkan patologi retorika post-truth karena pertama, ia mengakui kredensinya yang jauh dari kategori pakar. Kedua, ia mengakui tentang komitmen teokratiknya sendiri. Ketiga, jumlah followers Instagram 4.100.000. keempat, ia piawai dalam melakukan puitika multimedia daring. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil observasi daring. Adapun paradigma analisisnya menggunakan paradigma kritis. Pembahasan akan dimulai dari signifikansi konvergensi media terhadap dakwah. Setelah itu, retorika post-truth akan diuraikan dalam bingkai populisme kanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama, konvergensi media menyebabkan keketatan proses ekstraksi agama melonggar dan membuka peluang kelindan dengan politik melebar. Kedua, retorika post-truth berbasis agama di ruang digital kental dengan penggunaan puitika multimedia. Ketiga, retorika post-truth adalah salah satu bentuk komunikasi populis yang menggugah imaji dan emosi komunal.
Abstract. Post-truth has become a jargon in conversation and discussion. The concept of the theory is complex and becomes a challenge in itself to ground it in the general public. The dangers of post-truth in everyday life are real. Post-truth is a broader concept as well as more fluid than hoaxes, so post-truth is more difficult to detect, identify and handle than hoaxes. However, the current available digital literacy tends to be more in the form of black-and-white literacy: distinguishing between facts and not. Meanwhile, post-truth tends to be in the gray area between facts and non-facts, which works by exploiting one's prejudices based on ideology, group logic, moral claims, and other aspects beyond facts or non-facts. The literacy process needs to be gradually adjusted to the needs of the community. However, it is important to refine our literacy model in an approach that is able to mitigate the post-truth modus operandi. For this purpose, this paper will be divided into two main parts, namely anatomical maps and post-truth literacy. The discussion will be sub four four. First, classify the truth; second, the post-truth dimension; post-truth manipulation mode; and the post-truth literacy model. This paper concludes that post-truth can be handled, or at least minimized, if the individual has sensitivity to language, discipline in scientific logic, sensitivity in recognizing the ecological influence of media, sensitive to biased ideology, and has accuracy in carrying out his duties. Abstrak. Istilah post-truth telah menjadi jargon di banyak pembicaraan dan pembahasan. Konsep teoritisnya kompleks dan menjadi tantangan tersendiri untuk membumikannya di masyarakat umum. Bahaya post-truth di kehidupan sehari-hari adalah nyata. Post-truth merupakan konsep yang lebih luas sekaligus lebih cair dibanding hoaks, sehingga post-truth lebih sulit untuk dideteksi, diidentifikasi dan ditangani dibanding hoaks. Namun, arus literasi digital yang tersedia cenderung lebih terkonsentrasi pada bentuk literasi yang hitam-putih: membedakan mana fakta dan bukan. Sementara itu, post-truth cenderung berada di area abu-abu antara fakta dan bukan fakta, yang cara kerjanya menggunakan eksploitasi prejudis seseorang berdasarkan ideologi, logika kelompok, klaim moral, dan aspek-aspek lain di luar fakta ataupun non-fakta. Proses literasi memang perlu bertahap menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, adalah penting untuk menyempurnakan model literasi kita pada pendekatan yang mampu memitigasi modus operandi post-truth. Untuk tujuan tersebut, tulisan ini akan dibagi menjadi dua bagian utama, yakni peta anatomi dan literasi post-truth. Pembahasannya akan akan dibagi menjadi empat sub. Pertama, klasifikasi kebenaran; kedua, dimensi post-truth; modus manipulasi pos-truth; dan model literasi post-truth. Tulisan ini menyimpulkan bahwa, post-truth dapat ditangani, atau setidaknya diminimalisir, bila individu telah memiliki sensitivitas terhadap penyalahgunaan bahasa, kedisiplinan dalam logika ilmiah, sensitivitas dalam mengenali pengaruh ekologi media, peka terhadap bias ideologis yang dimilikinya, dan punya ketelitian dalam melakukan penafsiran.
Pemilihan presiden Indonesia (Pilpres) 2019 secara luas disorot sebagai pertandingan ulang dua pemimpin populis antara Jokowi yang teknokratis dan Prabowo yang chauvinistik. Setidaknya terdapat dua dimensi yang berkontribusi terhadap atmosfir populis pada Pilpres itu, yakni kondisi sosial-agama masyarakat dan penampilan pribadi calon presiden. Dengan mengacu pada dua hal tersebut, sebagian besar analis menyebut Prabowo lebih populis dibandingkan dengan Jokowi karena pidatonya yang energik dan wacana chauvinisnya. Namun, tak bisa dipungkiri, polarisasi di tingkat akar rumput sama tajamnya, baik di kalangan pendukung Jokowi maupun Prabowo. Lalu, sampai sejauh mana seseorang dengan sikap dan retorika populis yang halus seperti Jokowi dapat memiliki pendukung yang diwarnai sikap benci dan kondisi pasca-kebenaran yang mendalam. Studi ini menggarisbawahi media sosial dan agen perantara sebagai prinsip tambahan untuk pembentukan kubu yang semakin jelas di antara kedua pendukung. Dengan menggunakan analisis isi, penelitian ini mengungkap kekuatan populisme dan pasca-kebenaran dari sejumlah kecil sampel twit dan komentar untuk memahami bagaimana interaksi masyarakat dan para agen perantara dapat memperdalam perpecahan antara para pendukung populis dan kondisi pasca-kebenaran. Penelitian ini menemukan bahwa, meskipun Jokowi dan Prabowo menampilkan gaya populis yang berbeda di pentas politik elektoral, penyampaian wacana yang memecah belah, provokasi, dan penghinaan marak dilakukan oleh agen perantara keduanya di media sosial. Kata kunci: Pilpres 2019, media sosial, pasca-kebenaran, populisme, agen perantara ABSTRACT Indonesian 2019 presidential election was extensively highlighted as a populist rematch between the technocratic Jokowi and the chauvinist Prabowo. There were at least two dimensions that contributed to the existing populist atmosphere at the presidential election: the religio-social condition of the people and the personal appearance of the presidential candidates. By referring to the two factors, analysts predominantly mentioned that Prabowo was more populist than Jokowi due to his energetic rhetoric and chauvinist discourse. However, it is undeniable that the polarization at the grassroots level was equally vitriolic in both Jokowi and Prabowo supporters. To what extent, then, could a person with a subtle populist gesture and rhetoric such as Jokowi could have
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.