Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor yang mendukung kebertahanan keluarga dengan perkawinan amalgamasi etnis Melayu dan Jawa di Kelurahan Tanjung Uma Kecamatan Lubuk Baja Kota Batam. Hal ini menarik untuk dikaji karena pada perkawinan amalgamasi (selain etnis Melayu dan Jawa) rentan terhadap konflik dan perceraian karena adanya perbedaan budaya seperti nilai, adat-istiadat, keyakinan, tradisi, gaya hidup dan perilaku pada masing-masing anggota keluarga. Namun fakta berbeda ditemukan pada perkawinan amalgamasi etnis Melayu dan Jawa yang tetap dalam mempertahankan perkawinan mereka. Teori yang digunakan untuk menganalisis penelitian ini yaitu teori struktural fungsional oleh Talcott Parsons dalam konsep AGIL. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan tipe penelitian studi kasus. Lokasi penelitian di Kelurahan Tanjung Uma Kecamatan Lubuk Baja Kota Batam. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dengan 18 orang informan. Pengumpulan data dilakukan secara observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen yang dianalisis dengan teknik analisis interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan menunjukan bahwa faktor yang mendukung kebertahanan keluarga perkawinan amalgamasi etnis Melayu dan Jawa di Kelurahan Tanjung Uma yaitu pertama, Adaptasi antarbudaya etnis antara etnis Melayu dan Jawa yang sudah berlangsung lama. Kedua, Tingginya toleransi perbedaan budaya dari masing-masing anggota keluarga. Ketiga, Faktor agama: Kesamaan dalam berkeyakinan. Keempat, Komitmen antara pasangan perkawinan amalgamasi etnis Melayu dan Jawa. Kelima, Lamanya usia perkawinan. Keenam, Dukungan sosial dari orang tua dan anak pasangan perkawinan amalgamasi etnis Melayu dan Jawa di Kelurahan Tanjung Uma.
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pengembangan pariwisata yang dilakukan di sekitar kawasan Slum Area perkotaan, serta dampaknya terhadap transformasi kawasan dan komunitas lokal, dengan studi kasus kawasan pemukiman kumuh yang dihuni komunitas Nelayan di Pantai Purus Kota Padang. Hal ini menarik, karena kawasan di sekitar Pantai Purus dulunya diidentikkan dengan slum area yang dihuni oleh komunitas nelayan dengan streotipe yang negative, namun saat ini tumbuh menjadi lokasi pariwisata pantai andalan Kota Padang, bahkan nelayan menjadi bagian penting pembentuk dayatarik dan sense of place dalam pariwisata. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan tipe studi kasus. Data diperoleh melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Observasi dilakukan untuk mengamati proses interaksi yang terjadi antara penduduk lokal dengan wisatawan, serta mengamati bagaimana mereka terlibat dalam berbagai aktivitas wisata. Sementara itu wawancara dilakukan dengan 22 informan, yang berasal dari berbagai kalangan, seperti pengambil kebijakan, komunitas yang tinggal di sekitar pantai, pedagang dan wisatawan untuk mengetahui bagaimana proses pengembangan pariwisata, yang berdampak pada transformasi kawasan dan komunitas yang tinggal di sekitar Pantai Purus. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata telah mengubah kawasan ini, dari kawasan yang kumuh yang dihindari menjadi lokasi yang dikunjungi. Nelayan yang dulunya merasa menjadi kelompok yang menolak pembangunan pariwisata karena menjadi kelompok marginal, namun saat ini bertranformasi menjadi komunitas pendukung pariwisita. Pariwisata tidak hanya mengubah ruang dan fisik kawasan tetapi juga kehidupan sosial ekonomi dan budaya komunitas nelayan yang tinggal di sekitar kawasan.
This article discusses how the reproduction of cultural identity in amalgamated families among Malay and Javanese in Tanjung Uma Village, Lubuk Baja District, Batam, Indonesia. The Malay and Javanese are ethnic groups that have different cultural characteristics, so various forms of negotiation are needed in the formation of cultural identity among family members. This is qualitative research with case study method, using observation and in-depth interviews with 15 informants. We use theory of location of culture by Homi K Bhabha and Stuart Hall's cultural identity to explain that cultural identity is not something rigid and standard but can be produced and reproduced. The research show that in amalgamated families of Malay and Javanese, there is a negotiation of cultural identity, making an impact on the formation of a hybrid identity in which the various elements of the two cultures adapt to each other. Hybrid identity is a form of cultural identity reproduction, the result of negotiations between the innate cultures of the two parents, as well as the dominant culture prevailing in the location where the family internalizes itself. This cultural negotiation is also the reason for the survival of Malay and Javanese amalgamated families, in the midst of high divorce rates among other ethnic amalgamation marriage in Tanjung Uma.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.