This paper describes roles of farmers' groups in agricultural technology application. A farmers' group is defined as a group of farmers informally consolidate themselves based on their common goals in farming activities. Initial spirit of establishing a farmers' group is to strengthen farmers' bargaining position, especially in terms of collective purchasing of farm inputs and selling their agricultural products efficiently. Indonesia has a long experience in formation of farmers' groups since Mass Intensification (BIMAS) and Special Intensification (INSUS) were launched in 1970s-1980s. Currently, most of farmers groups in Indonesia are not formed by farmers themselves, but they are mostly formed as a response to the government program that requires farmers to become members of a farmers' group. Most of government support for farmers, such as distribution of subsidized fertilizer, agricultural extension, subsidized farm credits and other programs are distributed to farmers' group or farmers' groups association. Introduction and promotion of a new technology is also delivered through farmers' groups. Thus, the roles of a farmers' group are not only as the means of distributing government assistance and extension services, but also as the agent for new technology adoption. Key words : farmers, farmers' group, technology, adoption ABSTRAKMakalah ini merupakan tinjauan (review) dari berbagai literatur dan hasil penelitian terdahulu, ditujukan untuk mendeskripsikan peran kelompok tani dalam penerapan teknologi pertanian. Kelompok tani didefinisikan sebagai sekelompok petani yang secara informal mengkonsolidasi diri berdasarkan kepentingan bersama dalam berusahatani. Semangat awal pembentukan kelompok tani adalah untuk memperkuat posisi tawar, terutama dalam pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil secara kolektif. Indonesia mempunyai pengalaman panjang pembentukan kelompok tani, sejak diluncurkannya program BIMAS, INSUS dan Supra Insus di era 1970-an dan 1980-an. Saat ini kebanyakan kelompok tani di Indonesia tidak lagi dibentuk atas inisiatif petani dalam memperkuat diri, melainkan kebanyakan merupakan respon dari program-program pemerintah yang mengharuskan petani berkelompok. Umumnya program-program bantuan pemerintah seperti: penyaluran pupuk bersudsidi, penyuluhan teknologi pertanian, kredit usahatani bersubsidi, dan program-program lain disalurkan melalui kelompok tani atau gabungan kelompok tani (Gapoktan). Petani yang ingin mendapat teknologi baru dan berbagai program bantuan pemerintah harus menjadi anggota kelompok atau anggota Gapoktan. Dengan demikian, peran kelompok tani tidak hanya sebagai media untuk menyalurkan bantuan-bantuan pemerintah, tetapi juga sebagai agen penerapan teknologi baru. Kata kunci : petani, kelompok tani, penerapan, teknologi PENDAHULUANSecara filosofis, kelompok tani dibentuk untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi petani yang tidak bisa diatasi secara individu. Sadjad (2010) mengungkapkan bahwa pembentukan kelompok tani merupakan proses pewujudan pertanian yang te...
<p>Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan langkah-langkah operasional yang diperlukan untuk penguatan kelompok tani dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Kendati lembaga kelompok tani telah demikian banyak dibentuk, namun cukup sulit saat ini untuk menemukan kelompok tani yang aktif, di mana anggotanya memanfaatkan lembaga tersebut untuk meningkatkan kinerja usahatani dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Padahal kelompok tani memiliki peran dan fungsi yang penting dalam menggerakkan pembangunan pertanian. Penguatan kelembagaan perlu dilakukan melalui beberapa upaya, antara lain; (1) mendorong dan membimbing petani agar mampu bekerjasama di bidang ekonomi secara berkelompok, (2) menumbuh-kembangkan kelompok tani melalui peningkatan fasilitasi bantuan dan akses permodalan, peningkatan posisi tawar, peningkatan fasilitasi dan pembinaan kepada organisasi kelompok, dan peningkatan efisiensi dan efektivitas usahatani, serta (3) meningkatkan kapasitas SDM petani melalui berbagai kegiatan pendampingan, dan latihan yang dirancang secara khusus bagi pengurus dan anggota. Secara teknis upaya penguatan kelompok tani ini dilakukan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Meskipun demikian pendampingan pembinaan kelompok tani juga dapat dilakukan oleh LSM, dan organisasi lainnya yang dipandang mampu untuk dilibatkan dalam penguatan kelompok tani.</p>
<p><span lang="EN-US">Indonesia is the largest garlic importer in the world. The government has implemented a program to reduce importation of this product called the garlic mandatory-planting for importers. Implementation of this policy in the fields faced several chalanges. This study aimed to assess the realization of the mandatory-panting policy on national garlic production enhancement. Specifically, the study was intended to evaluate garlic international trade, to assess mandatory-planting policy, and to examine opportunities and challenges of garlic mandatory-planting. Result of this study concluded that the mandatory-planting had no significant impact as the importers’ planted areas were far below the targets. The mandatory-planting policy was encountered by lack of quality seed, limited land, lack of farmers’ interest for growing garlic, long harvest period, low yield, and not competitive selling price. It is suggested that the Ministry of Agriculture replace mandatory-planting with mandatory-purchase, expanding the planted-area to suitable areas, increasing import tariff, and production increase but evading the self-sufficiency policy. </span></p><p>Abstrak</p><p><span lang="EN-US">Indonesia merupakan negara importir bawang putih terbesar di dunia. Pemerintah melaksanakan program untuk menurunkan impor dengan menerapkan kebijakan wajib tanam bagi importir bawang putih. Pelaksanaan kebijakan ini di lapangan ternyata mengalami banyak tantangan. Penelitian ini bertujuan menganalisis realisasi kebijakan wajib tanam bagi importir terhadap peningkatan produksi bawang putih nasional. Secara khusus penelitian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi perdagangan internasional bawang putih, meneliti kebijakan wajib tanam bagi importir, dan mengkaji peluang dan tantangan wajib tanam. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebijakan wajib tanam bagi importir bawang putih tidak optimal dampaknya antara lain karena realisasi tanam jauh di bawah sasaran. Berbagai hambatan dalam program wajib tanam antara lain kekurangan benih bermutu, lahan terbatas, petani kurang berminat, waktu panen cukup lama, produktivitas rendah, dan harga jual tidak bersaing. Disarankan agar kebijakan wajib tanam diganti dengan wajib beli bagi importir, penanaman di wilayah yang sesuai, peningkatan tarif impor, dan peningkatan produksi tanpa harus meneruskan program swasembada bawang putih.</span></p>
