The women play important position against the Dutch colonialism in West Sumatra. Keywords : Women, rebellion, Minangkabau women, colonialism AbstrakPerempuan menempati posisi tersendiri dalam sejarah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Sumatera Barat. Hanya saja, citra perempuan sebagai representasi dari kelembutan, menghimpit kenyataan sejarah di mana perempuan juga bisa bersikap keras lagi radikal. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan posisi perempuan dalam adat Minangkabau dan menghuraikan keterlibatan perempuan dalam perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Kajian ini menggunakan pendekatan hermeunetik, artikel ini menelaah keterlibatan perempuan Minangkabau dalam upaya menentang penjajahan dan akibat-akibat yang harus mereka hadapi dari sikap perlawanan itu. Hasil penelusuran ditemukan bahwa pada abad ke-19 nyaris tidak ada perlawanan terhadap penjajahan yang melibatkan perempuan. Baru pada abad ke-20, perempuan terlibat berupa perlawanan dengan fisik (kekerasan) dan dengan jalur politik-radikal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perlawanan rata-rata dipenjarakan atau dibuang, tetapi masing-masing tokoh menanggung nasib yang berbeda-beda, sebahagian kesepian dalam derita terbuang dan sebahagian lainnya mendapat tempat dari kalayak.Kata kunci : Perlawanan, peremupan Minangkabau, kolonialisme PENDAHULUAN Berbicara tentang perempuan sebagai objek maupun wacana sejarah, merupakan unsur yang hilang dalam historigrafi Indonesia pascakolonial. Narasi maupun penjelasan terhadap masa lalu Indonesia hanya berlangsung di sekitar lakilaki. Jika ada yang menghadirkan perempuan dalam proses sejarah, maka keberadaan mereka hanya dikaitkan pada beberapa aspek tertentu yang cenderung KAFA'AH
Pakaian adalah kulit sosial, kehadirannya merepresentasikan masyarakat, dan perubahannya menggambarkan perubahan masyarakat. Artikel ini membahas perubahan corak dan cara berpakaian perempuan Minangkabau sejak masa pra-Padri hingga kemunculan modernitas lewat kehadiran kolonialisme Barat. Selama kurun itu, pakaian perempuan Minangkabau telah mengalami transformasi dalam aspek cara dan corak, perubahan itu mengikuti perubahan social: terbuka dan sangat sederhana pada periode sebelum Padri; cenderung penuh gaya ketika ekonomi menaik menjelang Padri; hingga sangat tertutup dan sederhana atas dorongan Padri; pasca-Padri adalah masa yang kompromistis yang terbuka untuk inovasi tetapi tetap mendasarkan pada prinsip syar’iyyah; sementara kehadiran Barat memberi anasir-anasir baru berupa rok dan kemeja, juga topi. Di atas kulit tubuh perempuan Minangkabau, terdapat berlapis-lapis anasir: kreasi lokal, Islam puritan & modernis sekaligus, juga Barat.
Dalam artikel ini dibahas citra kaum komunis dan gagasan Islam reformis dalam dua roman Abdoelxarim, yaitu Pandoe Anak Boeangan dan Hadji Dadjal. Dengan menggunakan pendekatan neohistorisisme, melalui artikel ini penulis melihat citra dan pandangan yang diusung kedua roman itu terkait dengan komunisme dan reformisme Islam dalam konteks kehadirannya di tengah realitas sosial Indonesia sebelum Perang Pasifik. Hasilnya adalah roman pertama merepresentasikan citra komunis yang ambivalen; menginginkan kesetaraan kelas, tetapi pada saat yang bersamaan memelihara diskrimatif etnis; serta memperjuangkan sosialisme yang agung, tetapi juga memaparkan derita percintaan personal. Sementara itu, roman kedua menggemakan ide-ide kaum reformis Islam bersoal ijtihad dan penggunaan akal yang rasional dalam beragama; menentang ziarah ke makam wali dan ulama keramat; menolak kultus sayyid, habib, dan syekh-kultus Arab sebagai yang paling otoritatif menerjemahkan ajaranajaran Islam; dan mencerca praktik haul dan kenduri untuk kematian. Kedua roman tersebut berkait dengan realitas historis Indonesia sebelum Perang Pasifik pada saat pembaruan/reformasi Islam sedang menanjak naik beriringan dengan kemunculan kaum komunis di gelanggang pergerakan. Selain itu, roman tersebut berkait juga dengan Xarim sendiri yang merupakan salah seorang aktivis komunis Sumatra yang utama, tetapi juga akrab dengan penyerapan ide-ide kaum reformis. Kata-kata kunci: Abdulxarim M.S., roman sebelum perang, komunisme, Islam modernis.
