Including Maladaptive Anger in Psychology Courses

Abstract

Despite clear interpersonal, physiological, behavioral, and emotional consequences, the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fifth edition ( DSM-5) and most abnormal psychology textbooks inadequately describe maladaptive anger. Although there is no recent published research on coverage of maladaptive anger in psychology courses, it is reasonable to assume that coverage is lacking, especially compared to coverage of other emotion-rooted disorders like sadness and anxiety. This lack of coverage is particularly troubling, given that researchers have long recognized the potential problems that stem from maladaptive anger and have also developed many approaches for treating problematic anger. This article describes the absence of anger disorders in the DSM-5, outlines the rationale for covering anger in psychology courses, and provides best practices for such coverage.

The Effectiveness of PSS (Problem Solving Strategy) in Enhancing The Ability of Anger Regulation

“…Anger stimulates behavior with passion, increases the desire to respond, focuses on threatening situations, leads to negativity, aggressive protection, and over-dramatization (Tara & Ahsan, 2020). However, similar to emotion, it is maladaptive when experienced too intensely and for a prolonged period (Martin, 2020). In interpersonal relationships, uncontrolled anger causes resistance.…”

Untitled

“…Perasaan marah dapat bermanfaat bagi seseorang untuk mengungkapkan perasaan negatifnya seperti mendapatkan hambatan dalam mencapai tujuan pribadi, merasa terluka, atau saat mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang lain, sehingga perlu dicari solusinya (APA, 2022;Baker, 2019;Martin, 2020). Meski demikian, perasaan marah akan bersifat destruktif bagi seseorang apabila intensitas kemarahannya terlalu kuat, durasinya terlalu lama, menyakiti diri sendiri maupun orang lain (APA, 2012;Davies, 2016;Martin, 2020;Tsai, 2019).…”

“…Perasaan marah dapat bermanfaat bagi seseorang untuk mengungkapkan perasaan negatifnya seperti mendapatkan hambatan dalam mencapai tujuan pribadi, merasa terluka, atau saat mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang lain, sehingga perlu dicari solusinya (APA, 2022;Baker, 2019;Martin, 2020). Meski demikian, perasaan marah akan bersifat destruktif bagi seseorang apabila intensitas kemarahannya terlalu kuat, durasinya terlalu lama, menyakiti diri sendiri maupun orang lain (APA, 2012;Davies, 2016;Martin, 2020;Tsai, 2019). Adapun dampak negatif apabila kemarahan tidak dapat dikelola dan diungkapkan dengan tepat yaitu masalah resiko hipertensi, masalah psikologis seperti sulit mengelola perasaan, gangguan kecemasan dan depresi, serta dapat mengganggu relasi sosial seperti menarik diri atau justru menyakiti perasaan orang lain (Tsai, 2019).…”

“…Pendekatan intervensi yang dipilih pada penelitian ini yaitu Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang dapat membantu remaja mengelola kemarahannya dengan menekankan hubungan antara pikiran dengan perasaan dan perilaku (Gillihan, 2018;Tsai, 2019). Berdasarkan intervensi CBT, aspek kognitif seperti pemikiran, penilaian atau penafsiran seseorang pada suatu kejadian memiliki kekuatan untuk menentukan suasana hati dan perilaku seseorang (Gillihan, 2018;Tsai, 2019;APA, 2019;Martin, 2020).…”