Gitar tunggal Lampung terdiri atas dua gaya, yakni pesisir dan pepadun. Diantara kedua gaya tersebut, peneliti melihat fakta-fakta unik yang terjadi pada gitar tunggal bergaya pesisir. Terdapat praktik sosial dan transmisi musik yang menonjolkan gaya ‘lokal.’ Gitar tunggal Lampung pesisir sebagai sebuah kesenian memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi di mana musik itu dianggap sebagai musik pop daerah Lampung yang menyebar melalui ruang budaya massa. Kedua, gitar tunggal befungsi sebagai identitas musik dawai masyarakat Lampung pesisir. Sebelum gitar tunggal bergaya pesisir muncul dan dikonsumsi oleh masyarakat Lampung, musik gambus tunggal lebih dulu populer. Gitar tunggal bergaya pesisir mulai dikenal setelah Hila Hambala—salah seorang tokoh musik dawai Lampung—mulai mengonstruksi musik tersebut. Hila Hambala terinspirasi dengan permainan musik batanghari sembilan dari Sumatera Selatan. Selain itu Hila berusaha menggabungkan teknik petikan gambus tunggal dengan pola permainan batanghari sembilan.
Di dalam praktik sosial dan musikalnya, gitar tunggal Lampung pesisir juga ditularkan dengan proses transmisi musik secara informal. Masyarakat lokal umumnya mempelajari gitar tunggal di lingkungan keluarga, pertemanan, hingga masuk ke era digital. Hampir seluruh proses belajar itu terjadi secara mandiri melalui transkripsi musik yang menyesuaikan kondisi pemain. Meskipun proses belajar terjadi secara mandri dan informal, kenyataannya pola semacam itu efektif dan masih digunakan hingga saat ini. Praktik belajar musik itu juga dikenal dengan pola belajar improvisatoris, yakni sebuah pola pembelajaran yang menekankan pada otoritas pembelajar. Tidak ada kurikulum yang bersifat sistematis, karena proses belajar dilakukan secara mandiri dengan mengandalkan pemahaman dan kreativitas para pemain.
Gitar tunggal Lampung Pesisir dalam buku ini diposisikan sebagai objek material sedangkan esensi penulisannya lebih menekankan pada aspek pendidikan informal yang berbasis kelokalan (Lampung). Selain itu, penulis juga berusaha menguraikan lanskap musik dalam sudut pandang sosio-kultural yang memiliki bentuk, fungsi, dan nilai. Dengan sudut pandang dan gaya pemaparan dalam buku ini, diharapkan penulis dapat memberikan referensi lain tentang praktik pendidikan musik di masyarakat. Selama ini, studi pendidikan musik lebih banyak berfokus pada wilayah formal, sedangkan ruang informal cenderung lepas dari perhatian. Padahal, praktik penularan musik secara informal jumlahnya lebih banyak terjadi di lingkungan sekitar. Dengan memotret praktik pembelajaran dan transmisi musik, penulis berharap dapat memberikan wacana diskusi baru tentang pendidikan musik di Indonesia.