Pada awalnya perawatan paliatif dititik beratkan pada akhir kehidupan, padahal yang tepat adalah mulai dilakukan identifikasi kebutuhan perawatan paliatif saat penyakit terdiagnosis. Perawatan paliatif adalah perawatan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga yang menderita penyakit yang mengancam nyawa dan progresif, seperti kanker, penyakit non-kanker, dan human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/ AIDS). Tujuan perawatan paliatif adalah mengurangi penderitaan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui berbagai tindakan medis, baik konservatif, operatif, ataupun tindakan lain. Keputusan perawatan paliatif harus sudah ada sejak awal perawatan agar keinginan pasien terpenuhi. Perencanaan perawatan lanjutan dibuat atas dasar keputusan bersama antara pasien, keluarga, dan petugas kesehatan. Hasil akhir identifikasi dan keputusan dapat tertulis dalam advanced directives.
Menurut laporan tahunan European Renal Association–European Dialysis and Transplant Association (ERA-EDTA), pasien yang menjalani transplantasi ginjal dari tahun 2014 sampai 2018 memiliki kesempatan hidup hanya setengah dari usia dengan sisa fungsi ginjal yang ditransplantasikan, sedangkan untuk pasien yang dilakukan hemodialisis (HD) adalah 70% lebih pendek. Populasi lanjut usia (lansia) semakin bertambah, begitupun dengan lansia yang menjalani HD juga akan bertambah sebagai akibat dari menurunnya value dan penurunan fungsi sebagai seorang yang mandiri. Selain itu, HD juga dapat meningkatkan angka mortalitas seorang lansia. Berdasarkan data dari national health and nutrition examination survey (NHNES), prevalensi penyakit ginjal kronik pada usia 65-79 tahun adalah 31,5% dan pada usia >80 tahun yaitu 65%.
Depresi adalah kondisi umum yang sering terjadi pada pasien dengan gagal jantung (GJ) dan diidentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya atau memberatnya gangguan kardiovaskular. Depresi pada pasien penyakit jantung sering didefinisikan sebagai suatu kondisi psikosomatik-somatopsikis yang saling memengaruhi. Namun, terlepas dari dampak buruk dari depresi, kondisi ini sering tidak terdiagnosis dan kurang mendapat perhatian pada pasien gagal jantung.Makalah ini disusun berdasarkan kajian literatur dari Pubmed, Google Scholar dan Scopus untuk mendapatkan gambaran pendekatan psikosomatik, pada pasien depresi dengan gagal jantung yang di antaranya meliputi (1) epidemiologi, (2) patofisiologi, (3) diagnosis, dan (4) manajemen depresi pada gagal jantung. Hasil kajian literatur menunjukkan bahwa prevalensi depresi pada gagal jantung di Indonesia sebesar 5,3-42%. Mekanisme patofisiologi depresi dan gagal jantung, merupakan proses yang saling memengaruhi, yang mana terjadi disregulasi pada sistem saraf simpatik dan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal yang pada gilirannya memiliki sejumlah efek hilir yang mengganggu, termasuk risiko terjadinya hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi, vasokonstriksi koroner, disfungsi endotel aktivasi platelet, dan produksi sitokin proinflamasi. Diagnosis depresi pada pasien HF dilakukan mengacu pada kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM-V) yang disusun oleh American Psychiatric Association. Skrining depresi dapat dilakukan menggunakan Patient Health Questionnaires-2 (PHQ-2) atau PHQ-9. Pendekatan terapi menggunakan model biopsikososial-spiritual. Psikoterapi (misalnya psikoterapi kognitif-perilaku) dan terapi farmakologis (misalnya penggunaan sertralin, penghambat ambilan serotonin selektif) terbukti aman dan efektif dalam manajemen depresi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Selain itu, dibutuhkan juga program perawatan kolaboratif dan multidisiplin dalam intervensi pasien gagal jantung dengan depresi. Sebagai kesimpulan, tinjauan artikel dalam makalah ini menunjukkan bahwa prevalensi depresi pada gagal jantung cukup tinggi namun sering kurang dikenali oleh dokter, terdapat hubungan antara psikosomatik dan gagal jantung, pendekatan biopsikososial-spiritual melalui non farmakologi seperti psikoterapi dan terapi farmakologi memiliki manfaat. Penelitian di masa depan diperlukan untuk membuat evaluasi berbasis bukti dan algoritma pengobatan yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari populasi target.
Brugada syndrome is an inherited autosomal dominant disease that cause sudden death, which related with mutation of SCN5A gene, ? subunit of sodium channel. The risk Brugada syndrome in male is 8 times more than females. The average age is 40 years old, which can happen between age 1 to 77 years old. The Incidence is 5 to 66 per 10.000 people. The golden diagnostic tools is ECG, an abnormality QRS-T found in lead V1-V3. I report a case of Brugada syndrome with neither sign nor symptoms. The disease coincidental in routine medical examination.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.