PendahuluanJawa barat merupakan daerah yang paling banyak memproduksi teh di Indonesia, dari 2014 sampai 2019 menghasilkan 90,594 Ton sampai 99,585 Ton [1]. Dilihat dari hasil produksi yang begitu tinggi dibandingkan dengan daerah lain, hal ini menjadi salah satu potensi yang harus terus dikembangkan dan diambil manfaatnya. Teh hijau merupakan tanaman yang tumbuh di pegunungan dan digunakan sebagai bahan baku untuk membuat minuman.Penggunaan daun teh untuk minuman biasanya kandungan taninnya dibatasi agar rasa sepat yang dihasilkan tidak berlebihan. Penggunaan teh hijau untuk minuman diambil hanya bagian pucuk dan daun muda. Daun tua hanya dibiarkan berjatuhan, belum dimanfaatkan secara optimal hanya dibiarkan terbuang sehingga memiliki potensi yang dapat dikembangkan dari limbah pertanian menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomis, salah satunya adalah sebagai penyamak nabati.Hasil ekstrak senyawa organik tanin dari bagian kulit, batang, daun, dan buah merupakan bahan penyamak nabati [2]. Fungsi tanin pada penyamakan nabati untuk mengubah kulit mentah jadi stabil, tahan mikroba, dan mengurangi pencemaran limbah industri penyamakan kulit dari penggunaan bahan kimia susah terurai seperti krom yang menghasilkan limbah B3 [3]. Sifat dari tanin terhidrolis menjadi glikon dan aglikon. Bentuk glikosida tanin yaitu larut dalam air, mengendap pada logam berat serta protein [3]. Kedua sifat dari tanin mempengaruhi cara ekstraksi serta pengenalan senyawanya [4]. Pengolahan daun setelah pengambilan dalam pembuatan bahan penyamak harus dilakukan sebelum 24 jam, jika pengolahan tertunda bisa mengurangi kandungan ekstraknya [5].Pengambilan daun yang sudah tua dilakukan dengan cara pemetikan daun ke lima sampai ke delapan. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian daun tua pada tumbuhan seperti kakao. Daun kakao tua yaitu daun ke lima dan tiga daun dibawahnya [6]. Pengambilan daun tua pada tanaman alpukat untuk pembuatan teh yaitu dari daun keempat sampai kesembilan dihitung setelah pucuk [7].Green tea leaves old (camellia sinensis) is one of the agricultural waste products that has not been widely used and contains enough high tannin.This study aims to find the tannin content with qualitative and quantitative testing. The design used is a randomized block design with an extraction time of 30 minutes, 40 minutes, and a temperature of 60 °C, 70 °C, and 80 °C treatment repeated 4 times. The results showed that the highest tannin content obtained at the extraction time of 40 minutes at a temperature of 80 °C with a tannin content of 11.55%. The treatment that gave the best results obtained in 40-minute long treatment with a temperature of 70 °C with a tannin content of 10.90%, solubility 29.48% and a pH of 5.80.This is an open access article under the CC-BY-SA license.