The implementation of English-only policy in the English classes at Wenzao Ursuline College of Languages in Taiwan has continued for nearly 40 years. Its advantages and disadvantages have also been debated and challenged because of the rising demands on students' English proficiency in Taiwan. This study intended to reexamine the efficiency of the implementation of English-only policy in the English learning at a college of languages in Taiwan. Both quantitative and qualitative methods were used in the process of data collection. 279 English major and non-English major students were invited to answer questionnaires, and six participants were invited to join interviews. The process of data analysis included the analysis of both the quantitative questionnaire data and the qualitative interview data. This study found students' progress in English listening and speaking proficiency in the basic and lower-intermediate levels because of English-only policy. However, the interaction between teachers and some students was hampered because of the policy. Also, the ambiguity emerging in the insistence on using English only blocked some learners from comprehending the meanings of the texts they were learning, specifically the texts in the upper-intermediate and intermediate-advanced levels of English reading and writing courses. This study also found that proper tolerance of using both students' native language and English in TEFL classes in the way of code-switching may help students more than the implementation of English-only policy in a tertiary TEFL context.
Key words:English-only policy, TEFL, Taiwan, college English teaching Abstrak: Penerapan penggunaan kebijakan bahasa-Inggris-saja (English-only policy) di kelas-kelas bahasa Inggris di Wenzao Ursuline Institute telah berlangsung selama hampir 40 tahun. Manfaat dan kerugiannya telah diperdebatkan dan dipermasalahkan karena meningkatnya tuntutan akan kecakapan bahasa Inggris siswa di Taiwan. Kajian ini bertujuan meneliti ulang kedayagunaan penerapan kebijakan bahasa Inggris saja dalam pembelajaran bahasa Inggris di sebuah institut bahasa di Taiwan. Metode kualitatif dan kuantitatif digunakan dalam proses pengumpulan data. Sebanyak 279 mahasiswa dari jurusan bahasa Inggris dan jurusan lainnya diundang untuk menjawab angket, dan enam orang peserta diundang untuk wawancara. Proses analisa data mencakup baik data kuantitatif dari angket maupun data kualitatif wawancara. Kajian ini menemukan kemajuan siswa dalam kecakapan mendengarkan dan berbicara dalam bahasa Inggris di tingkat dasar dan menengah bawah berkat kebijakan bahasa Inggris saja. Akan tetapi, interaksi antara siswa dan beberapa guru terhambat karena kebijakan tersebut. Selain itu, keambiguan yang muncul dalam desakan penggunaan bahasa Inggris saja menghambat beberapa pelajar dalam memahami makna dari teks-teks yang mereka pelajari, terutama teks di tingkatan menengah atas dan menengah mahir dalam mata kuliah membaca dan menulis bahasa Inggris. Kajian ini juga menemukan bahwa toleransi yang tepat dal...