The SMEs have an important role in the development of Indonesia’s economy, representing 99.99% of the total enterprises in 2013 and had a significant contribution to GDP amounted to 60.34 % of the total GDP. However, this was not in line with the amount of national tax revenue, only under 0.5% of total tax revenues in 2014 and 2015. Along these years, Income tax for SMEs is calculated by utilizing the presumptive scheme with gross turnover as a proxy for income base.This study will analyze the current-implemented presumptive scheme and introduce other presumptive schemes. This study shows that current presumptive scheme has some the advantages, among others, having simplicity, having reasonable approach for calculating income tax and minimizing economic distortion. However, this scheme lead to the issue of tax fairness, the low of tax compliance and the difficulty of conducting supervision. Another scheme could be taken into consideration, utilizing assets as a proxy of income base. This scheme will provide some benefits. It may encourage of the low tax compliance costs that lead to the high of tax compliance, and may relieve of conducting tax supervision. Moreover, this scheme is being regarded successful for tax amnesty program in Indonesia.Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berperan penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Pada tahun 2103, UMKM menunjukkan 99,99% dari total pengusaha dan mempunyai kontribusi 60,34% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, kontribusi UMKM terhadap total penerimaan pajak belum sejalan dengan kontribusi UMKM terhadap PDB. Selama tahun 2014 s.d. 2016, UMKM hanya menyumbangkan pajak kurang dari 0,5% dari total penerimaan pajak. Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak UMKM menggunakan skema presumptive dengan omzet sebagai proxy penghasilan, yaitu 1% dari peredaran bruto.Penelitian ini akan menganalisis skema presumptive yang sekarang digunakan dan memperkenalkan perspektif skema presumptive yang lain untuk diterapkan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skema presumptive dengan peredaran bruto sebagai proxy penghasilan memiliki kelebihan berupa kesederhanaan, mengakomodasi variabel yang mendekati penghitungan pajak, dan meminimalkan distorsi ekonomi. Kelemahannya adalah menimbulkan ketidakadilan pajak secara vertikal dan horizontal, tingkat kepatuhan yang rendah, dan pengawasan yang sulit. Pemerintah perlu melakukan analisis biaya dan manfaat jika ingin melanjutkan skema ini. Skema lainnya perlu juga untuk dipertimbangkan, yaitu penggunaan aset sebagai proxy penghasilan. Skema ini memiliki kelebihan baik untuk pemerintah maupun Wajib Pajak, antara lain biaya kepatuhan yang rendah, kepatuhan yang tinggi, dan pengawasan yang relatif mudah. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menggunakan skema ini bercermin dari keberhasilan program tax amnesty.
UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengalokasikan Dana Desa. Dana Desa diberikan kepada setiap desa, menjadi salah satu sumber pendapatan desa dalam rangka mendukung tugas dan fungsi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Penyaluran Dana Desa dilakukan secara bertahap dari pemerintah pusat (APBN) ke Kabupaten/Kota (APBD), dan selanjutnya ke Desa (APBDes). Dalam penggunaan dana desa, terdapat beberapa kewajiban pajak yang harus dilakukan oleh Desa. Sebagai suatu satuan kerja yang mengelola dana yang berasal dari APBN/APBD/APBDes, Desa merupakan pemotong/pemungut pajak. Dengan demikian, desa harus memahami kewajiban sebagai pemotong/ pemungut pajak. Berdasarkan Evaluasi yang dilakukan beberapa unit Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2017, diketahui bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakan ini masih perlu adanya perbaikan. Politeknik Keuangan Negara STAN (PKN STAN) melihat perlunya pendampingan kepada beberapa Desa untuk memastikan pelaksanaan kewajiban perpajakan terkait dana desa. Desa yang menjadi objek pendampingan adalah Desa Cisereh, Desa Margasari, Desa Pematang, dan Desa Tegalsari yang berada di Kabupaten Tangerang. Berdasarkan hasil evaluasi dan pendampingan diketahui bahwa secara umum Desa telah melakukan pemotongan/pemungutan pajak namun belum melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
ABSTRAK Tulisan ini ditujukan untuk menganalisis selisih lebih revaluasi aset tetap berdasarkan konsep penghasilan menurut akuntansi dan pajak serta pengenaan pajak penghasilan atas selisih lebih revaluasi aset tetap tersebut dikaitkan dengan prinsip penghasilan dan komitmen untuk melakukan konvergensi IFRS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sisi akuntansi, selisih lebih revaluasi aset tetap merupakan penghasilan yang berupa keuntungan yang belum direalisasi. Sedangkan dari sisi pajak, selisih lebih revaluasi bukan penghasilan karena belum direalisasi (tidak ada transaksi eksternal). Peraturan perpajakan mengenai pengenaan pajak atas selisih lebih revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan yang berlaku saat ini perlu dikaji ulang karena tidak sesuai dengan prinsip penghasilan serta tidak selaras dengan komitmen Indonesia untuk melakukan konvergensi IFRS.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.