Erythrodermic psoriasis (EP) is characterized by generalized erythema and desquamation affecting more than 75% of body surface area and usually accompanied by systemic symptoms. The triggers are medication withdrawal, drugs reactions, and systemic infections including coronavirus disease 2019 (COVID-19). A 46-year-old man with plaque psoriasis suffered from EP following the sudden discontinuation of medications. He was diagnosed with COVID-19 one month before erythroderma appeared. The body surface area involvement was 96% and psoriasis area severity index was 49.8. His general condition and laboratory examination were within normal limits. He was treated with cyclosporine-A for one month after being healed from COVID-19 with significant improvement. Excessive production of proinflammatory cytokines in COVID-19 plays a role in the pathogenesis of psoriasis. This condition should be managed appropriately to minimize the complication. Cyclosporine-A is the first-line therapy for EP because of its effectiveness and good safety profile. It is also shown a beneficial effect in COVID-19 infection in vitro .
Ultraviolet (UV) radiation has been applied to treat many chronic skin diseases. Based on the wavelength, UV radiation consists of three types, namely ultraviolet C (UVC), ultraviolet B (UVB), and ultraviolet A (UVA). The types of UV that are widely used in dermatology are narrowband ultraviolet B (NB-UVB), broadband ultraviolet B (BB-UVB), UVA1, and psoralen combined with UVA (PUVA). The interaction between UV and the skin determines the effectiveness of phototherapy. The biological effects of UV are used in the management of inflammatory skin diseases, malignancies, and various rare dermatoses. Apart from these benefits, UV increases the risk of photoaging and skin cancer. Therefore, further researches are necessary to enhance the effectiveness and safety of phototherapy. This literature review discusses the role of phototherapy in various dermatoses other than psoriasis and vitiligo. ABSTRAKRadiasi sinar ultraviolet (UV) telah digunakan untuk pengobatan penyakit kulit kronik. Berdasarkan panjang gelombangnya, radiasi UV dibedakan dalam tiga jenis yaitu ultraviolet C (UVC), ultraviolet B (UVB), dan ultraviolet A (UVA). Jenis UV yang digunanakan secara luas dalam dematologi adalah narrowband ultraviolet B (NB-UVB), broadbrand ultraviolet B (BB-UVB), UVA1, dan psoralen dikombinasikan dengan UVA (PUVA). Interaksi antara UV dan kulit menentukan efektivitas fototerapi. Efek biologi UV digunakan dalam pengelolaan penyakit kulit inflamasi, malignansi, dan berbagai penyakit kulit yang jarang. Terlepas dari manfaatnya, UV meningkatkan risiko fotoaging dan kanker kulit. Oleh karena itu, penelitian lanjut diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan keamanan fototerapi. Kajian pustaka ini membicarakan peran fototerapi dalam berbagai penyakit kulit selain psoriasis dan vitiligo.
Latar belakang: Sebanyak 95% penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, yang mencakup dermatitis kontak alergi dan iritan. Beberapa jenis pekerjaan tertentu memiliki frekuensi lebih tinggi untuk terpajan dengan bahan atau aktivitas yang meningkatkan risiko kejadian dermatitis kontak akibat kerja, termasuk tenaga kesehatan. Tujuan: Menilai hubungan antara pekerjaan sebagai tenaga kesehatan dengan kejadian dermatitis kontak akibat kerja melalui pencarian informasi berbasis bukti. Metode: Pencarian artikel dilakukan menggunakan PubMed, Cochrane Library, Proquest dan Scopus dengan kata kunci yang sesuai dengan pertanyaan klinis. Artikel yang diperoleh diseleksi menurut kriteria inklusi dan eksklusi yang kemudian ditelaah kegunaannya berdasarkan nilai validity, importance, dan applicability. Hasil: Didapatkan dua artikel berupa studi kohort retrospektif dan studi kasus-kontrol. Pada studi kohort retrospektif didapatkan bahwa pekerjaan sebagai tenaga kesehatan memiliki risiko 1,17 kali lebih besar untuk mengalami dermatitis kontak akibat kerja dibandingkan dengan pekerjaan selain tenaga kesehatan (RR 1,17, nilai p <0,001, NNH 3). Hal ini didukung oleh hasil studi kasus-kontrol yang memberikan hasil OR sebesar 2,5, CI 95% 2,08 – 3,02 dan NNH 5. Kesimpulan: Risiko terjadinya dermatitis kontak pada tenaga kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerja lainnya sehingga diperlukan upaya untuk menurunkan angka kejadian tersebut.Kata kunci : Tenaga kesehatan, perawat, dermatitis kontak akibat kerja, dermatitis kontak alergi, dermatitis kontak iritan
Duchenne muscular dystrophy (DMD) is a rare genetic, progressive and devastating skeletal and cardiac muscle disorder due to mutation of the dystrophin gene that affects 1 in 3500 young males. Currently, there is no curative management for this pathology. The development of inducedpluripotent stem cells (iPSCs) offers a promising cell-based strategy for the treatment of muscular dystrophy. Several techniques have been established to generate functional myogenic progenitor cells derived from iPSCs. In addition, technologies in genetic modification using ZFN, TALENs, or CRISPR/Cas9 demonstrate potent methods to restore dystrophin expression. However, current evidence shows that either iPSCs or gene editing carry a risk of oncogenesis caused by the integration of exogenous DNA into the recipient gene. Thus, the safety issue is a major challenge for translating this method into human clinical applications. This review briefly discussed recent developments and progressions of iPSCs as well as genome engineering technologies relevant to regenerative medicine, especially for the treatment of DMD. ABSTRAKDuchenne muscular dystrophy (DMD) adalah kelainan genetic langka yang bersifat progresif dan parah yang menyerang otot rangka dan otot jantung, disebabkan oleh mutasi gen distrofin yang mempengaruhi 1 dari 3500 laik-laki muda. Hingga saat ini, belum ada tata laksana kuratif untuk penyakit DMD. Pengembangan induced-pluripotent stem cells (iPSCs) menawarkan strategi berbasis sel yang menjanjikan untuk pengobatan distrofi otot. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menghasilkan sel-sel progenitor myogenik fungsional yang berasal dari iPSCs. Selain itu, teknologi dalam modifikasi genetic menggunakan ZFN, TALENs, atau CRISPR/Cas9 menunjukkan metode yang potensial dalam mengembalikan ekspresi distrofin. Namun, bukti saat ini menunjukkan bahwa iPSCs atau teknologi pengeditan gen membawa risiko keganasan yang disebabkan oleh integrasi DNA eksogen kedalam gen inang. Dengan demikian, masalah keamanan adalah tantangan utama dalam penerapan metode ini untuk pengobatan pada manusia. Tulisan ini akan membahas secara singkat perkembangan dan kemajuan teknologi iPSCs terbaru serta teknologi rekayasa genom yang relevan dengan kedokteran regeneratif, terutama untuk pengobatan DMD.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.