Provision of insufficient compensation for community land and/or buildings submerged in the Lapindo mudflow presents a challenge in providing clarity on settlement information and the legal status of the land. The social and legal challenge for settling compensation is faced with discrimination in payment of the Map of the Affected Area, including the status of the land after the disaster. A qualitative method was used in this study, along with a literature search. A total of 54 secondary data points were collected and descriptively analyzed in order to validate the compensation process and evaluate the legal status of the land in accordance with laws and regulations. According to the findings, the government has declared the area that sank as a natural disaster as a result of the Lapindo mudflow. The government and the company are responsible for dealing with the disaster, with all compensation funding coming from the State Revenue and Expenditure Budget (APBN) and other legitimate funding sources. Plots of land owned by the community that were submerged in mud were classified as destroyed land because the community was unable to maintain and maintain the identity of the physical form, location, boundaries, area, shape, and function of their land rights. In the future, the silted-up expanse of land will have the status of state land, and the state will be able to grant land rights to the community or parties in need by applying for rights.
Pemberian ganti kerugian yang belum tuntas terhadap tanah dan/atau bangunan milik masyarakat yang terendam lumpur Lapindo menimbulkan tantangan untuk memberikan kejelasan informasi penyelesaiannya dan status hukum tanahnya. Tantangan sosial dan legal untuk penyelesaian ganti kerugian tersebut dihadapkan pada diskriminasi pembayaran atas Peta Area Terdampak termasuk status tanah pasca kejadian bencana. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penelusuran pustaka. Sejumlah 54 data sekunder yang terkumpul dianalisis secara deskriptif untuk memvalidasi proses ganti kerugian dan mengevaluasi status hukum tanah yang sesuai peraturan perundangan. Hasilnya menunjukkan bahwa pemerintah menetapkan area yang tenggelam akibat semburan lumpur Lapindo sebagai bencana alam. Pemerintah dan pihak perusahaan bertanggung jawab menanggulangi bencana tersebut dengan segenap pembiayaan ganti kerugian dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan sumber pendanaan lainnya yang sah. Bidang-bidang tanah milik masyarakat yang terendam lumpur dikategorikan sebagai tanah musnah karena masyarakat tidak mampu menjaga dan memelihara identitas wujud fisik, letak, batas, luas, bentuk, dan fungsi hak atas tanahnya. Pada masa depan, hamparan tanah karena endapan lumpur tersebut berstatus sebagai tanah negara dan negara dapat kembali memberikan hak atas tanah kepada masyarakat atau pihak yang membutuhkan dengan permohonan hak.