Peningkatan areal pertanaman bawang merah mendorong peningkatan pemanfaatan varietas unggul dan ketersediaan umbi berkualitas sebagai sumber benih. Studi varietas dan ukuran umbi bawang merah terhadap produktivitas hasil telah dilakukan di Kebun Percobaan Margahayu, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang dari bulan Agustus sampai November 2009. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh varietas dan ukuran umbi terhadap produktivitas bawang merah. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok pola factorial dengan enam ulangan. Tiga varietas yaitu: Bima, Maja, dan Sumenep dan ukuran umbi, yaitu: kecil (1,04 - 1,29 cm), sedang (1,47-1,67 cm), dan besar (1,93-2,05 cm) diuji dalam penelitian ini. Parameter yang diamati ialah jumlah umbi, diameter umbi, bobot basah, dan bobot kering umbi per rumpun dan per umbi serta per plot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas bawang merah menggunakan umbi ukuran sedang tidak berbeda nyata dengan umbi ukuran besar. Penggunaan umbi ukuran sedang dalam sistem produksi bawang merah dapat mengurangi biaya produksi sebesar 33-40% tanpa mengurangi tingkat produktivitasnya. <br /><br /><br />Increasing of shallots cultivation area stimulates improving utility of superior varieties and availability of qualified-bulb as seed source. Study on the effect of variety and bulb size on the shallots productivity was conducted at Margahayu Experimental Garden of Indonesian Vegetable Research Institute from August till November 2009. The objective of this study was to determine the effect of variety and bulb size on the shallots productivity. Factorial experiment was arranged in a randomized complete block design with six replications. Three varieties i.e. Allium ascalonicum Bima, Maja, and Sumenep and bulb sizes of small (1.04-1.29 cm), medium (1.47-1.67 cm), and large (1.93-2.05 cm). Parameters observed in the experiment were number of bulb, bulb diameter, fresh and dry bulb weight per bulb, plant, and plot. The research results indicated that shallots productivity derived from medium bulbs was not significantly different compared to the large size of bulbs. Medium bulb size was appropriate applied in shallots cultivation due to reduce the production cost down to 33-40%. <br /><br />
<p>Penggunaan biji botani bawang merah atau true seed of shallot (TSS) diyakini dapat memecahkan kendala ketersediaan benih bawang merah di Indonesia. Tujuan penelitian adalah menentukan paket teknologi produksi benih TSS yang menghasilkan pembungaan dan produksi biji yang lebih tinggi. Penelitian teknologi produksi TSS dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu, Lembang dengan ketinggian tempat 1.250 m dpl. Penelitian menggunakan rancangan petak berpasangan dengan dua perlakuan paket teknologi dan diulang lima kali. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan A (aplikasi pukan kuda 10 ton/ha dan ayam 5 ton/ha, SP-36 250 kg/ha, NPK 600 kg/ha aplikasi 10 kali (seminggu sekali), aplikasi BAP dan boron) menghasilkan pembungaan dan produksi biji/TSS yang lebih tinggi daripada paket B (pukan kuda 20 ton/ha, NPK 600 kg/ha dengan dua kali aplikasi, dan aplikasi GA3). Implikasi penelitian menunjukkan bahwa inovasi teknologi produksi TSS yang sedang dikembangkan saat ini sangat layak untuk memproduksi benih TSS yang bermutu tinggi.</p><p><strong>Keywords</strong></p><p>Biji botani bawang merah; BAP; Boron; GA3; Pemupukan</p><p><strong>Abstract</strong></p><p>The use of true seed of shallots (TSS) is believed to solve the constraints of the availability of shallot seeds in Indonesia. The research objective was to compare the two packages TSS seed production technology that produces higher flowering and seed production. Research on TSS production technology was carried out at Margahayu Experimental Garden, Lembang with an altitude of 1,250 m above sea level. Research used a paired plot design with two treatments of technology package and five replicates. The results showed that treatment A (horse manure 10 ton/ha + chicken manure 5 ton/ha + SP-36 250 kg/ha + NPK 600 kg/ha application 10 times + BAP 37,5 ppm + boron 3 kg/ha) produce better flowering and seed production/higher TSS than package B (horse manure at a rate of 20 ton/ha, NPK 600 kg/ha with two times application and the use of GA3). The implication of this research showed the TSS production technology innovation that is being developed today is very feasible to produce high quality TSS in support shallot seed.</p>
