Geographical conditions affect human physical and physiological conditions, one of the examples is the height of residence that can make the respiratory system different among population groups. This study aims to compare the respiratory system between highlanders and lowlanders in terms of hemoglobin levels, blood oxygen saturation, and breaths frequency. The research model used was a comparative study with a purposive sampling method based on: age criteria with a range of 16-19 years, a minimum of 6 months stayed at the research location, and there is no recorded respiratory system disease. Data analysis used was independent t-test with Shapiro-Wilk prerequisite test for normality and one-way ANOVA for homogeneity, then Mann-Whitney test for follow-up non-parametric test. The results showed that the highlanders generally have oxygen saturation and hemoglobin levels with an average value of 98.81% and 14.69g/dL higher than those in the lowlands with a value of 97.86% and 13.14g/dL. On the other hand, the average value of breath frequency of highlanders is 17.38/minute which tends to be lower than that of lowlanders with 24.17/minute. The prerequisite test showed highlanders oxygen saturation data that were not normally distributed with a significance value of 0.003, then oxygen saturation data and breath frequency were not homogeneous with a significance value of 0.000 and 0.003 respectively. The comparative test showed a significance value of 0.002 for hemoglobin through independent t-test, then obtained asymptomatic significance values of 0.004 and 0.000 for oxygen saturation and breaths frequency through the Mann-Whitney test. Based on the significance value obtained, it can be stated that there are significant differences in hemoglobin levels, oxygen saturation, and breaths frequency per minute between highland and lowland residents. It is recommended to conduct further research on lung capacity and chest cavity index to provide a more holistic explanation of the differences in the respiratory system between highland and lowland residents.
Penurunan fungsi kognitif merupakan salah satu komplikasi penting dari stroke, terutama pada stroke iskemik. Prevalensi penurunan kognitif pada pasien stroke iskemik sendiri saat ini diatas 70%. Deteksi dini terhadap penurunan fungsi kognitif terkait stroke iskemik dan faktor-faktor yang menyertainya dapat memberikan luaran klinis yang baik pada pasiennya. Dengan demikian, kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang ditujukan untuk deteksi dini penurunan kognitif pada pasien stroke iskemik dan edukasi terkait upaya pencegahannya sangat penting untuk dilakukan. Sebanyak 51 pasien stroke iskemik dewan waktu awitan stroke iskemik 3 bulan pertama yang datang ke Poliklinik Saraf RSI Siti Hajar Mataram mampu menyelesaikan partisipasinya secara penuh dalam kegiatan ini. Sebagian besar pasien memiliki rerata usia 54 tahun, sebagian besar laki-laki, memiliki pendidikan SMA, awitan stroke dalam 4 minggu pertama, dan memiliki hipertensi dan dislipidemia. Karakteristik pasien yang berhubungan secara signifikan dengan frekuensi terjadinya penurunan fungsi kognitif terkait stroke iskemik antara lain usia pasien, hipertensi, dan atrial fibrilasi (p<0.05). Seluruh pasien dan anggota keluarga penyerta menunjukkan antusiasme yang tinggi. Kegiatan deteksi dini penurunan fungsi kognitif ini sangat bermanfaat bagi pasien stroke iskemik dan edukasi yang diberikan bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan mereka terkait langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif terkait stroke iskemik.
Depresi merupakan salah satu komplikasi penting dari stroke iskemik. Prevalensi depresi pada pasien stroke secara global cukup tinggi, yaitu sekitar 55%. Pengabaian kondisi depresi pada pasien stroke akibat rendahnya pemahaman mereka mengenai pentingnya penanganan depresi dan faktor-faktor risikonya akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup pasiennya. Oleh karena itu, pengabdian masyarakat yang ditujukan untuk deteksi dini depresi pasca stroke dan edukasi terkait pentingnya penatalaksanaan depresi dan faktor-faktor risiko penyertanya pada pasien stroke iskemik penting untuk dilakukan. Sebanyak 22 pasien stroke iskemik dengan waktu awitan stroke 3 bulan pertama yang datang ke Poli Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat selama Bulan Agustus 2019 sampai dengan Maret 2020 turut berpartisipasi sebagai subjek dalam kegiatan ini. Frekuensi depresi pada subjek dengan stroke iskemik yang berpartisiapasi dalam kegiatan pengabdian ini cukup tinggi (45%). Sebagian besar subjek memiliki rentang usia produktif, berjenis kelamin laki-laki, memiliki tingkat pendidikan rendah, memiliki lokasi infark pada hemisfer kiri, dan memiliki hipertensi. Seluruh karakteristik demografik dan klinik yang teridentifikasi tidak berhubungan secara signifikan dengan frekuensi kejadian depresi pasca stroke (p<0.05). Seluruh subjek dan anggota keluarga yang mendampinginya menunjukkan antusiasme yang tinggi dalam kegiatan ini. Kegiatan deteksi dini depresi ini sangat bermanfaat bagi subjek dan edukasi terkait pentingnya penatalaksanaan depresi dan faktor-faktor risikonya ini bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan mereka terkait tindak lanjut yang harus dilakukan untuk mencegah atau mengatasi depresi pasca stroke.
Seagrass is one of the ecosystems that contributes to carbon absorption through the process of photosynthesis which can be stored in the form of biomass in the leaves, rhizomes and roots. The consequences of community gold mining in Sekotong District, West Lombok, have an impact on heavy metal (Mercury/Hg) pollution. The research aims to map the potential carbon sequestration capabilities of seagrass species in Sekotong waters, West Lombok. The research method used is descriptive quantitative in which the variable studied in the study is the carbon content of seagrass species affected by mercury pollution in the waters of the village, especially at Pewaringan Sak Beach. The results showed that the average Hg and carbon content of seagrass species in seagrass beds were Station 1: (Hg: 0.31, Carbon: 63%), Station 2: (Hg: 0.45, Carbon: 50%) and Station 3: (Hg :0.35%, Carbon:55%). The conclusion is that the carbon content in seagrass species decreases with the level of mercury involvement in seagrass species. The research results are expected to be used as a source of information related to carbon absorption by seagrasses in Sekantung waters, West Lombok so that they can be taken into consideration for the management of water areas, especially the waters of Waring Sekotong, West Lombok. Further research is needed on the potential of seagrass carbon sequestration as a gas regulator to prevent climate change due to greenhouse gases.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.