ABSTRAKPembangunan dan peningkatan mutu Pendidikan Tinggi merupakan hal terpenting sebagai upaya melahirkan SDM yang unggul dan kompetitif pada era 4.0 saat ini. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merupakan upaya yang tepat dalam menciptakan generasi yang memiliki kemampuan softskill dan hardskill, serta mumpuni dalam aspek leadership dan berkepribadian. Daya dukung dan peran para stakeholders pada dunia pendidikan sangatlah dibutuhkan, yang dimana diharuskan adanya kesepahaman dan pengimplementasian yang utuh oleh Dosen, Mahasiswa, maupun Tenaga Kependidikan agar setiap kebijakan MBKM dapat terimplementasi pada proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi secara optimal. Dalam hal ini, Universitas Muhammadiyah Jakarta telah menetapkan aturan mengenai MBKM yang berlaku di lingkungan universitas, untuk mendorong fakultas-fakultas dan program studi untuk melakukan pengembangan inovasi pembelajaran yang diharapkan dapat memenuhi target capaian pembelajaran sesuai kompetensi dan profil lulusan yang telah ditetapkan. Penelitian ini dilakukan melalui analisis atas pengisisan survey melalui SPADA DIKTI dengan populasi civitas Universitas Muhammadiyah Jakarta sebanyak 4256 (empat ribu dua ratus lima puluh enam) orang dari total populasi seluruhnya yang berjumlah 22.254 (dua puluh dua ribu dua ratus lima puluh empat) orang, yang terdiri dari unsur Dosen, Mahasiswa dan Tenaga Kependidikan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pemahaman yang signifikan terkait MBKM, dengan penyimpulan “mengetahui sebagian besar kebijakan MBKM”. Dengan demikian hal tersebut dapat menjadi tolak ukur keberhasilan implementasi MBKM di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada masa yang akan datang. Kata Kunci : Implementasi Kebijakan, Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Inovasi PembelajaranABSTRACTThe development and improvement of the quality of higher education is the most important thing as an effort to produce superior and competitive human resources in the current 4.0 era. Therefore, with the Ministry of Education and Culture's policy related to the Merdeka Learning Campus Program (MBKM) it is the right effort to create a generation that has soft skills and hard skills, and is capable of leadership and personality aspects. Supporting capacity and the role of stakeholders in the world of education are needed, which requires full understanding and implementation by Lecturers, Students, and Education Personnel so that every MBKM policy can be implemented optimally in the teaching and learning process in Higher Education. In this case, the University of Muhammadiyah Jakarta has established rules regarding MBKM that apply in the university environment, to encourage faculties and study programs to develop learning innovations that are expected to meet learning achievement targets according to predetermined competencies and graduate profiles. This research was conducted through an analysis of filling out a survey through SPADA DIKTI with a population of 4256 (four thousand two hundred fifty-six) people from the total population of 22,254 (twenty two thousand two hundred fifty-four) people. consists of elements of Lecturers, Students and Education Personnel. The results showed that there was a significant understanding of MBKM, with the conclusion "knowing most of MBKM policies". Thus, this can be a benchmark for the success of the implementation of MBKM at the University of Muhammadiyah Jakarta in the future. Keywords: Policy Implementation, Independent Learning, Independent Campus, Learning Innovation
Defendant Guilty In recognition of the concept of "Special Line" According to the Criminal Procedure Code bill and Comparison With Plea Bargaining Practice in Several Countries. The concept of "Jalur Khusus" is one of the criminal justice reform substances contained in the Draft of Indonesian Criminal Procedure Code. The concept of "Jalur Khusus" is the result of the adoption of the idea/concept of plea bargaining on practices that have been popularized in the United States criminal justice system, which may encourage criminal justice to be more efficient and can avoid stacking cases (case load) in court. This paper wants to explore comparisons between the theory and practice of "Jalur Khusus" in the Draft of Indonesian Criminal Procedure Code with the practice of plea bargaining are applied several countries. Abstrak: Konsep Pengakuan Bersalah Terdakwa Pada “Jalur Khusus” Menurut RUU KUHAP dan Perbandingannya Dengan Praktek Plea Bargaining di Beberapa Negara. Konsep “Jalur Khusus” adalah salah satu substansi pembaruan peradilan pidana yang terkandung dalam RUU KUHAP. Konsep “Jalur Khusus” merupakan hasil pengadopsian ide/konsep atas praktek plea bargaining yang telah dipopulerkan dalam peradilan pidana Amerika Serikat, yang dipahami dapat mendorong peradilan pidana menjadi lebih efisien dan dapat terhindar dari menumpuknya kasus (case load) di pengadilan. Tulisan ini ingin mengupas perbandingan secara teori dan praktek antara “Jalur Khusus” dalam RUU KUHAP dengan praktek plea bargaining yang diterapkan beberapa Negara. DOI: 10.15408/jch.v2i1.1840
