The Palagan Tumpak Rinjing Monument is a symbol of preserving memory for the events of the 1949 Physical Revolution in Pacitan Regency. In general, this research aims to describe the historical narrative behind the construction of the Palagan Tumpak Rinjing Monument and collective memory of 1949 Physical Revolution symbolized in the monument. This study uses a qualitative method, in which the researcher collects information through interview with relevant informants by purposive sampling technique and studies of some supporting literature. The results showed that the events behind the construction of the Palagan Tumpak Rinjing Monument was local people's resistance to the Dutch troops during Physical Revolution in several parts of Indonesia. However, the monument that was built three decades after the incident displays the icons of General Soedirman and B. S. Riyadi. It then affects the formation of collective memory of the people who tend to forget the role of local fighters and see the big man as central figures who contributed to heroic events around them.
KEYWORDS collective memory; monument; Pacitan
ABSTRAKMonumen Palagan Tumpak Rinjing adalah simbol pemelihara ingatan atas peristiwa Revolusi Fisik tahun 1949 di Kabupaten Pacitan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendeskripsikan narasi sejarah di balik pembangunan Monumen Palagan Tumpak Rinjing dan ingatan masyarakat Kabupaten Pacitan atas peristiwa revoluisi fisik yang disimbolkan dalam monumen tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana peneliti mengumpulkan informasi melalui wawancara terhadap informan terkait dengan teknik sampel bertujuan dan studi terhadap beberapa literatur pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peristiwa yang melatarbelakangi pembangunan Monumen Palagan Tumpak Rinjing adalah peristiwa perlawanan masyarakat lokal terhadap pasukan Belanda saat Revolusi Fisik berlangsung di beberapa wilayah Indonesia. Namun, monumen yang dibangun tiga dekade pasca peristiwa tersebut justru menampilkan ikon Jenderal Soedirman dan B. S. Riyadi. Hal tersebut kemudian mempengaruhi pembentukan memori kolektif masyarakat yang akhirnya cenderung melupakan peran pejuang lokal dan justru memandang tokoh-tokoh besar sebagai tokoh sentral yang berjasa dalam peristiwa heroik di sekitar mereka.