<strong>Indonesian</strong><br />Makalah berjudul ini disusun berdasarkan telaahan (review) beberapa hasil penelitian, literatur dan data sekunder dari berbagai sumber. Selama lebih dari tiga dekade, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Sebelum krisis ekonomi, upaya keras tersebut telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 40 persen tahun 1970-an menjadi 11 persen tahun 1996. Krisis ekonomi sejak 1997 telah melumpuhkan semua sector ekonomi. Akibatnya, angka kemiskinan meningkat menjadi 25 persen tahun 1998, meskipun turun lagi menjadi 16 persen tahun 2005. Peningkatan harga bahan bakar minyak tahun 2006 berakibat meningkatnya kembali proporsi penduduk miskin menjadi 18 persen. Sebagian besar penduduk miskin berdomisili di perdesaan dan sangat tergantung pada sektor pertanian. Oleh karena itu, sektor pertanian harus dibangun dalam bentuk pembangunan perdesaan terpadu. Strategi pengentasan kemiskinan melalui bantuan tunai, pangan, atau pinjaman dana bergulir terbukti tidak efektif dalam mengentaskan mereka dari kemiskinan. Penyediaan kredit lunak dengan prosedur yang sederhana, disertai dengan pembangunan infrastruktur mungkin lebih efektif. Pada saat yang sama, pemerintah pusat dan daerah hendaknya mendorong dan memfasilitasi swasta untuk berinvestasi dalam agroindustri di perdesaan. Selain itu juga membangun kemitraan usahatani yang saling mengun-tungkan antara petani dengan perusahaan agroindustri. Dengan strategi ini diharapkan keluarga miskin dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui penjualan produk, serta dapat bekerja di pabrik pengolahan hasil pertanian, sehingga lebih banyak peluang memperoleh pendapatan, dan jumlah penduduk miskin berkurang. <br /> <br /><br /><strong>English</strong><br />This paper is written based on the review of some studies, literatures and secondary data from some sources. For more than three decades, some efforts have been done, and successfully reduced the number of poverty, from 40 percent in 1970s to 11 percent in 1996. However, the economic crisis started in mid 1997 has caused an increase in the percentage of people under poverty line to almost 25 percent in 1998, although decreased to 16 percent in 2005. An increase in gasoline price has resulted an increase in proportion of poverty to almost 18 percent of the population. Most of the poor are living in rural areas with marginal land, low quality of human resource, and poor infrastructures. On the other hands, they are strongly depending upon agricultural sector. Hence, agricultural sector should be developed in terms of integrated rural development. The strategy of poverty alleviation by giving the poor with granted-cash, food aid, or revolving fund is not the effective way to alleviate poverty. Instead, providing them with soft credit together with development of infrastructures might be more effective. At the same time, the central and local governments should encourage the investors to invest in agro-industry in rural areas. A fair partnership could be developed between farmers and companies. By these strategies, the poor families could help themselves to improve their welfare, through selling their products, as well as working in the agro-industrial sector. Thus, more income can be generated, so that the people living under poverty line will be reduced.
Pada kondisi konversi lahan pertanian yang sulit dibendung dan teknologi usahatani padi yang hampir jenuh, sulit mengharapkan pertumbuhan produksi yang tinggi dari perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas. Di pihak lain, angka kehilangan hasil masih relatif tinggi. Penurunan kehilangan hasil melalui perbaikan penerapan teknologi panen dan pascapanen nampaknya merupakan sumber pertumbuhan produksi yang prospektif. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi ketersediaan teknologi maju pascapanen dan kendala petani, buruh, pedagang, dan penggilingan padi dalam mengadopsi teknologi maju tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa sudah cukup banyak tersedia teknologi maju panen, perontokan, pengeringan, dan penggilingan padi. Namun tingkat adopsi dari teknologi tersebut masih relatif rendah. Berbagai kendala yang dihadapi dalam mengadopsi teknologi maju pascapanen, antara lain: (i) Ketidaktahuan petani, buruh, dan pedagang tentang teknologi tersebut, (ii) Harga alat dan mesin pascapanen yang kurang terjangkau oleh petani individu, (iii) Belum adanya jasa penyewaan alat dan mesin pascapanen, (iv) Adanya tekanan dari buruh dan pengasak, karena khawatir akan kehilangan lapangan pekerjaan, (v) Tidak adanya insentif perbedaan harga bagi pedagang untuk melakukan kegiatan pengeringan, dan (vi) Rasa puas penggilingan padi dengan alat dan mesin yang dimiliki saat ini. Untuk mempercepat adopsi teknologi maju pascapanen, diperlukan beberapa alternatif kebijakan strategis, antara lain: mengintensifkan introduksi, promosi dan demonstrasi alat dan mesin pascapanen melalui penyuluhan dan pelatihan di tingkat kelompok tani, memperbaiki harga pembelian gabah dan beras untuk memberi insentif bagi petani dan pedagang melakukan pengeringan, dan penyediaan kredit lunak dengan administrasi sederhana bagi perorangan atau perusahaan penyewaan alat dan mesin pascapanen.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.