AbstrakPekerjaan wartawan di daerah konflik untuk menyampaikan fakta peperangan secara obyektif kerap kali mengancam nyawa. Dalam beberapa perjanjian internasional telah termuat ketentuan tentang perlindungan terhadap wartawan yang bertugas di daerah konflik, namun terdapat beberapa hambatan untuk menegakkan ketentuan perjanjian internasional tersebut. Persoalan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan terhadap wartawan pada konflik bersenjata berdasarkan pada perjanjian internasional dalam hukum humaniter? Dan bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang melanggar hukum humaniter (perang) dengan cara "membunuh-menganiaya" wartawan perang? Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah hukum normatif (penelitian hukum kepustakaan) dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Data yang diperoleh adalah data sekunder yang berasal dari sumber kepustakaan seperti literatur, artikel dan situs-situs internet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan terhadap wartawan yang bertugas saat konflik dalam hukum internasional diatur dalam Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 dan Statuta Roma. Dalam rangka pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pelanggaran HAM terhadap wartawan dalam hal ini yaitu ISIS, terdapat hambatan yurisdiksi yang diatur dalam Statuta Roma. Meskipun demikian, masih terdapat peluang pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran HAM yang dilakukan ISIS terhadap wartawan, yaitu adanya tindakan dan langkah khusus dari Dewan Keamanan PBB. AbstractThe work of journalists in conflict zones to convey the facts of war objectively is often life-threatening. In several international treaties, provisions regarding the protection of journalists working in conflict areas have been included, but there are some obstacles to enforcing the provisions of these international agreements. The issue to be discussed in this research is how is the protection of journalists in armed conflict based on international treaties in humanitarian law? And what about criminal liability for offenders who violate humanitarian law (war) by "killing -persecuting" war journalists?.This study uses a normative legal problem approach (library law research) with a descriptive analytical type of research. The data obtained are secondary data from sources such as literature, articles and internet sites. The results showed that the protection of journalists who served during conflicts in
Illegal fishing practices are transnational in nature, which are not so easy to prevent and eradicate without international cooperation. Several international treaties both in the field of international maritime and fisheries law as well as international crimes have not categorized it as a transnational crime. This article discusses regulations that cover the issue of illegal fishing according to Indonesian national law and international law and examines the urgency of countermeasuring illegal fishing as a transnational crime. This article is a normative legal research with a statutory approach that explores the relevant national and international legal instruments which analyzed using descriptive methods. The results indicated that illegal fishing has been strictly regulated both in national and international law, although international law has not categorized illegal fishing as a crime that has cross-border characteristics. Therefore, there is an urgency to countermeasuring illegal fishing through international cooperation. In terms of the implementation of Indonesian national law, until now there seems to be lack of coordination between the national government and regional governments in establishing a mechanism related to efforts to prevent and eradicate illegal ?shing. Praktik Illegal fishingbersifat transnasional yang sulit untuk dicegah dan diberantas tanpa adanya kerjasama internasional. Sejumlah perjanjian internasional baik di bidang hukum laut dan perikanan internasional maupun pidana internasional belum mengategorikan illegal fishing sebagai suatu kejahatan transnasional. Artikel ini membahas pengaturan terkait Illegal Fishing menurut hukum nasional Indonesia dan hukum internasional serta menelaah urgensi penanggulangan Illegal Fishing sebagai kejahatan transnasional.Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan yang menelusuri instrumen hukum nasional dan internasional yang relevan yang dianalisis dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Illegal Fishing sudah diatur secara tegas baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional, kendatipun kukum internasional belum mengategorikan illegal ?shing sebagai kejahatan yang memiliki karakteristik lintas batas Negara. Oleh karenanya, penanggulangan illegal fishing urgen dilakukan melalui kerjasama internasional. Dari segi implementasi hukum nasional Indonesia,hingga saat ininampaknya belum terdapat koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam menetapkan suatu mekanisme berkaitan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan illegal ?shing.
