“…Sintesis antara tradisi negara hukum liberal dan tradisi negara sejahtera di mana negara dan hukum harus didasarkan pada diskursus publik (Wattimena, 2005), teori kritis (Atabik, 2013;Irfaan, 2009;Iwan, 2014;Putri & Perguna, 2021;Sholahudin, 2020;Tjahyadi, 2003;Ulumuddin, 2006), tindakan komunikatif (Nuris, 2016). Refleksi masyarakat post-sekuler mengenai rasio moralitas dan fondasi demokrasi (Eggemeier, 2011), agama dalam ruang publik dan masyarakat modern (Gunawan & Bangun, 2019;Junaedi, 2020;Prihatanto, 2007), etika emansipatoris (Safrudin, 2004), penyingkapan yang sosial dalam teori transformasi (Fleming, 2000), Islam dan penteorisasian (Sheedy, 2018), masyarakat sipil dan kasus Filipina (Hermida, 2013), kritik atas rasionalisasi dan materialisme sejarah (Darmaji, 1999), klasifikasi epistemologi Habermas (Saidi, 2015), praksis pendidikan (Wisarja & Sudarsana, 2017), rekonstruksi pemikiran Habermas di era digital (Pembayun, 2017), pemikiran teologi Mazhab Frankfut (Tukan, 2013), terorisme (Fatih, 2020), patriotisme konstitusional dan pembangkangan sipil (Çıdam, 2017), rasio publik dan agama (Colosi, 2016), penerapan teori kritis Axel Honneth pada penelitian akuntansi (Tweedie, 2018), mengkaji kembali sistem liberal (Pugh, 2015), demokrasi di era kaum kapitalis (Selk & Jörke, 2020), moralitas, etika, dan fondasi normatif (King, 2009), distorsi sumber empiris Habermas dalam pendidikan makhuk bermoral (Huhtala & Holma, 2019), kritik ekonomi politik (Dorahy, 2021), fungsi teraupetik bahasa Habermas (Pezdek et al, 2020), rasionalitas menurut Habermas 3 (Blau, 2019), integrasi sesudah totalitarianis...…”