Tidak setiap masyarakat menghubungkan kondisi sehat ataupun sakit hanya dengan kondisi tubuh seseorang, namun nilai, kepercayaan dan budaya juga memainkan peran penting di dalam pendefinisian kondisi kesehatan seseorang. Oleh karena itu, kajian ini penting untuk dilakukan. Kajian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan konsep sehat dan sakit pada masyarakat lokal dan menemukan teknik-teknik pengobatan berdasarkan falsafah lokal. Kajian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan etnografi (emic) dengan objek kajian pada komunitas Dayak Kebahan di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Adapun temuan dalam kajian ini ialah: (1) sehat adalah seseorang yang memiliki badan yang sehat, mental yang kuat dan mampu beraktivitas dengan lancar tanpa mengalami gangguan; (2) Penyakit didefinisikan sebagai suatu yang tidak terlihat secara langsung, tidak berbentuk dan tidak terasa, tiba-tiba saja bisa menyerang, dan berbentuk suatu wabah atau kumpulan penyakit; (3) Sakit didefinisikan sebagai sakit pada umumnya, sakit ingatan atau garing panas (sakit jiwa), garing pulasit (kemasukan roh jahat), sakit kuning dan kapidaraan; (4) Teknik pengobatan yang dilakukan ialah dengan pengobatan menggunakan tanaman, mantra, dan ritual balian/batra.
This study aimed to find about the history of the Lanting house and more deeply understand the characteristics of the Lanting houses, floating on the river in Sumber Harapan Village. This study used a qualitative approach with the ethnography research method. Triangulation method was used to test the validity of the data. According to Malinowski’s functional theory, all cultural activities actually intend to satisfy a series of instincts of human beings that are related to their entire lives. Thus, the techniques of data collection were observation, interviews, and documentation.The results of this study indicate that the Lanting House not only functions as a place to live, but also develops as a place of business. There are two functions of the Lanting House in Sumber Harapan Village such as the function of a residence that provides protection from disturbances, arise from the environment around them. The second was not only used as shelter, but also as a place of business as a fulfillment of their lives because of the changing life patterns. In addition, each Lanting house has similar form one from another, which has a simple room pattern.
Dayak Tamambaloh terbagi dalam 4 kelas sosial; Samagat, Pabiring, Ulun/Banua dan Pangkam. Samagat merupakan strata tertinggi dan memiliki hak sebagai pemimpin yang disebut Tamanggung. Tamanggung merupakan seorang Samagat dengan darah yang murni tidak tercampur dengan strata dibawahnya. Karena itu, Samagat wajib menikah sesama Samagat dengan tujuan melestarikan keturunan bagi lahirnya calon Tamanggung. Namun kewajiban ini berbenturan dengan sistem perkawinan eksogami keluarga inti Dayak Tamambaloh. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan mengkaji cara Samagat mempertahankan strata sosialnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data dikumpulkan dengan wawancara dan observasi. Unit analisis kajian ini adalah Samagat Dayak Tamambaloh. Penelitian ini menunjukkan, terdapat adat panyonyok yang menjadi simbol untuk mempertahankan strata sosial Samagat. Panyonyok merupakan pemberian maskawin berupa meriam api atau gong atau tempayan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Secara simbolik Panyonyok memiliki empat fungsi. Pertama, untuk mempertahankan, menaikkan strata sosial keturunan atau anak. Kedua, simbol penyatuan keluarga luas laki-laki dengan perempuan. Ketiga, simbol jaminan kesetiaan suami-istri. Keempat sebagai media “pamer”, atau suatu wujud prestise. Dalam sistem perkawinan Dayak Tamambaloh, adat panyonyok dapat dilakukan oleh strata Pabiring dan Ulun/Banua. Namun, Fungsi untuk mempertahan dan atau mengangkat strata keturunan, merupakan fungsi utama Panyonyok bagi Samagat. Fungsi ini tidak menjadi tujuan utama panyonyok pada strata pabiring dan Ulun/Banua. Sebagai upaya mempertahankan status sosial ke-samagat-an, adat panyonyok dilakukan dengan cara mambiti dan dambitang. Mambiti apabila seorang laki-laki dari strata pabiring atau ulun/banua menikahi perempuan Samagat. Dambitang apabila seorang laki-laki dari strata Samagat menikahi perempuan Pabiring atau Ulun/Banua.