Meskipun Indonesia sudah meratifikasi konvensi-konvensi International Labor Organization (ILO) yang mengatur tentang keseteraan gender, namun faktanya masih banyak berbagai pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan konvensi tersebut. Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa buruh perempuan di berbagai daerah di Indonesia masih mengalami diskriminasi. Bentuk diskriminasi mulai dari kesenjangan hak kerja, hingga pelecehan seksual. Permasalahan yang akan dibahas oleh peneliti adalah bagaimana pelaksanaan dan perlindungan akses hak pekerja wanita berdasarkan Konvensi ILO dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya hak-hak pekerja wanita sebagaimana mengacu pada Konvensi ILO terdiri dari kesetaraan upah, diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, perlindungan kehamilan dan pekerja dengan tanggung jawab keluarga. Hak-hak tersebut juga telah diatur dan termuat dalam hukum Indonesia yakni dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun dalam praktiknya, masih terdapat beberapa hak pekerja wanita yang belum terpenuhi di berbagai perusahaan Indonesia, seperti hak reproduktif, hak cuti melahirkan, hak perlindungan dari kekerasan seksual serta terjadinya diskriminasi upah, jabatan, dan diskriminasi tunjangan. Sehingga dalam rangka untuk memenuhi hak-hak pekerja wanita, pemerintah Indonesia melakukan berbagai wujud nyata sebagai bentuk Implementasi dari Konvensi ILO di Indonesia.
Penyelundupan benih lobster merupakan salah satu tindak pidana yang sedang marak terjadi di wilayah perairan Provinsi Lampung, hal ini diketahui berdasarkan data pada Ditreskrimsus Polda Lampung yang menunjukkan bahwa terhitung sejak Tahun 2017 hingga Tahun 2019 jumlah tindak pidana tersebut cenderung meningkat.Penelitian ini akan memfokuskan pada permasalahan tentang terjadinya tindak pidana penyelundupan benih lobster di Provinsi Lampung, upaya penanggulangan tindak pidana penyelundupan benih lobster di Provinsi Lampung, hambatan dalam penanggulangan tindak pidana penyelundupan benih lobster di Provinsi Lampung, dan kerangka internasional dalam pencegahan penyelundupan benih lobster. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak pidana penyelundupan benih lobster di Provinsi Lampung terjadi karena tingginya kebutuhan lobster dari berbagai negara sedangkan di perairan Lampung memiliki potensi lobster yang cukup memadai, rendahnya kesadaran masyarakat atas dampak lingkungan, pemberian sanksi pidana kepada pelaku belum memberikan edukasi, serta pengawasan di wilayah perbatasan perairan tidak dilakukan secara optimal. Adapun upaya penanggulangan yang dilakukan adalah dengan tindakan preventif dan tindakan represif. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat paling dominan dalam tindakan preventif adalah faktor masyarakat dan faktor kebudayaan, selanjutnya dalam tindakan represif adalah faktor perundang-undangan yang mewajibkan adanya koordinasi proses penyidikan antara penyidik kepolisian dengan PPNS dan faktor penegak hukum yakni tidak semua penyidik berpendidikan sarjana hukum serta menumpuknya beban kerja. Kerangka internasional pencegahan penyelundupan benih lobster bersumber dari ketentuan yang termuat dalam UNCLOS 1982, RMFO, CCRF, IPOA, serta RPOA.
The environment is a victim of various armed conflicts that occur in some parts This research is discusses about how an environmental protection in armed conflict according to international humanitarian law, which aims to explain the regulations that apply to protect the environment at the armed conflict. This research uses normative law approach (literature research). The results of this study show that environmental protection in armed conflict is regulated in the conventions of international humanitarian law both from the Hague Law and the Geneva Law. In The Hague law the environmental protection is governed by the IV Hague Convention 1907of respecting the laws and customs of war and land Art 23 (g) and Art 55. In the Geneva Law an environmental protection is contained in the IV Geneva Convention 1949 Art 53 and Additional Protocol I in 1977 Art 35 (3), 54, 55, 56, 59, and
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.