<p>Produksi umbi benih bawang merah dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya ketersediaan hara, pengaturan populasi tanaman, dan pemilihan varietas. Pengelolaan hara tanaman, pengaturan densitas, dan pemilihan varietas yang tepat dapat meningkatkan produksi umbi benih bawang merah. Penelitian bertujuan mendapatkan teknologi perbanyakan umbi benih bawang merah dengan mengurangi ukuran umbi dan meningkatkan produksi umbi tanpa mengurangi kualitas umbi sebagai benih. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (1250 m dpl.) pada Bulan Mei sampai dengan Desember 2009, menggunakan rancangan split-split plot dengan petak utama dosis pemupukan dengan tiga taraf yaitu (1) 200 kg/ha Urea, 200 kg/ha SP36, 200 kg/ha KCl, dan 500 kg/ha ZA (kontrol), (2) 100 kg/ha Urea, 300 kg/ha SP36, 200 kg/ha KCl, dan 250 kg/ha ZA, dan (3) 100 kg/ha Urea, 200 kg/ha SP36, 200 kg/ha KCl, dan 250 kg/ha ZA. Anak petak ialah densitas tanaman, terdiri atas 30 tanaman/m2, 60 tanaman/m2, dan 100 tanaman/m2. Anak-anak petak ialah varietas terdiri atas Bima, Maja, dan Sumenep. Hasil penelitian menunjukkan densitas 100 tanaman/m2 menghasilkan jumlah umbi per plot tertinggi (1.193,68) dan diameter umbi terkecil (14,17 mm). Varietas Bima menghasilkan jumlah umbi per tanaman tertinggi (12,01) dan jumlah umbi per plot tertinggi (1.035,96) dengan diameter terkecil 11,10 mm. Penggunaan varietas Maja pada densitas 100 tanaman/m2 menghasilkan bobot kering tertinggi (3.047,78 g). Untuk menghasilkan jumlah umbi banyak dengan ukuran kecil direkomendasikan agar menanam varietas Bima dengan densitas 100 tanaman/m2 dan untuk menghasilkan bobot kering umbi tinggi direkomendasikan agar menanam varietas Maja dengan densitas 100 tanaman/m2.</p>
Pengembangan kawasan dan industri benih kentang yang terus meningkat dan tersebar di seluruh wilayah kepulauan di Indonesia harus didukung oleh sistem distribusi dan produksi benih yang efisien. Penggunaan umbi mikro merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan distribusi dan produksi benih sumber. Penelitian tentang penggunaan umbi mikro dalam produksi benih sumber (Go) kentang telah dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Rumah Kasa bebas serangga Balai Penelitian Tanaman Sayuran dari bulan Juni 2010 sampai dengan April 2011. Tujuan penelitian ialah untuk mendapatkan informasi nisbah perbanyakan umbi mikro varietas Amudra, Atlantik M, Cipanas, Granola L, Manohara, Merbabu, dan Ping dalam menghasilkan umbi yang memenuhi kriteria sebagai benih sumber. Umbi mikro yang diperoleh dari kultur in vitro planlet bebas patogen tujuh varietas kentang, yaitu Amudra, Atlantik M, Cipanas, Granola L, Manohara, Merbabu, dan Ping yang telah melampaui masa dormansi ditanam pada media yang terdiri atas campuran pupuk kandang dan arang sekam (1:1. v/v) yang telah disterilkan dengan pengukusan selama 4 jam. Jarak tanam 10 x 10 cm dengan jeluk penanaman 1 cm. Setiap ulangan terdiri atas 20 umbi. Penanaman umbi mikro mengikuti rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Pemupukan dilakukan dengan memberikan NPK 16:16:16 dosis 5g/l, 3 l pupuk/bak beroda diberikan pada interval 1 minggu sampai tanaman mencapai 10 minggu setelah tanam (MST). Penambahan media tanam dilakukan pada 4 dan 8 MST, dan panen dilakukan pada 12 MST. Hasil panen menunjukkan bobot umbi/tan, jumlah umbi/tan, proporsi umbi dengan diameter 0,7-1, 1,1-2, dan 2,1-3 cm berbeda sangat nyata di antara varietas yang diuji. Umbi mikro var. Amudra dan Merbabu menunjukkan bobot umbi/tanaman tertinggi masing masing 35 dan 34 g/tanaman, dengan proporsi umbi diameter 0,7-1, 1,1-2, dan 2,1-3 cm masing-masing 34,80, 50,52, 15,55%, dan 50,15, 33,93, dan 18,12%. Varietas yang menghasilkan jumlah umbi/ tanaman >10 ialah Granola L, Manohara, Merbabu, dan Ping. <br /><br /><br />The increasing and developing of potato production area as well as potato seed industry which is spread through out the country must be supported by an efficient seed production and distribution system. The use of microtuber is one alternative to overcome seed production and distribution problems in