<p>Keterbatasan sumbar daya manusia pengawasan ketenagakerjaan serta kondisi georgrafis negara Indonesia yang berupa kepulauan, merupakan alasan utama pentingnya penggunaaan teknologi digital dalam penyelenggaraan pengawasasn ketenagakerjaan. Masih lemahnya koordinasi antar instansi terkait pengawasan ketenagakerjaan, mengkibatkan sistem pendataan dan pelaporan penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan belum berjalan dengan baik. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin cepat, diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh pengawas ketenagakerjaan dalam rangka penegakan hukum ketengakerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pemanfaatan teknologi digital dapat membantu penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukkan bagi instansi terkait dalam pembangunan dan pengembangan teknologi digital di bidang pengawasan ketengakerjaan. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif deskriptif terhadap data primer yang diperoleh melalui pengisian angket dan wawacara mendalam. Pemilihan sampel penelitian menggunakan metode purposive sampling. Sampel yang dipilih adalah provinsi yang padat industri yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Teknologi informasi yang sudah dikembangkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan berupa Sisnaker dan Siwasnaker belum dapat memberikan manfaat secara maksimal bagi penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan. Masih lemahnya koordinasi antar instansi terkait dalam penyediaan data dan pelaporan penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan menjadi salah satu hambatan dalam pemanfaatan Tenologi Informasi dan Komunikasi. Kurangnya sosialisasi, pembinaan dan pemberian hak akses oleh Kementerian Ketenagakerjaan menjadi kendala pemanfaatan aplikasi Sisnaker dan Siswasnaker. Diperlukan regulasi yang kuat dalam pengaturan koordinasi antar instansi terkait dalam penyediaan data serta pengembangan TIK dibidang pengawasan ketenagakerjaan.</p><p><strong><em>Abstract</em></strong></p><p class="Abstract"><em>The limited human resources of labor inspection and the geographical condition of Indonesia, which is an archipelago, are the main reasons for the importance of using digital technology in the implementation of labor inspection. The lack of coordination between agencies related to labor inspection has resulted in the system of data collection and reporting on the implementation of labor inspection that has not been running properly. The rapid development of information and communication technology is expected to be able to overcome the problems faced by labor inspectors in the context of enforcing labor law. This study aims to determine how much the use of digital technology can help the implementation of labor inspection in Indonesia. The results of the research are expected to provide input for relevant agencies in the development and development of digital technology in the field of labor inspection. The analysis was carried out qualitatively and quantitatively descriptively using primary data obtained through questionnaires and in-depth interviews. The selection of research samples using purposive sampling method. The selected sample is a province that is densely industrial, namely West Java Province and Banten Province. Information technology that has been developed by the Ministry of Manpower in the form of Sisnaker and Siwasnaker has not been able to provide maximum benefits for the implementation of labor inspection. The lack of coordination between relevant agencies in providing data and reporting on the implementation of labor inspection is one of the obstacles in the utilization of Information and Communication Technology. The lack of socialization, guidance and granting of access rights by the Ministry of Manpower is an obstacle to using the Sisnaker and Siswasnaker applications. Strong regulations are needed in regulating coordination between relevant agencies in providing data and developing ICT in the field of labor inspection.</em></p>
Pada dasarnya Undang-Undang Ketenagakerjaan telah mengatur waktu kerja dan waktu istirahat yang harus dipatuhi oleh setiap pemberi kerja. Dengan adanya regulasi tersebut diharapkan pemerintah dapat memberikan perlindungan pada pekerja, sehingga mereka tidak mendapatkan waktu kerja yang berlebihan yang akan berdampak pada kesehatan baik fisik maupun mental. Pada kenyataannya peraturan yang berlaku tidak selalu dapat diterapkan untuk setiap bidang pekerjaan. Untuk bidang-bidang pekerjaan tertentu yang memiliki pola kerja tidak teratur, seperti mereka yang berprofesi sebagai jurnalis, pelanggaran terhadap aturan waktu kerja dan waktu istirahat seringkali terjadi. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana peraturan yang berkaitan dengan waktu kerja dan waktu istirahat dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja yang berprofesi sebagai jurnalis. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi pengambil kebijakan untuk dapat mengupayakan perlindungan hukum yang lebih baik bagi para Jurnalis. Kajian ini menggunakan pendekatan hukum normatif dengan menambahkan berbagai unsur-unsur empiris. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran kuesioner, wawancara mendalam serta focus group discussion. Dari hasi kajian dapat disimpulkan peraturan yang berkaitan dengan pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat yang berlaku saat ini di Indonesia, dirasakan belum dapat memberikan perlindungan yang maksimal bagi Jurnalis. Rendahnya kesadaran dari pemberi kerja untuk memberi kebebasan kepada para jurnalis untuk dapat membentuk serikat pekerja memperparah kondisi perlindungan hukum bagi Jurnalis. Pemerintah perlu membuat peraturan yang secara spesifik mengatur waktu kerja dan waktu istirahat bagi jurnalis yang memiliki pola kerja berbeda dengan pekerja yang memiliki pola kerja lebih teratur seperti di bidang manufaktur.
