One of the works of interpretation belonging to Badiuzzaman Said Nursi and the first commentary that he wrote was the interpretation of Signs of I'jaz. The book of interpretation has many features and uniqueness when compared to his other works. Despite being a prima donna among literary experts, this interpretation is less attractive to the general public. The discussion of the interpretation of the Qur'anic verses using language that is quite high turns out to make it difficult for some people to understand. This study aims to examine the sources, methods, and styles used by Said Nursi in writing the interpretation of Isaatul I'jaz. This research is qualitative research by applying the library research method as a way of processing data. From this research, conclusions can be drawn regarding the tahlili method as a method of interpretation. Interpretations that tend to lead towards faith, divinity, and worship are included in the i'tiqadi-style interpretation. Said Nursi uses the Qur'an as the primary source of interpretation, then there are also several previous commentary books as a secondary source of writing his commentary.
Tafsir pendidikan atau tafsīr tarbawī lahir untuk memenuhi kebutuhan akademik dalam rangka pengayaan kurikulum lokal atau kurikulum Nasional di PTAI, dengan harapan bahwa jurusan tarbiyah diharapkan mampu mempersiapkan calon pendidik dalam wilayah pendidikan Islam. Oleh karena itu, agar pendidikan Islam mampu mewarnai profesi yang disandang oleh pendidik secara professional, yaitu menuju pendidikan Islami yang mampu mengembalikan paradigma pendidikan kepada sumber dasar ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis, maka lahirlah disiplin tafsir sebagai alternatif kajian yang mempunyai relasi dengan pendidikan yang kemudian disebut. Namun persoalan yang kemudian timbul adalah apakah ini dianggap sebagai disiplin ilmu secara mandiri atau hanya merupakan sebuah metode pendekatan atau lebih spesifik lagi merupakan corak atau model penafsiran yang dikondisikan dengan kebutuhan.Tafsir pendidikan belum mempunyai perangkat, metode dan pendekatan yang proporsional, sebagaimana layaknya sebuah disiplin ilmu tafsir. Istilah tafsir pendidikan baru sebagai wacana dan manifestasi ijtihad para akademisi yang peduli dengan pendidikan Islam untuk memenuhi kebutuhan akademik dalam rangka penyempurnaan kurikulum pada perguruan Tinggi. Maka agak sulit rasanya jika memposisikan tafsir pendidikan sebagai bagian dari kajian tafsir yang sudah dianggap mapan, apalagi jika dibandingkan dengan tafsir- tafsir lain seperti tafsīr ahkām dan lain-lain.
Karya-karya tafsir Alqur’ân bercorak sufistik seperti halnya tasawuf sebagai disiplin ilmu, mendapat label plus-minus dari para pengkaji. Imam al-Thusiy mengomentari penafsiran sufi sebagai “Penafsiran seperti itu keliru (خطاء ) dan dusta (بهتان) kepada Allâh”. Imam al-Suyuthiy menyatakan bahwa pendapat para sufi dalam memaknai Alqur’ân tidak dianggap sebagai tafsir. Ibn Shalah dalam Fatâwa-nya, Ia mengutip apa yang dikatakan oleh Imam Abi Hasan al-Wahidi; siapa yang menganggap bahwa kitab al-Sulami itu kitab tafsir maka ia telah menjadi kafir. Demikian juga penolakan dari Imam al-Zarkasyiy, Imam al-Nasafi dan Imam al-Rafi’iy. Sementara itu, banyak ulama yang memandang bahwa tafsir sufistik memiliki faidah untuk mengurai sisi esoterik Alquran dengan asumsi bahwa Alqur’ân memiliki makna dzahir dan makna bathin. Jika demikian, maka tafsir sufistik memiliki kontribusi jelas pada pemaknaan dari aspek bathinnya dengan perangkat takwil atau isyarat-isyarat tertentu, sementara untuk makna dzâhir-nya sudah digarap oleh perangkat tafsir. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa tidak ada larangan seseorang menafsirkan Alqur’ân dengan penafsiran sufistik jika bermaksud untuk menampilkan kekayaan makna Alqur’ân hingga batas-batas pemaknaan dengan simbol atau isyarat-isyarat tertentu. Perdebatan tentang status tafsir sufistik antara kebolehan membaca, memahami dan mengamalkannya seperti yang representasikan oleh Imam al-Ghazali versus beberapa ulama yang menolak karya-karya tafsir sufistik, me-niscayakan untuk mendefinisikan tafsir sufistik dan me-meta-kan (mapping) tafsir sufistik dengan membuat kategori-kategori baik paradigma, karya-karya, kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangannya.Teori tafsir sufistik merujuk pada karakteristik metodologi tafsir Alqur’ân yang terbagi kedalam tiga bagian bersar; referensi tafsir (mashadir); referensi tafsir informatif (matsur), nalar (ma’qul) dan intuitif/esoterik (isyariy), metode tafsir (manhaj); ijmaliy, tahliliy, muqaran dan mawdluiy dan yang terakhir adalah teori tentang pendekatan/corak tafsir.Penelitian ini menemukan bahwa secara paradigmatik, posisi tafsir sufi mengambil ruang esoterik dengan memakai perangkat takwil. Tafsir sufistik terbagi kepada dua kategori; isyariy; tafsir yang diperoleh dari isyarat-isyarat ghaib dan nadzariy; penafsiran dengan teori-teori tasawuf dan filsafat (theosophy, tasawuf-falsafi). Pendekatan tafsir sufi berupaya memaknai Alquran dengan menggunakan tasawuf sebagai ilmu bantu. Tafsir dengan corak sufistik memiliki kelebihan terutama pada penyingkapan makna esoterik, bathin Alquran, sementara kelemahannya adalah tidak ada tolok ukur validitas dan hanya dikonsumsi oleh komunitas terbatas.
The emergence of the Quranic interpreting activities has become an attempt to answer various issues that developed after the Prophethood. It is marked by the existence of various books of tafsir and its diverse methods. The results of the research reveal the inconsistency uses of some terminologies. One of the examples is the term manhaj which means method. In this case, manhaj is often interpreted as Ittijah, and sometimes it is also used to express meaning uslub. Referring to the science of tafsir, manhaj means to understand interpretation in general, and yet uslub means to understand it in specific ways. Indeed, tafsir can be done by using general methods (Tahlili, Ijmali, Muqaran, and Maudhu'i) and specific methods. Both of them take significant roles in interpreting processes as well as in inclining the values of Islamic education that can be thoroughly found in al-Sya'rawi interpreting method.
This research explores Tafsir bi al-Ma'tsur, or Qur'an interpretation via history. This qualitative research method uses literature and historical interpretation. This paper discusses the history of Tafsir bi al-Ma'tsur, its restrictions, and scholarly disagreements over it. This study finds that Tafsir bi al-Ma'tsur is an interpretation based on Qur'anic verses, the Prophet Muhammad's viewpoints, companions, and scholars, commencing with the interpretation of Qur'anic verses with Qur'anic verses. 'an, the Qur'an's hadith, the Companions' atsar, and the Tabi'in's view. The Qur'an must be interpreted using a manner agreed upon by scholars to be in compliance with Shari'a. If the interpretation is done honestly and according to the manner approved by the commentators, it will obtain two rewards from Allah SWT if it's accurate, but only one if it's wrong, according to the Prophet SAW's statements on Ijtihad. This research should aid Qur'an scholars and interpreters. This research explains Tafsir bi al-Ma'tsur-related issues. This research offers a complete review of all western scientists' perspectives of Qur'anic exegesis literature to update our knowledge of Tafsir bi al-Ma'tsur.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.