This article attempts to answer why FPI's relationship with Dayah in Aceh is so close. This condition is seen in contrast to several other areas in Indonesia that are seen to experience frequent collisions. This article shows that the relations between FPI and Dayah groups in Aceh occurred for several reasons: first, the FPI organization in Aceh was led by Dayah people and used the Dayah santri network as a mass base. When FPI entered Aceh, the idea was rejected by some senior Acehnese scholars. After FPI succeeded in approaching young people from the Dayah circles, such as Muslem Attahiry, FPI's progress was seen to be very strong and succeeded in establishing its influence in some Dayah. Second, FPI in Aceh has the right space on the issue they are raising, namely Islamic Syari'at. Politicians who need an image of taking sides with shari'ah need to use FPI, either directly or indirectly. Third, the character of Acehnese people who are fanatical and like religious symbols so they don't care less about FPI's background. The people of Aceh will accept it as long as they (FPI) wrap their actions and agendas with narratives and religious symbols.
Abstrak
Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan tentang mengapa hubungan FPI dengan Dayah di Aceh sangat dekat. Kondisi ini terlihat kontras dengan beberapa daerah lain di Indonesia yang terlihat sering mengalami benturan. Artikel ini menunjukkan bahwa relasi FPI dengan kalangan Dayah di Aceh terjadi karena beberapa sebab: pertama, organisasi FPI di Aceh dipimpin oleh orang Dayah dan menggunakan jaringan santri Dayah sebagai basis massa. Awal FPI masuk ke Aceh, idenya sempat ditolak oleh sejumlah ulama senior Aceh. Setelah FPI berhasil mendekati orang-orang muda dari kalangan Dayah, seperti Muslem Attahiry, kiprah FPI terlihat amat kuat dan berhasil menancapkan pengaruhnya di sejumlah Dayah. Kedua, FPI di Aceh memiliki ruang yang tepat pada isu yang mereka angkat, yaitu syari’at Islam. Politisi yang perlu citra keberpihakan pada syari’at perlu menggunakan FPI, baik secara langsung atau tidak langsung. Ketiga, karakter masyarakat Aceh yang fanatik dan menyukai simbol-simbol keagamaan sehingga kurang peduli dengan latar belakang FPI. Masyarkat Aceh akan menerima sejauh mereka (FPI) membungkus aksi dan agenda mereka dengan narasi-narasi dan simbol-simbol agama.