ABSTRAKKeanekaragaman hayati yang terdapat di hutan Indonesia termasuk yang paling tinggi di dunia. Meskipun demikian, program konservasi di Indonesia dirasakan belum optimal karena berbagai masalah seperti pembalakan liar, alih fungsi lahan dan kebakaran hutan. Salah satu upaya potensial yang bisa ditempuh untuk konservasi sumberdaya hayati adalah melalui aplikasi teknologi farmasi. Hal ini karena teknologi farmasi akan mendorong upaya pemanfaatan sumberdaya hutan, salah satunya tumbuhan obat, sehingga kebermanfaatan sumberdaya tersebut diketahui oleh masyarakat luas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi dan tantangan penggunaan teknologi farmasi untuk konservasi keanekaragaman hayati. Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data statistik kehutanan dari Kementerian Kehutanan untuk mengetahui potensi sumberdaya hayati dalam hutan Indonesia. Selain itu, analisis literatur secara kritis juga dilakukan untuk mengetahui potensi pemanfaatan keanekaragaman hayati dalam bidang farmasi. Selain itu, analisis isi juga dilakukan untuk menganalisis beberapa peraturan yang berhubungan dengan upaya pemanfaatan sumberdaya tersebut. Hasil penelitian menyebutkan bahwa luas kawasan hutan konservasi di negara ini adalah 27.4 juta ha, yang terdiri dari 50 taman nasional, 250 cagar alam, 75 suaka margasatwa, 115 taman wisata alam, 23 taman hutan raya dan 13 taman buru serta kawasan perairan laut. Selain itu, berbagai jenis tumbuhan obat tradisional sebenarnya telah lama dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia yang tinggal disekitar maupun di pedalaman hutan. Selain itu, beberapa peraturan telah menyatakan komitmen pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan untuk kepentingan farmasi, seperti Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan Undang Undang No 11 tahun 2013 tentang Protokol Nagoya. Sedangkan, strategi untuk meningkatkan upaya konservasi melalui teknologi farmasi adalah mensinkronkan penelitian etnobotani kehutanan dengan teknologi farmasi, kerjasama dengan luar negeri, dan melalui pendidikan dan pelatihan.
Post-coal mining areas need rehabilitation to restore its functionality. Not all plants could grow well on bare ex-coal mining area because of the excessive light intensity and extreme temperature fluctuations. This study is aimed to determine suitable local tree species for rehabilitating mined areas. Planting was carried out in November 2012, and observations were made in November 2015. The study site was in the district of Samboja, Kutai Kartanegara, East Kalimantan Province, Indonesia. Research results revealed that seven tree species survived well in the ex-coal mining land, i.e., Vitex pinnata L., Syzygium scortechinii (Merr.) Merr. & Perry, Syzygium polyanthum (Wight) Walp., Shorea balangeran (Korth.) Burck, Macaranga motleyana (Mull.Arg.) Mull.Arg., Cleistanthus myrianthus (Hassk.) Kurz and Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry. From the seven species V. pinnata, Sy. scortechinii and Sy. polyanthum performed best in both survival and growth rates. This study suggests those three species are excellent local tree species for ex-coal mining rehabilitation, not only because of their high survival rate (≥80%) and fast-growing but also they produce favourable fruits and flowers for wildlife.
Indonesia is among the top 10 highest countries in the world producing huge amount of greenhouse gases (GHG) to the atmosphere. However, climate change including its impacts might not be understandable by public in Indonesia. This is because climate change is not a crucial issue in this developing country. Education can play important roles in supporting national policies in reducing GHG in Indonesia by communicating climate change and in raising environmental awareness among people including students in schools. This study aims to determine high school students’ perceptions about climate change, to provide insights for curriculum planning to combat climate change. Furthermore, this study can also provide some strategies to the government changes by improving formal education in combating climate change. This study is conducted in the 6 selected high schools in Samboja district, Kutai Kartanegara regency, East Kalimantan province, Indonesia. Data collection was conducted from February to March 2017. Primary data is collected by using questionnaires, which are distributed to the 1st, 2nd and 3rd grade students in each selected high schools. In total there are 360 students participating in this study. Results shows that majority of students in this study have heard about climate change, however their answer are inconsistent. This indicates that these students do not fully understand about climate change. Furthermore, students also do not know about the main causes of climate change. In conclusion, climate change issues need to be elaborated in science curriculum. It is suggested that the government should introduce policies in education sectors to inform about climate change.
ABSTRAKPemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan yang mewajibkan kegiatan reklamasi dan rehabilitasi pasca-tambang, namun, belum banyak dilakukan evaluasi terhadap peraturan tersebut dalam kaitannya dengan konsep ekologi restorasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peraturan-peraturan tersebut memenuhi konsep restorasi ekologi. Metode penelitian ini adalah desk study dengan bahan utama regulasi yang berkaitan dengan kegiatan reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca-tambang batubara. Analisis data dilakukan dengan metode analisis isi. Kajian difokuskan pada tiga aturan teknis yang mengatur pedoman reklamasi maupun pedoman penilaian keberhasilan reklamasi pasca-tambang yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 tahun 2014, Permenhut Nomor P.60/Menhut-II/2009, dan Permenhut Nomor P.4/Menhut-II/2011. Setiap peraturan perundangan dikaji secara komprehensif apakah peraturan tersebut sudah memuat dan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan beberapa kriteria restorasi ekologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada peraturan yang memenuhi semua kriteria restorasi ekologi. Semua regulasi telah memuat kewajiban rehabilitasi atau reklamasi serta evaluasi tetapi tidak ada satupun regulasi yang memuat pelarangan penggunaan tanaman invasif. Kesimpulan penelitian ini adalah regulasi tentang rehabilitasi dan reklamasi pasca-tambang batubara di Indonesia belum sepenuhnya sejalan dengan konsep ekologi restorasi karena hanya memuat sebagian dari kriteria dan indikator restorasi ekologi sehingga masih diperlukan penyempurnaan agar perbaikan dan pemulihan lahan pasca-tambang dapat memenuhi konsep restorasi ekologi.Kata Kunci: Restorasi ekologi; rehabilitasi; reklamasi; tambang batubara.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.