THIS -- paper seeks to reveal the meaning of tradition in the Muslim’s ritual in Sumenep Madura which is understood as a local or popular ritual, associated with the determination of the calendar in Islam. This ritual, when expressed and understood in practice, is always based on the popularization of calendar names in local-based Islam with certain insights and meanings. With this deductive-inductive explorative approach, this paper explain to three popular ritual praxis of the Sumenep Madurese. Firstly, the practice of the death ritual that was intended as a repentance to God for self and “al-marhum”, ties the brotherhood, and effective for Islamic preaching. Secondly, the ritual practice of “Peret Kandung” is a ritual of the first pregnancy for husband and wife entering the seventh month which is meant as a symbol of purification, so that the born child will survive and truly become sholeh child who boast of parents. Third, “sonat ritual” is a continuation of initiation ritual in Sumenep only for boys which is meant as a ritual as well as da'wah media for islamization.
Abstrak:Tulisan ini mengelaborasi perempuan dari penganut tarekat naqsabandiyah di Madura mulai dari hasil pemahaman terhadap teks, konstruksi budaya sampai menemukan realitas kesamaannya saat ini. Dari uraian tersebut, ditemukan bahwa kesadaran perempuan terhadap status dan hak-haknya semakin meningkat sehingga ketergantungannya terhadap laki-laki semakin berkurang dan menjadi lebih mandiri. Kaum perempuan mulai sangat membutuhkan hak istimewa dan status yang setara dengan laki-laki termasuk dalam hal pencapaian kesempurnaan dan puncak spiritualitas. Kontruks budaya semacam ini dapat ditemukan dalam komunitas tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura. Adanya mursyid perempuan seperti Nyai Tobibah, Nyai Aisyah, dan Syarifah Fatimah dalam terekat tersebut menunjukkan bahwa dalam budaya organisasi ini tidak ada halangan bagi perempuan untuk mencapai puncak spiritualitas. Abstract:This article elaborates women issues based on the text comprehension and cultural construction of follower of the Naqsyabandiyah order in Madura. From the description, it was found that women's awareness of the status and rights increased so that become more independent. Women desperately need privileges and equal status with men, including in terms of achieving the highest spirituality. Cultural construction of this kind can be found in the Naqshbandi Muzhariyah follower in Madura. The existence of such women murshid such as Nyai Tobibah, Nyai Aisha, and Fathimah Syarifah in tarekat showed that the organizational culture is no obstacle for women to reach the highest spirituality. Kata Kunci: Egalitarian, Budaya dan Tarekat PendahuluanIsu gender menjadi sangat menarik ketika dihubungkan dengan wacana keislaman. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan isu tersebut mulai dari dekonstruksi khazanah Islam sampai pada upaya rekonstruksinya. Salah satu yang menjadi pokok kajiannya adalah problem relasi laki-laki dan perempuan. Dalam konteks relasi tersebut, laki-laki selalu dipersepsikan memiliki wilayah peran publik dan perempuan di-
Abstrak:Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat yang mutlak, kecuali dalam kondisi, pertama, mereka yang dalam ketakutan, keadaan terpaksa dan keadaan sakit berat; kedua, mereka yang shalat sunnah di atas kendaraan. Para nelayan Bintaro Gapura Sumenep termasuk masyarakat yang sering dihadapkan pada perkecualian untuk shalat menghadap kiblat. Kondisi saat melaut dan perahu yang digunakan, merupakan faktor yang menentukan mudah tidaknya melaksanakan ibadah shalat. Dengan analisis berperspektif fiqh hisab-rukyat, akan dibahas bagaimana cara mereka menentukan arah kiblat pada saat melaksanakan shalat lima waktu di laut. Penggalian datanya menggunakan langkah-langkah penelitian kualitatif, mulai dari observasi non partisipan, wawancara tidak tersruktur dan dokumentasi. Banyak tantangan yang dihadapi oleh para nelayan untuk melaksanakan shalat, mulai dari kondisi angin laut dan ombak hingga pada pekerjaan di laut yang memakan waktu. Dalam kondisi terbatas tersebut mereka jarang mempedulikan kesempurnaan dan syarat sahnya ibadah shalat, khususnya menyangkut persoalan menghadap ke arah kiblat. Mayoritas mereka memahami arah kiblat di arah barat. Untuk mengkaliberasi ketepatan kompas dengan arah barat, mereka hanya menandai arah bergeser dan terbenamnya matahari. Mereka tidak memahami apakah posisi matahari berada di selatan atau utara khatulistiwa. Pembuktian arah barat pada kompas atau remote dengan posisi terbenam matahari ini menjadi standar mereka mengakurasi arah barat. Mereka melaksanakan shalat dengan berpatokan pada masuk tidaknya waktu shalat dengan cara melihat jam atau penanda alam lainnya. Abstract:Facing the Qibla becomes one of the absolute requirements in doing prayer, except in some concequencies, first, the humans are in fear, in a forced condition and in a serious ill; second, they are praying during travelling on the vehicles. The fishermen of Bintaro Gapura Sumenep belong to a society which are often faced to the exception to face Qibla in doing their prayer. The condition while fishing and the boat used become the factors in the easinesss in doing the prayer. In the Fiqh Hisab-Rukyah perspective analysis, it is explained how to decide the position of Qibla in doing prayer in the middle of the sea. The data is collected through the steps of qualitative research. It starts from nonparticipant observation, unstructured interview and documentation. There are many challeges faced by the fishermen in doing the prayer, from the sea breeze and wave condition to the work in the sea which takes so much time. In the limited condition, they are rarely think about the completeness and the valid requirement of the prayer, especially the matter of facing Qibla. The majority of them think that the qibla is on the west of the direction. To adjust the compass" accuracy of the west, they just mark off the direction of the sun"s shift and set. They do not know whether the sun "s position is on the south or north of the equator. The standart is based on the verification of the compass" or remote"s west. They do the ...
Istilah jender dianggap sebagai diferensiasi pria-wanita.Perbedaan ini muncul karena realitas budaya yang dibangunoleh masyarakat. Konsep ini bertentangan dengan seks, yangmembedakan istilah pria-wanita secara biologis. Dengandemikian, perbedaan seks adalah konstruksi Allah, dan tidakdapat dikaji kembali. Di sisi lain, perbedaan jender adalahkonstruksi sosial dan dapat dikaji kembali (qâbil li al- niqasy).Oleh karena itu, konsep relasi pria-wanita selaludiperdebatkan dalam hal baik dalam studi teks atau dalamkonteks realitas di masyarakat. Artikel ini menguraikanpembentukan relasi pria-wanita dari perspektif teks,konstruksi budaya dan hari ini realitasnya. Dalam konteks ini,banyak tafsiran terhadap teks-teks sumber hukum Islam (al-Qur`an dan al-Hadits) justru menguatkan budaya patrilineal.Tradisi yang bias jender ini mengakar kuat dalam masyarakat.Walaupun demikian, hal yang tidak bisa diingkari adalahperubahan realitas. Saat ini mulai tampak bahwa peran-peranyang secara budaya dikonsepsikan untuk laki-laki justrudilakukan oleh perempuan. Fenomena ini merupakan wujudperubahan realitas, yang akan memunculkan budaya baruyang egaliter.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.