Program BLK Komunitas adalah upaya pemerintah dalam meningkatkan sebaran lembaga pelatihan kerja, serta mendekatkan akses pelatihan kepada masyarakat atau komunitas. Dengan adanya BLK Komunitas diharapkan masyarakat memiliki ketrampilan yang mampu terserap oleh dunia usaha dan industri. Kajian ini menggunakan pendekatan kritis, dengan jenis penelitian kualitatif deskriptif, dimana peneliti mendeskripsikan, mengevaluasi dan menganalisis implementasi program BLK Komunitas. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik cara wawancara dengan informan, Focus Group Discusion (FGD), observasi, dan studi dokumen. Informan kunci dalam penelitian ini meliputi; Assosiasi DUDI, Dinas Ketenagakerjaan Daerah, pengelola/ pihak manajemen BLK Komunitas, Pemerintah desa dan angkatan kerja di tempat BLK Komunitas. Kajian ini dilakukan 4 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia yaitu: Jawa Barat, Lampung, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling dengan mempertimbangkan ketersebaran BLK Komunitas dan karakteristik wilayah. Kerjasama yang kuat antar pihak pemerintah, swasta dan akademisi dalam pelaksaaan program pelatihan dan pengembangan SDM sangat perlu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk memfasilitasi alumni BLK Komunitas yang kesulitan terserap dunia usaha dan industry. Banyak juga alumni BLK Komunitas yang memutuskan untuk menjadi wirausahawan, meskipun mereka terkendala dengan akses permodalan. Selanjutnya BLK Komunitas perlu melibatkan DUDI mulai dari proses pelatihan sehingga setelah selesai pelatihan, alumni BLK komunitas dapat disalurkan langsung dengan. Selain itu perlu juga adanya pendampingan kepada alumni agar mudah mendapatkan akses permodalan, sehingga alumni BLK Komunitas mampu mengembangkan usahanya.
Penelitian ini mencoba mengukur kesiapan pemerintah daerah dalam pelaksanaan urusan ketenagakerjaan melalui keberadaan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) di daerah. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada 236 orang pegawai yang tersebar pada 7 wilayah di Indonesia yang diwakili oleh 1 Disnaker Provinsi dan 1 Disnaker Kabupaten/Kota didukung dengan pelaksanaan focus group discussion (FGD) di masing-masing wilayah. Tingkat kesiapan atau selanjutnya disebut Indeks Kesiapan (IK), diukur dari beberapa aspek manajemen meliputi: kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), Keuangan, Metode/Standar Prosedur Operasional (SOP), dan Sarana Prasarana. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kesenjangan (gap analysis) dan model penghitungan Customer Satisfaction Index (CSI) dengan dasar penilaian berupa skala persepsi (likert). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tingkat kesiapan Disnaker masuk dalam kategori “memadai dengan perbaikan” dengan rata-rata nilai IK 0,62. Berdasarkan aspek, SOP memiliki tingkat kesiapan tertinggi dan masuk dalam kategori “memadai” dengan rata-rata nilai IK 0,67, SDM masuk kategori “memadai dengan perbaikan” dengan rata-rata nilai IK 0,64, Keuangan masuk kategori “memadai dengan perbaikan” dengan rata-rata nilai IK 0,61, dan yang terendah adalah Sarana Prasarana masuk kategori “memadai dengan perbaikan” dengan rata-rata nilai IK 0,58. Implikasi manajerial dari hasil penelitian ini adalah Kementerian Ketenagakerjaan bersama dengan institusi terkait dan pemerintah daerah agar lebih fokus meningkatkan kinerja Dinas Tenaga Kerja melalui perbaikan aspek-aspek dalam organisasi yang terlihat rendah seperti keuangan dan sarana Prasarana.
The competitiveness of Indonesian workers is still lagging behind several countries in the world. For this reason, the Indonesian government needs to increase labor productivity which is a component of competitiveness. One of the efforts is to organize training related to work productivity. This study aims to evaluate and analyze the impact of productivity training programs organized by the government on the implementation of productive work culture in Indonesia. This study uses quantitative data analysis in the form of path analysis using SmartPLS software. The results show that productive work culture can encourage work productivity, job training can encourage Kaizen culture, and a productive work culture directly, but job training does not directly encourage work productivity. Kaizen culture has a positive and significant relationship to work productivity indirectly, but through the 5S culture first. The productivity improvement training program and consulting guidance by the government need to pay attention to the dominant work culture applied by companies to achieve high work productivity.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.