2013
DOI: 10.20886/jpsek.2013.10.3.186-198
|View full text |Cite
|
Sign up to set email alerts
|

Konflik Pada Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan Dan Upaya Penyelesaiannya

Abstract: Perubahan fungsi sebagian kawasan hutan di Kabupaten Maros menjadi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) membawa dampak tersendiri bagi aktivitas masyarakat sekitar kawasan yang dapat memicu terjadinya konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengetahui konflik yang terjadi dalam pengelolaan TN Babul serta upaya yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan konflik tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat s… Show more

Help me understand this report

Search citation statements

Order By: Relevance

Paper Sections

Select...
1
1
1
1

Citation Types

0
2
0
6

Year Published

2015
2015
2022
2022

Publication Types

Select...
8
1

Relationship

0
9

Authors

Journals

citations
Cited by 17 publications
(13 citation statements)
references
References 1 publication
0
2
0
6
Order By: Relevance
“…Kemudian dilanjutkan oleh Hakim, Murtilaksono & Rusdiana (2016) bahwa dalam penyelesaian konflik di TNGHS terdapat 3 (tiga) agenda yang harus dilakukan secara bertahap dimana satu sama lain saling berhubungan, yakni agenda tenurial dan lingkungan, agenda pembangunan wilayah terhadap kebijakan penggunaan lahan dan fisik tutupan lahan, serta agenda mitigasi yang merupakan konsekuensi terhadap apapun yang diputuskan atau disepakati pada kedua agenda sebelumnya. Konflik yang sering terjadi di Kawasan Taman Nasional Bantimurung antara pemerintah dan masyarakat adalah konflik mengenai tata batas kawasan dan konflik yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan hutan (Kadir et al, 2013). Selain konflik dengan masyarakat, seiring dengan adanya otonomi daerah konflik juga muncul antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaannya seperti yang terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat, belum lagi ada tekanan dari dunia internasional (Bank Dunia dan IMF) dan juga Lembaga atau NGO internasional (Kausar, 2010).…”
Section: Pendahuluanunclassified
“…Kemudian dilanjutkan oleh Hakim, Murtilaksono & Rusdiana (2016) bahwa dalam penyelesaian konflik di TNGHS terdapat 3 (tiga) agenda yang harus dilakukan secara bertahap dimana satu sama lain saling berhubungan, yakni agenda tenurial dan lingkungan, agenda pembangunan wilayah terhadap kebijakan penggunaan lahan dan fisik tutupan lahan, serta agenda mitigasi yang merupakan konsekuensi terhadap apapun yang diputuskan atau disepakati pada kedua agenda sebelumnya. Konflik yang sering terjadi di Kawasan Taman Nasional Bantimurung antara pemerintah dan masyarakat adalah konflik mengenai tata batas kawasan dan konflik yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan hutan (Kadir et al, 2013). Selain konflik dengan masyarakat, seiring dengan adanya otonomi daerah konflik juga muncul antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaannya seperti yang terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat, belum lagi ada tekanan dari dunia internasional (Bank Dunia dan IMF) dan juga Lembaga atau NGO internasional (Kausar, 2010).…”
Section: Pendahuluanunclassified
“…Rendahnya tingkat pendidikan di Desa Gajah mati dan Gajah Mulya, menyebabkan masyarakat tidak memiliki peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai, sehingga sebagian besar responden hanya bekerja sebagai petani. Masyarakat yang sebagian besarnya berprofesi sebagai petani cenderung sangat bergantung pada sumber daya lahan yang ada di sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Kadir, Nurhaedah, & Purwanti, 2013).…”
Section: B Karakteristikunclassified
“…Legal pluralism kepemilikan hutan karena perbedaan penggunaaan hukum kepemilikan hutan. Pemerintah menggunakan hukum negara dengan menetapkan KPHP sebagai hutan negara, tetapi masyarakat menggunakan hukum adat yang diturunkan secara turun-temurun dengan batas alam seperti gunung, sungai bukit dan lainnya (Kadir ., 2013 hutan. Masyarakat adat bahkan menganggap negara tidak lebih berhak terhadap hutan, karena masyarakat adat telah tinggal di sekitar hutan sejak belum berdirinya negara ini, sehingga ketika negara mengambil hutan/tanah ulayat hal tersebut menimbulkan kemarahan di kalangan masyarakat adat di Nagari Bonjol.…”
Section: Pluralisme Hukum Kepemilikan Hutanunclassified