Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Malaria termasuk kedalam salah satu penyakit yang di tetapkan dalam Sustainable Development Goal (SDGs) yang merupakan kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs) dengan target dapat diakhiri pada 2030. Penyakit malaria dapat terjadi karena adanya interaksi antara lingkungan, individu dan nyamuk Anopheles sebagai vektor pembawa Plasmodium sp. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keluar rumah pada malam hari dan penggunaan kelambu berinsektida dengan penyakit malaria di Desa Lempasing. Jenis penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner tervalidasi. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 30 subjek. Analisis statistik menggunakan uji analisis chi-square. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan keluar rumah pada malam hari (p = 0,028) dan penggunaan kelambu berinsektisida (p = 0,008) dengan penyakit malaria di Desa Lempasing. Disarankan kepada masyarakat yang berada di Desa Lempasing agar tidak keluar rumah malam hari dan menggunakan kelambu berinsektisida agar terhindar dari penyakit malaria.
Latar Belakang: Tuberculosis adalah salah satu dari 10 penyebab kematian teratas dan penyebab pertama kematian dari satu agen infeksius. Peran dokter keluarga sangat penting dalam penangan TB dengan pendekatan patient centered, family approach dan community oriented sehingga tidak hanya menyembuhkan tetapi juga mepromosikan kesehatan dan pencegahan terhadap penyakit TB.Tujuan: Menerapkan pelayanan dokter keluarga secara komprehensif dan holistik dengan mengidentifikasi faktor risiko, masalah klinis, serta penatalaksanaan pasien berbasis evidence based medicineMetode: Analisis studi ini adalah laporan kasus. Data primer diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan kunjungan rumah untuk melengkapi data keluarga, data psikososial dan lingkungan. Data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien di Puskesmas.Hasil: Pasien Tn.H usia 41 tahun dengan tuberkulosis paru putus obat dengan BTA positif. Penatalaksanaan tuberkulosis paru yang diberikan sudah sesuai dengan Evidence based medicine. Setelah dilakukan intervensi didapatkan penurunan gejala klinis dan perubahan perilaku pasien dan keluarganya.Kesimpulan: Penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan tuberculosis paru putus obat pada pasien ini sudah sesuai dengan pedoman nasional. Perubahan gejala klinis, pengetahuan dan perilaku pada pasien dan keluarga pasien setelah dilakukan intervensi berdasarkan evidence based medicine yang bersifat patient centred dan family approach
Coronary heart disease is a cardiovascular disease that has the highest morbidity and mortality rates in the world's uncontagious disease groups. Based on a Sample Registration System survey, the mortality rate from coronary heart disease amounted to 12.9% of all deaths. One of the causes of coronary heart disease is atherosclerosis. Atherosclerosis is a condition in which there is a process of forming plaques in the lumen of the arterial blood vessels. Atherosclerosis can occur due to an abnormal increase in cholesterol levels, resulting in a pathological accumulation in the walls of blood vessels and the formation of plaque obstruction. The plaque can narrow the lumen of the arteries and reduce blood flow to the heart muscle and then it may result in the onset of coronary heart disease. Cholesterol-lowering drugs are often used in atherosclerosis therapy. Tomato (Solanum lycopersicumshot) is a type of horticultural plants that contain many compounds that are useful for the body such as solanin alkaloids, saponins, folic acid, malic acid, citric acid, bioflavonoids including Lycopenes, and ß-carotene, proteins , fats, vitamins, minerals, and histamine.One of the most compound ingredients found in tomatoes is lycopene. Lycopene in tomatoes serves to ward off free radicals, as anti-platelet, and inhibit atherosclerosis so that it is beneficial in the prevention of coronary heart disease.
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a new disease that has never been identified in humans before. The type of virus is a single-strain RNA with a particle size of 120-160 nm. The coronavirus that caused a pandemic was first reported in Wuhan, China on December 31, 2019, is a new type of SARS-CoV 2 and has a genome sequence similar to SARS-CoV and MERS-CoV. This virus is dangerous and has caused deaths recorded as many as 532,340 in the world and 3,241 deaths in Indonesia on July 6, 2020. Pregnant women are included in the group that is vulnerable to infection. COVID-19 infection can cause various symptoms ranging from mild, moderate and severe. The main clinical symptoms that can appear are fever (temperature> 38 ° C), cough and difficulty breathing. These complaints can be accompanied by the presence of severe tightness, fatigue, myalgia, gastrointestinal symptoms such as diarrhea and other respiratory symptoms. The principles that must be considered in managing COVID 19 in pregnancy are early separation, aggressive infection control methods, testing for COVID 19 and other common infection tests, oxygen therapy if necessary, monitoring of fluid therapy,monitoring of the fetus and uterine contractions, mechanical ventilation associated with progressive respiratory symptoms, delivery planning and a team-based approach with multidisciplinary consultation
Pendahuluan : Splenomegali merupakan suatu kondisi adanya pembesaran limpa atau lien yang diukur berdasarkan ukuran atau beratnya. Lien merupakan organ tubuh yang memiliki peran penting dalam proses imunologis dan hematopoiesis. Fungsi utama limpa termasuk dalam proses fagositosis eritrosit abnormal, pembersihan terhadap mikroorganisme dan antigen serta melakukan sintesis terhadap imunoglobulin G (IgG). Lien juga berperan dalam proses sintesis peptida sistem imun properdin dan tuftsin. Sekitar sepertiga dari trombosit yang bersirkulasi disimpan di limpa. Berat normal limpa orang dewasa adalah 70 g hingga 200 g, berat limpa 400 g sampai 500 g menunjukkan splenomegaly, berat limpa lebih besar dari 1000 g definitif splenomegali masif. Pembahasan : Tata laksana yang tepat pada splenomegali adalah dengan melakukan tindakan operatif yaitu splenektomi. Splenektomi dapat dilakukan melalui prosedur laparotomy dengan general anestesi. Kesimpulan: Tindakan splenektomi dengan general anestesi pada pasien menjadi topik yang menarik dengan memperhatikan kondisi kesehatan setiap individu dalam merespon pemberian tindakan anestesi yang diberikan. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai penyebab splenomegali, evaluasi, dan manajemen anestesi pada tindakan splenektomi.Kata kunci : Anestesi, Splenomegali, Splenektomi
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.