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena akseptasi modernitas yang terjadi di Nyarumkop, Kota Singkawang. Ketika tradisi Dayak dipertemukan dengan tradisi Gereja Katolik, lantas apakah kedua tradisi itu saling mempengaruhi? Ataukah terjadi menyesuai diri? Atau justru saling “memberi” dan “menerima”? Menjawab pertanyaan masalah ini, telah dilakukan penelitian terhadap orang Dayak di Kampung Nyarumkop. Kampung Nyarumkop sebagai pusat persekolahan misi Gereja Katolik, tentu merepresentasikan modernitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi budaya dengan prosedur etnografis. Selama 6 bulan kami melakukan observasi, wawancara mendalam, dan studi literatur, terhadap fenomena modernitas masyarakat desa di Kampung Nyarumkop. Penelitian ini mengungkap feomena akseptasi modernitas pada masyarakat desa, terjadi karena terdapatnya domain psikologi, domain sosial dan domain budaya yang memiliki aspek keterbukaan terhadap hal-hal baru di luar diri mereka. Keterbukaan pada tiga domain ini mendorong etnis Dayak di Kampung Nyarumkop dalam menerima kehadiran Tradisi Barat melalui misionaris Gereja Katolik. Modernitas yang terjadi pada masyarakat pedesaan tampak dalam gejala global village di kampung Nyarumkop. Namun demikian, orang-orang Dayak tersebut tidak bisa secara total melepaskan diri dari ikatan tradisinya, sehingga terjadi juga gejala detradisionalisasi sebagai gejala modernitas. This study aims to describe the phenomenon of acceptance of modernity that occurs in Nyarumkop, Singkawang City. When the Dayak tradition is met with the tradition of the Catholic Church, then do the two traditions influence each other? Or does it happen accordingly? Or do they “give” and “receive”? Answering this research question, we have conducted research on the Dayak people in Nyarumkop Village. Nyarumkop village as the center of the Catholic Church's mission schooling certainly represents modernity. This study uses a cultural anthropological approach with ethnographic procedures. For 6 months we conducted observations, in-depth interviews, and literature studies, on the phenomenon of the modernity of rural communities in Nyarumkop village. This study reveals the phenomenon of acceptance of modernity in rural communities, occurs because of the psychological domain, social domain and cultural domain that have aspects of openness to new things outside of themselves. Openness to these three domains encourages the Dayak ethnic group in Nyarumkop Village to accept the presence of Western Tradition through Catholic Church missionaries. Modernity that occurs in rural communities can be seen in the global village phenomenon in Nyarumkop village. However, the Dayak people cannot totally break away from their traditional ties, so there is also a symptom of detraditionalization as a symptom of modernity.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang ritual Ik Cek Yen Kou menurut masyarakat Cina di Provinsi Kalimantan Barat, makna ritual buang sial dalam ritual Ik Cek Yen Kou dan kepercayaan masyarakat Cina terhadap suatu ritual. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis metode penelitian etnografi, pengujian keabsahan data menggunakan teknik analisis data kualitatif. Teori tradisi digunakan sebagai pisau analisis untuk menginterpretasikan praktik-praktik manusia yang bermakna. Sehingga teknik pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Data diperoleh dari sumber berupa orang, tempat dan arsip atau dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilihan upaya membuang sial dari dalam tubuh seseorang, menurut masyarakat etnis Cina juga ditentukan atas persepsi yang diyakini oleh suatu kelompok masyarakat itu sendiri. Ritual Ik Cek Yen Kou masih dilakukan hingga saat ini karena kepercayaan masyarakat etnis Cina yang begitu besar terhadap adanya kesialan saat shio yang tidak cocok dengan tahun lahirnya kemudian kepercayaan yang mengatakan jika ada keluarga yang meninggal akan merundung kerabat yang masih hidup untuk menemaninya kembali ke alam selanjutnya. Kejadian seperti ini merupakan hal yang sangat tidak diinginkan oleh masyarakat etnis Cina, oleh karena itu mereka selalu mengadakan ritual Ik Cek Yen Kou agar senantiasa beruntung didalam kesehariannya. Masyarakat etnis Cina berusaha menghilangkan kesialan dari dalam tubuhnya dengan melakukan ritual Ik Cek yen Kou dengan bantuan seorang Acarya. Acarya membacakan seluruh mantra yang dibutuhkan untuk mendatangkan energi dari mantra itu sendiri yang kemudian akan secara perlahan menghilangkan kesialan dari dalam tubuh umat yang mengikuti ritual.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.