In Indonesian criminal procedure law, there is no requirement for an investigator to first conduct an examination of a potential suspect until the determination as a suspect. The determination of a suspect is deemed sufficiently reasonable if it is based on examination of evidence, ranging from witness testimony, expert testimony, document and other evidence. After the Decision of the Constitutional Court Number 21/PUU-XII/2014, there were differences in interpretation and debate regarding the examination of the potential suspect, because this examination was mentioned in the consideration of the decision as a necessity but not part of the verdict. In this article, it is revealed that the designation of a person as a suspect is part of forced efforts and is almost equivalent to the designation of a person as a convicted person due to the similarities in the various restrictions and deprivation of rights that can be applied as a result of the two determinations, for example in detention. The shift in the meaning of the determination of a suspect as part of this forced effort encourages that citizens’ rights be protected not only when a person is a suspect, but also before becoming a suspect. Thus, the rights inherent in a suspects also needs to be given to those who will be designated as suspects, also called as potential suspects. Abstrak Dalam hukum acara pidana Indonesia, tidak ada keharusan bagi penyidik untuk terlebih dahulu melakukan pemeriksaan calon tersangka sehingga sampai pada penetapannya sebagai tersangka. Penetapan tersangka dipandang telah cukup beralasan apabila didasarkan pada pemeriksaan alat bukti, mulai dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan bukti lainnya. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, terjadi perbedaan penafsiran dan perdebatan tentang pemeriksaan calon tersangka ini, disebabkan pemeriksaan ini disebut dalam bagian pertimbangan putusan sebagai suatu keharusan namun tidak menjadi bagian amar putusan. Dalam artikel ini ditunjukkan, penetapan seseorang sebagai tersangka merupakan bagian dari upaya paksa dan bahkan hampir setara dengan penetapan seseorang sebagai terpidana, disebabkan kesamaan berbagai pembatasan dan perampasan hak yang dapat diterapkan akibat dari dua penetapan tersebut, misalnya dalam penahanan. Perubahan pemaknaan penetapan tersangka sebagai bagian dari upaya paksa ini mendorong agar hak-hak warga negara telah harus dilindungi tidak saja ketika seseorang sudah berstatus tersangka, tetapi juga pada saat sebelum menjadi tersangka. Dengan demikian, hak-hak yang melekat dalam diri tersangka juga perlu diberikan kepada mereka yang akan ditetapkan sebagai tersangka, atau disebut calon tersangka.
Penerapan sanksi pidana adat dalam masyarakat Melayu di Kecamatan Tungkal Ulu pada masa lalu adalah dengan hukuman gawal (kawin paksa). Dilihat dari aspek hak asasi manusia, kawin paksa sering dianggap seagai entuk pelanggaran hak asasi manusia. Melalui penelitian ini disimpulkan bahwa kawin paksa (gawal) pada masyarakat Melayu Tungkal Ulu tidak merupakan pelanggaran hak asasi manusia karena dilakukan dengan dasar pembenaran oleh system sosial setempat dan bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan pasangan yang dipaksa. Bahkan gawa pada dasarnya diinginkan oleh pasangan tersebut.
Pada awalnya, Pengadilan Tipikor dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai sebuah pengadilan khusus, Pengadilan Tipikor berinduk pada Pengadilan Negeri (PN) dalam hal ini PN Jakarta Pusat. Pada perkembangannya, keberadaan Pengadilan Tipikor mengalami perubahan. Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pengadilan Tipikor harus dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri, paling lambat tiga tahun sejak dikeluarkannya putusan MK. Berdasarkan Pasal 3 UU No. 46 Tahun 2009 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Berkenaan dengan kasus pengesahan revisi Perda Provinsi Riau No. 6 Tahun 2010 yang melibatkan anggota DPRD yang ditangani oleh Pengadilan Tipikor Pekanbaru, maka keberadaan pengadilan tersebut sudah sah, karena sudah dianggap sesuai yurisdiksinya berdasarkan putusan MK tersebut. Penanganan kasus tersebut juga dianggap telah menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan, karena kasus tersebut juga telah memenuhi prinsip-prinsip kriminalisasi.
Ujaran kebencian merupakan bentuk tindak pidana yang banyak terjadi khususnya terkait dengan situasi politik baik nasional maupun daerah. Meskipun sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan, makna ujaran kebencian tersebut masih bersifat multitafsir. Dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif, diketahui bahwa yang dimaksud dengan ujaran kebencian seharusnya dimaknai dengan ujaran yang mengajak membenci seseorang indvidu atau kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan, bukan pernyataan kebencian kepada seseorang atau sekelompok orang.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.