ABSTRAK "Pengakuan bersalah" sebagai alat bukti telah dikenal dalam tatanan peradilan pidana Indonesia sejak berlakunya Het Inlandsch Reglement (HIR), akan tetapi menurut perkembangan regulasi peradilan pidana pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kedudukan dan nomenklatur "Pengakuan bersalah", secara formil telah hilang. Namun, secara eksplisit "Pengakuan bersalah" masih menjadi bagian penting, yang selalu dijadikan orientasi dalam system pembuktian. Dan pada perkembangan teori dan praktek di Negara common law, "Pengakuan Bersalah terdakwa" sangat membantu efisiensi peradilan, yang pada sisi yang bersamaan tidak menghilangkan tujuan kebenaran materiil (materiil waarheid). Hal ini digunakan Amerika dalam system plea bargaining, yang kemudian konsep ini menjadi ide dan terobosan yang baik untuk diadopsi bagi beberapa Negara, dan khususnya dalam system peradilan pidana Indonesia.Kata Kunci : Pengakuan Bersalah, Pembuktian, Peradilan Pidana Indonesia PENDAHULUANMenurut sejarah, pengakuan bersalah pada sistem peradilan pidana sudah dikenal sejak zaman kuno. Bahkan, pengakuan bersalah dapat dijadikan dasar yang kuat bagi hakim untuk memutus suatu perkara. Namun, seiring perkembangan zaman dan diikuti dengan gencarnya perlindungan HAM, menyebabkan penggunaan pengakuan bersalah pada peradilan pidana menuai kritik dan perdebatan. Pada satu sisi, menilai bahwa penggunaan pengakuan bersalah akan memberi manfaat dan membuat peradilan pidana lebih efisien, dan pada sisi yang berlawanan menganggap bahwa penggunaan pengakuan bersalah akan bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah, non self incrimination, serta hak mendapatkan peradilan yang adil.Pada dasarnya kedudukan pengakuan bersalah tidak dapat dilepaskan dari proses pembuktian. Dalam hal ini, proses pembuktian dalam peradilan pidana adalah bagian penting dalam rangka memperoleh kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan yang adil. Pembuktian dapat diartikan sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang, membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. 1 Sehingga dalam pembuktian, hakim hanya menggunakan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam undangundang, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan berdasar keadilan.Hukum pembuktian sebagai bagian dari rangkaian peradilan pidana, tidak juga dapat dipisahkan dari pemahaman tentang asas legalitas. Beccaria mengemukakan bahwa: "Hanya undang-undanglah yang boleh menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, sanksi-sanksi apakah dan atas perbuatanperbuatan mana pula dapat dijatuhkan dan bagaimanakah tepatnya peradilan pidana itu harus terjadi". 2 1
That is the context of criminal law enforcement that departs from the principle of "no criminal without fault" and/or "no criminal responsibility without fault", then there are fundamental problems, related to the assessment of the objectivity of an action on the one hand, and the subjectivity of the perpetrator on the other . Which means that, in fact, an "act" can be seen physically and concretely, whereas, with regard to "fault" that is, it must be extracted from the intention and inner state of the perpetrator, then someone who is convicted and has a sense that can be held to hold criminal responsibility. Whereas, in the concept of "Guilty Pleas or Plead of guilty", it is known that a guilty plea can be used by a Judge in imposing a sentence on someone, and with that acknowledgment, someone is deemed to have declared a "fault" in his inner attitude. Thus, when linked to the concept of criminal justice, the condition of error by trial is very likely to occur, considering that one of the objectives of the judiciary is to seek material truth. Therefore, the authors formulate a problem: (a) How is the construction of a "guilty plea" with the ability of criminal liability to be viewed in terms of the objectivity of a criminal act and the factor of the subjectivity of a criminal offender? (b) Can someone who has committed a "guilty plea" be computed in the context of punishment?
Praktik perkawinan di bawah umur masih kerap terjadi di Indonesia, salah satunya di Provinsi Jawa Barat yang masuk ke dalam 3 (tiga) provinsi dengan angka perkawinan di bawah umur tertinggi. Perkawinan di bawah umur dapat membawa banyak dampak negatif khususnya yang berkaitan dengan aspek kesehatan, pendidikan, kejiwaan, dan ekonomi. Tujuan dari pengabdian ini yaitu memberikan edukasi tentang pendewasaan usia perkawinan ditinjau dari aspek hukum dan kesehatan remaja di wilayah Depok, khususnya Kecamatan Sawangan. Metode yang digunakan yaitu ceramah, penayangan video dan diskusi tanya jawab melalui kuis pre-test dan post-test. Hasil kegiatan ini menunjukkan rata-rata skor pre-test menunjukkan angka 50,7. Sedangkan, rata-rata skor post-test adalah 80,2. Kenaikan skor diperoleh sebanyak 30 poin. Dari hasil kegiatan tersebut, diharapkan lembaga terkait, seperti institusi pendidikan, lembaga hukum dan kesehatan dapat meningkatkan sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya mencegah perkawinan usia dini.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.