Indonesia. Study on the use of microtuber in potato basic seed (Go) production was conducted in the Tissue Culture Laboratory and aphid proof Screenhouse, the Indonesian Vegetable Research Institute from June 2010 to April 2011. The study aimed to obtain information on multiplication rate of microtubers var. Amudra, Atlantik M, Cipanas, Granola L, Manohara, Merbabu, and Ping to produce tuber that meets basic seed criteria. Microtubers derived from in vitro culture of virus free plantlet of seven potato varieties viz Amudra, Atlantik M, Cipanas, Granola L, Manohara, Merbabu, and Ping with which their dormancy had broken were planted in the media composed of stable manure and burnt rice husk (1:1 v/v) sterilized by steaming for 4 hours. Planting distance was 10 x 10 cm, 1 cm depth. Each replication consisted of 20 tuber seed. Completely randomized design with three replications was used in the study. NPK 16:16:16 at 5g/l, 3 l/roller bench was applied at 1 week interval up to weeks after planting (WAP). Medium was added for hilling up at 4 and 8 WAP, and tuber was harvested at 12 WAP. The results indicated that tuber weight/plant, tuber number/plant, tuber proportion with diameter 0.7-1, 1.1-2, and 2.1-3 cm were highly significant different among tested varieties. Plants derived from microtubers var. Amudra and Merbabu performed the highest tuber weight/plant at each 35 and 34 g/plant, with tuber diameter proportion 0.7-1, 1.1-2, and 2.1-3 cm were 34.80, 50.52, 15.55%, and 50.15, 33.93, and 18.12% respectively. Varieties that gave number of tuber/plant >10 were Granola L, Manohara, Merbabu, and Ping. <br /><br />
Naskah diterima tanggal 12 Agustus 2014 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 22 September 2014 ABSTRAK. Benih merupakan salah satu faktor yang menentukan produktivitas tanaman. Umbi mini asal true shallot seed (TSS) dapat menghasilkan umbi-umbi berukuran besar dengan kualitas yang baik. Tujuan penelitian yaitu mendapatkan teknik produksi umbi mini/ bibit bawang merah asal TSS dengan jenis media tanam dan dosis pupuk NPK yang tepat di dataran rendah. Penelitian dilaksanakan di dataran rendah Subang dari bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2013. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok faktorial (dua faktor) dengan dua ulangan. Perlakuan terdiri atas jenis media tanam (arang sekam, kompos, arang sekam + tanah (1:1), arang sekam + kompos (1:1), arang sekam + kompos +tanah (1:1:1)), dan aplikasi pupuk NPK (0, 100, 200, dan 300 kg/ha). Hasil percobaan menunjukkan bahwa media arang sekam + kompos + tanah dengan pupuk NPK 0-100 kg/ha merupakan teknik yang paling baik dalam memproduksi umbi mini di dataran rendah Subang dengan produksi umbi mini (bobot segar 4-5 g/umbi) sebanyak 141-158 per m 2 . Implikasi penelitian adalah umbi mini asal TSS dapat dikembangkan sebagai sumber benih yang lebih sehat dan lebih mudah penanganannya di penyimpanan dan pengangkutan daripada umbi biasa.Katakunci: Allium cepa var. Ascalonicum; Biji botani; Daya tumbuh; Arang sekam; Kompos; Tanah; Cara tanam langsung ABSTRACT. Seed is one of the factors that determine the productivity of the plant. Bulblets from true shallot seed (TSS) can produce large bulbs with good quality. The objectives of this research is to get a bulblets production techniques/seedlings of shallots from TSS by the appropiate types of growing medium and NPK fertilizer doses in the lowlands. The experiment was conducted in lowland Subang from May to August 2013. The experimental design used was a factorial randomized block design (two factors) with two replications. Treatments consists of the type of growing medium (rice husk charcoal, compost, rice husk charcoal+ soil (1: 1), rice husk charcoal + compost (1: 1), rice husk charcoal + compost + soil (1:1:1) and NPK fertilizer application (0, 100, 200, and 300 kg/ha). The results showed that the rice husk charcoal + compost + soil and NPK fertilizer 0-100 kg / ha was the best technique in producing bulblets (fresh weight 3-4 g/bulb) as much as 141-158 bulblet per m 2 in the lowlands Subang. Implications of the study is the bulblets from TSS can be developed as a source of seed that is healthier and easier handling in storage and transport than common bulbs.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.