Research related to the optimization of cow performans is done through concentrate feed and reproduction technology. This research was conducted in 2018 in Musi Village, Gerokgak Sub-district, Buleleng Regency, Bali. The study used a Completely Randomized Design (CRD) with 4 feed treatments and used 7 pregnant cows as replicates. The treatment is carried out when the cows enters 7 months pregnancy. Treatments tested: P0 cows given forage + rice bran 1 kg /cow/day + Bio Cas 5 ml/cow/day (mating with males), P1 = P0 cows mated with Artificial Imsemination (IB), P2 cows given forage + concentrates 1 kg/cow/day + bio cas 5 ml/cow/day (mating with a male), and P3 = P2 cattle mated with IB. Parameters observed that the parent body weight, weight gain calf, calf birth weight, weaning weight, calving interval, dry matter intake and feed rations convertions ratio. Data were analyzed by analysis of variance, if there are significant differences (P <0.05), followed by LSD 5%. The results showed that cows given feed concentrates and mated with IB (P3) result in weight gain of 0.52 kg/calf/ day was significantly higher (P <0.05) of P0 (0.40 kg/calf/day). Consumption of dry matter ration for P3 (2.59 kg) was significantly less (P <0.05) than P0 (2.87 kg) and resulted in the highest weight gain causing P3 FCR value of 4.98 was significantly lower than P0. Calf birth weight of all treatments showed no significant difference (P>0.05), but calf weight gain for P3 0.57 kg/calf/day was highest (P <0.05) compared to treatments P0 and P1 so that weaning weight calves P3 to 121.43 kg was significantly higher (P <0.05) than treatments P0 and P1. Estrus post partus for P3 is 2.87 months and calving interval is 12.36 months shorter than other treatments. This shows that the cows whose given concentrate feed mated through artificial insemination / males cattle produces the highest birth weight and calf weaning and short calving intervals.
This study was aimed to evaluate the use of Pomacea canaliculata meal at various levels on the carcass physical composition, meat chemical composition, and haematological profile of Muscovy duck. There were four treatments included P0 (control feed), P1 (control feed + 10% Pomacea canaliculata meal), P2 (control feed+20% Pomacea canaliculata meal), P3 (control feed + 30% Pomacea canaliculata meal). The variables observed included final body weight, carcass weight, carcass yield, non-carcass weight, meat chemicals composition and haematological profile. The experimental design used a completely randomized design with analysis of variance and further orthogonal polynomial trials. The research results revealed that using golden snail meal in Muscovy duck feed had a significant effect (P<0.05) on the final body weight, carcass weight, carcass yield, commercial cuts composition, physical composition of the carcass, non-carcass composition, and heterophil. Descriptively, the meat chemicals composition of Muscovy duck with Pomacea canaliculata meal was better than the control. The use of 30% golden snail meal in the male Muscovy duck diet provides the best performance on final body weight, slaughter weight, carcass yield, and drumstick weight parameters without negatively impacting haematology profile. The use golden snail meal provides the lowest carcass fat.
Birahi post partus merupakan salah satu ukuran dalam menilai tingkat produktivitas ternak sapi. Dalam keadaan tertentu birahi post partus pada sapi Bali akan berlangsung panjang sehingga menurunkan tingkat produktivitas. Prostaglandin dikenal sebaga agen luteolitik yang banyak digunakan di dalam upaya menginduksi birahi pada sapi anestrus post partus. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas prostaglandin F2α dalam menginduksi birahi dengan tingkat berat badan berbeda. Penelitian menggunakan 42 ekor induk sapi Bali anestrus post partus > 3 bulan yang dibagi kedalam 3 kelompok berdasarkan interval berat badan yaitu ; P1 kelompok induk dengan berat badan <250 kg, P2 kelompok induk dengan berat badan antara 250-275 kg dan P3 kelompok induk dengan berat badan > 275 kg. Seluruh ternak dilakukan penyuntikan preparat hormon Prostagladin F2α (Lutalyse™-UpJohn) dengan dosis 5 ml/ekor. Ternak yang menunjukkan birahi pasca injeksi dilakukan inseminasi untuk mengukur tingkat kebuntingannya. Parameter yang diamati adalah persentase dan intensitas birahi serta angka kebuntingan pada masing-masing kelompok perlakuan. Data yang diperoleh dicatat dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa seluruh ternak pada kelompok perlakuan memperlihatkan gejala birahi dengan intensitas birahi yang berbeda. Intensitas birahi pada kelompok P1: 42,86% jelas dan 57.14 % sedang, pada kelompok P2 : intensitas birahi 71,43% jelas dan 28.57% sedang, sedangkan pada kelompok P3 : intensitas birahi 85.71% jelas dan 14,29% sedang. Tingkat kebuntingan tertinggi diperoleh pada kelompok sapi dengan berat badan tertinggi (P3) diikuti oleh kelompok P2 dan P1 dengan persentase kebuntingan berturut-turut 85.71%, 71.43% dan 42,86%. Hasil ini menunjukan bahwa penggunaan prostaglandin F2α cukup efektif dalam menginduksi birahi pada sapi Bali anestrus post partus, dengan intensitas birahi dan angka kebuntingan lebih baik pada sapi yang memiliki berat badan yang lebih tinggi.
Induksi birahi adalah salah satu teknologi dalam bidang reproduksi untuk mempercepat munculnya birahi pada ternak. Banyak cara yang dilakukan untuk induksi birahi, salah satu diantaranya adalah dengan pemberian prostaglandin F2?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian PGF2? pada sapi bali anestrus postpartum dengan korpus luteum berfungsi dan berat badan berbeda dalam menginduksi munculnya birahi, non return rate dan conception rate setelah dilakukan inseminasi satu kali dan dua kali dengan interval 12 jam. Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok berdasarkan berat badan dan jumlah pelaksanaan inseminasi. Kelompok I (P1) adalah kelompok dengan berat badan kurang dari 250 kg dan mendapat satu kali inseminasi saat munculnya birahi, Kelompok II (P2) dengan berat badan kurang dari 250 kg dan mendapat dua kali inseminasi dengan interval 12 jam, kelompok III (P3) dengan berat badan diatas 250 kg dengan satu kali inseminasi dan kelompok IV (P4) dengan berat badan diatas 250 kg dan mendapat dua kali inseminasi dengan interval 12 jam. Analisis dan pengujian statistik dilakukan dengan analisis varian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian PGF2? menyebabkan munculnya estrus pada semua hewan coba dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05) terhadap waktu munculnya birahi diantara keempat kelompok perlakuan, dan perlakuan inseminasi dua kali interval 12 jam juga tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan angka non return rate dan conception rate.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.