<p class="abstrak">This article discusses the discourse of Islamic Colleges in Indonesia and its realization at the local level with the establishment of Islamic Colleges in Central Sumatra, throughout the late 1930s to the 1950s.During that period, the initial discourse on Islamic Colleges in the national level went on sardonically, especially over bridging the Islamic sciences and general sciences (Western); the lingua francareferred to (Malay, Arabic, Dutch, or English); who should engender the Islamic Colleges; and who should manage them. This discourse at the national level involved prominent scholars like Satiman and Natsir, then Hatta in the following period. Their ideas were then realized in the form of the establishment of Colleges at the local level (regional), one of which was in Central Sumatra, during that period, there had been two Islamic Colleges: Sekolah Islam Tinggi (SIT) P.G.A.I<em> </em>in Padang in the late of colonial period and Darul Hikmah University (UDH) in Bukittinggi at the beginning of independence. Even though both of them were short-lived, they had become a prototype for Islamic Colleges in the following period as an effort to reconcile Islamic sciences and Western sciences, which is now popular as a science integration movement.</p><p class="abstrak"><em>Artikel ini membahas diskursus sekolah tinggi Islam di Indonesia dan realisasinya di tingkal lokal dengan didirikannya sekolah-sekolah tinggi Islam di Sumatra Tengah sepanjang 1930an akhir hingga 1950an. Selama kurun itu, diskursus awal tentang pendidikan tinggi Islam di nasional berlangsung sengit, terutama bersoal menjembatani ilmu-ilmu keislaman dan umum (kebaratan); bahasa pengantar yang diacu (Melayu, Arab, Belanda, atau Inggris); siapa yang harus melahirkan sekolah tinggi Islam; dan siapa pula yang harus mengelolanya. Diskursus ini di tingkat nasional melibatkan para cendikiawan terkemuka serupa Satiman dan Natsir, lalu Hatta dan lain-lain di masa setelahnya. Gagasan-gagasan mereka kemudian direalisasikan dalam bentuk pendirian-pendirian perguruan tinggi di tingkat lokal (daerah), salah satunya di Sumatra Tengah, di mana selama kurun itu telah berdiri berturut-turut dua sekolah tinggi Islam: Sekolah Islam Tinggi (SIT) P.G.A.I</em> <em>di Padang pada masa akhir kolonial dan Universitas Darul Hikmah (UDH) di Bukittinggi pada awal kemerdekaan. Sekalipun keduanya berumur singkat, tetapi telah menjadi role models bagi sekolah tinggi Islam yang ada di periode setelahnya sebagai upaya yang sama untuk mendamaikan antara ilmu-ilmu keislaman dan kebaratan, yang sekarang populer sebagai gerakan integrasi ilmu.</em></p>
<p><em>This article discusses the practices of deviant sexuality in the Muslim-Minangkabau community depicted in early Indonesian films in relation to the socio-cultural context in the film as well as the socio-cultural context when the film was produced. The film in question is </em>Titian Serambut Dibelah Tujuh<em> by Asrul Sani. In this film some of the deviant practices of sexuality depicted are homosexuality, lesbianity, and hypersexuality (through the practice of rape). Using a neo-historicalism approach, which looks at the relation of literary texts (films) to their historical space and time, the narratives in this film relate to the context of their presence in the midst of Indonesian social reality and the setting of the film itself: this film exists as a critique of moral decadence The Old Order, which celebrates sexuality in public spaces and on the other hand, also describes the background society (which is also where the writer of the scenario came from) where the practices of sexuality diverged have their own traces in the history of this society.</em><em></em></p><p>Artikel ini membahas praktik-praktik seksualitas menyimpang di tengah masyarakat Muslim-Minangkabau yang digambarkan dalam film Indonesia awal dalam relasinya dengan konteks sosial-budaya dalam film maupun konteks sosial-budaya ketika film ini diproduksi. Film yang dimaksud adalah <em>Titian Serambut Dibelah Tujuh</em> karya Asrul Sani. Dalam film ini beberapa praktik seksualitas menyimpang yang digambar adalah homoseksualitas, lesbianitas, dan hiperseksualitas (lewat praktik perkosaan). Dengan menggunakan pendekatan neo-historisisme, yang melihat relasi teks sastra (film) dengan ruang dan waktu historisnya, narasi-narasi dalam film ini terkait dengan konteks kehadirannya di tengah realitas sosial Indonesia dan latar filmnya itu sendiri: <em>f</em><em>ilm ini hadir sebagai kritik atas dekadensi moral Orde Lama yang merayakan b</em><em>i</em><em>nalitas-seksualitas di ruang publik</em><em> dan d</em><em>i sisi lain,</em><em> </em>juga menggambarkan masyarakat latar (yang juga dari mana si penulis skenarionya berasal) di mana praktik-praktik seksualitas menyimpang punya jejaknya tersendiri dalam sejarah puak ini.</p>
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.