Hubungan Penggunaan Media Elektronik Visual Dengan Kejadian Sindroma Mata Kering Di Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura

Abstract

Media elektronik seperti tablet/gawai, laptop (komputer), telepon pintar sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia di zaman modern ini. Perkembangan teknologi memungkinkan manusia untuk lebih sering menggunakan teknologi dalam kehidupannya. Namun tanpa disadari, dampak negatif yang dapat ditimbulkan jika penggunaannya melebihi intensitas normal yakni dapat menimbulkan gangguan penglihatan salah satunya adalah mata kering. Mata kering merupakan salah satu penyebab morbiditas okuler yang paling sering ditemukan sehingga menyebabkan pasien datang mencari pengobatan pada ahli mata. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan penggunaan media elektronik visual dengan kejadian sindroma mata kering. Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan menggunakan desain cross-sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa preklinik angkatan 2013-2016 yang masih aktif mengikuti perkuliahan dengan jumlah 256 orang yang diambil berdasarkan total sampling. Namun, yang menjadi sampel penelitian berjumlah 240 orang yang telah memenuhi kriteria inklusi. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu kuesioner OSDI dan kuesioner lama penggunaan media elektronik visual. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan signifikan secara statistik antara angkatan mahasiswa dengan sindroma mata kering (p=0,532), lama penggunaan smartphone dengan sindroma mata kering (p=0,337), lama penggunaan laptop dengan sindroma mata kering (p=0,068) dan lama penggunaan tablet dengan sindroma mata kering (p=0,245) dan jarak penggunaan laptop dengan sindroma mata kering (p=0,504). Namun, jenis kelamin berhubungan signifikan dengan sindroma mata kering (p =0,031). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan secara statistik antara jenis kelamin dengan sindroma mata kering.

Overview and Correlation Between Work Stress and Dry Eyes Syndrome among Nurses in Indonesia

“…In this study, dry eyes syndrome respondents were more common at 31 -35 years and in men, although the difference was insignificant. Factors that contribute to the incidence of dry eyes syndrome include personal factors (female and over 50 years old), psychological stress, poor sleep quality, using an electronic device, airconditioning room or fans, and air pollution (example: cigarette smoke exposure) (Rouen & White, 2018;Hyon et al, 2019;Simanjuntak et al, 2020;Latupono et al, 2021). Most nurses at the Nganjuk Regional Hospital are in early adulthood and belong to the productive age, so they do not have the potential to experience dry eye syndrome.…”

“…Dry eyes syndrome with mild levels experienced by respondents who use laptops <2 hours a day, while moderate and severe degrees are 2 hours a day. The prolonged use of electronic devices will make the eyes tense, so the maximum required limit is 2 hours with a break every 20 minutes (Latupono et al, 2021). Eye strain is one of the signs of dry eyes syndrome.…”

Penggunaan Media Elektronik Sebagai Sarana Komunikasi Pada Era Pandemi Covid- 19

“…Dari hasil wawancara diatas dapat dikatakan bahwa dampak yang dialami masyarakat pada penggunaan media elektronik secara berlebihan yaitu: 1) berpengaruh pada kesehatan; 2) berpengaruh pada perkembangan pelajar; 3) berpengaruh pada perilaku (Latupono et al, 2021). Salah satu dampak yang paling sering terjadi adalah masalah kesehatan mata yang timbul akibat terlalu lama menggunakan media elektronik sehingga membuat mata lelah.…”

Hubungan Penggunaan Media Elektronik dengan Keluhan di Mata Remaja dengan Pembelajaran Online Masa Pandemi Covid-19

“…Media elektronik seperti tablet, komputer, smart phone sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia di zaman modern ini. Penggunaan media elektronik jika penggunaannya tidak normal dapat menimbulkan dampak negatif yaitu: 1) menganggu kesehatan; 2) menganggu perkembangan siswa; 3) mempengaruhi perilaku siswa (Latupono et al, 2021). Dampak negatif jika remaja tidak bijak menggunakan media seperti situs pornografi (77,4%) (Murdiningsih et al, 2016).…”