Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pemberlakuan reverse charge mechanism dalam transaksi antar daerah pabean di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa adanya batasan PKP menyebabkan adanya unsur subjektivitas dalam PPN, kurang terealisasinya netralitas PPN akibat dari tidak meratanya pengukuhan PKP dan menimbulkan fenomena bunching. Hal ini menyebabkan penerimaan PPN suatu negara kurang maksimal. Reverse charge mechanism ini merupakan mekanisme sekunder ketika penjual atau pengusaha yang menyerahkan barang kena pajak atau jasa kena pajak tidak berstatus sebagai pengusaha kena pajak. Mekanisme ini hadir sebagai salah satu solusi untuk mengatasi berbagai dampak yang ditimbulkan dari penerapan batasan PKP. Mekanisme ini mencegah celah atau peluang bagi wajib pajak untuk melakukan penghindaran PPN dengan memilih lawan transaksi berupa pengusaha non-PKP. Mekanisme ini juga menjadi salah satu cara untuk menjaga netralitas PPN karena wajib pajak tidak lagi memiliki pilihan dalam mengonsumsi BKP dan/atau JKP yang sama, baik penjualnya PKP ataupun non PKP. Reverse charge mechanism ini juga menambah data bagi Direktorat Jenderal Pajak sehingga tax avoidance maupun tax evasion, yang dilakukan wajib pajak badan dapat teratasi. Bagi konsumen non-PKP, pajak yang disetorkan ke kas negara tidak dapat dikreditkan, namun dapat dibebankan. Hal ini tentu akan meningkatkan biaya administrasi dan kepatuhan. Adanya biaya ini akan mengurangi profit bagi non PKP, sehingga mereka akan berfikir untuk menjadi PKP, sehingga dapat mengkreditkan PPN. Konsumen juga akan terlepas dari risiko tanggung jawab renteng. Wajib pajak badan wajib melakukan pembukuan. Sehingga pengawasan reverse charge mechanism menjadi semakin mudah dengan mengawasi akun asset, atau beban yang ada di laporan keuangan.