Latar Belakang: Sindrom metabolik merupakan sekumpulan faktor risiko yang ditemukan muncul bersamaan yakni perpaduan antara adanya kenaikan kadar glukosa darah, abnormalitas profil lemak, tekanan darah tinggi, dan obesitas abdomen. Prevalensi sindrom metabolik pada pegawai di Indonesia sebesar 24,4% dan cenderung meningkat terutama pada usia pekerja yang relatif muda. Seseorang dapat dikatakan menderita sindrom metabolik apabila memilik minimal tiga dari lima kriteria yang dikeluarkan oleh NCEP ATP III. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi komponen sindrom metabolik pada para pegawai dan diharapkan dapat menjadi data awal dalam upaya pencegahan dan pengobatan. Metode: Penelitian deskriptif terhadap 70 pekerja yang berpartisipasi dalam pemeriksaan kesehatan tahunan dilakukan oleh PT Wijaya Karya Divisi IV Surabaya periode Oktober 2016. Variabel yang dianalisis meliputi prevalensi sindrom metabolik, komponen, usia, jenis kelamin, dan pekerjaan lokasi. Data yang didapat kemudian dipaparkan dalam tabel distribusi. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan bahwa prevalensi sindrom metabolik pada pegawai adalah 22.1% dengan laki – laki sebagai jenis kelamin terbanyak (93.3%) dan kelompok usia terbanyak adalah 31 – 40 tahun (33.3%). Pekerja di dalam kantor memiliki prevalensi lebih besar (66.7%) daripada pekerja lapangan. Jumlah penanda sindrom metabolik yang terbanyak sindrom metabolik ditemukan adalah 3 penanda (66.7%) dengan urutan dari yang terbanyak ditemukan adalah kadar trigliserida (35.5%), tekanan darah (32.4%), kadar kolesterol HDL (26.5%), kadar glukosa darah puasa (23.5%) dan lingkar perut (21.3%). Kesimpulan: Prevalensi sindrom metabolik di kalangan pekerja adalah 22,1% yang menunjukkan lebih dari seperlima populasi pekerja memiliki masalah kesehatan serius yang harus ditindaklanjuti
Latar Belakang: Sindrom metabolik merupakan sekumpulan faktor risiko yang ditemukan muncul bersamaan yakni perpaduan antara adanya kenaikan kadar glukosa darah, abnormalitas profil lemak, tekanan darah tinggi, dan obesitas abdomen. Prevalensi sindrom metabolik pada pegawai di Indonesia sebesar 24,4% dan cenderung meningkat terutama pada usia pekerja yang relatif muda. Seseorang dapat dikatakan menderita sindrom metabolik apabila memilik minimal tiga dari lima kriteria yang dikeluarkan oleh NCEP ATP III. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi komponen sindrom metabolik pada para pegawai dan diharapkan dapat menjadi data awal dalam upaya pencegahan dan pengobatan. Metode: Penelitian deskriptif terhadap 70 pekerja yang berpartisipasi dalam pemeriksaan kesehatan tahunan dilakukan oleh PT Wijaya Karya Divisi IV Surabaya periode Oktober 2016. Variabel yang dianalisis meliputi prevalensi sindrom metabolik, komponen, usia, jenis kelamin, dan pekerjaan lokasi. Data yang didapat kemudian dipaparkan dalam tabel distribusi. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan bahwa prevalensi sindrom metabolik pada pegawai adalah 22.1% dengan laki – laki sebagai jenis kelamin terbanyak (93.3%) dan kelompok usia terbanyak adalah 31 – 40 tahun (33.3%). Pekerja di dalam kantor memiliki prevalensi lebih besar (66.7%) daripada pekerja lapangan. Jumlah penanda sindrom metabolik yang terbanyak sindrom metabolik ditemukan adalah 3 penanda (66.7%) dengan urutan dari yang terbanyak ditemukan adalah kadar trigliserida (35.5%), tekanan darah (32.4%), kadar kolesterol HDL (26.5%), kadar glukosa darah puasa (23.5%) dan lingkar perut (21.3%). Kesimpulan: Prevalensi sindrom metabolik di kalangan pekerja adalah 22,1% yang menunjukkan lebih dari seperlima populasi pekerja memiliki masalah kesehatan serius yang harus ditindaklanjuti
Reference(s)Mori Y et al. Effects of sitagliptin on 24-h glycemic changes in Japanese patients with type 2 diabetes assessed using continuous glucose monitoring. Diabetes Technol Ther. 2011 Jul; 13(7): 699-703. Herman et al. Effect of single oral doses of sitagliptin, a dipeptidyl peptidase-4 inhibitor, on incretin and plasma glucose levels after an oral glucose tolerance test in patients with type 2 diabetes.
Background: Indonesia is the third highest country of Tuberculosis (TB) prevalence world wide. Beside resistances, factor that being a burden for control TB is comorbidities, such as Diabetes Mellitus Type 2 (DMT2). This research aimed to determine the Nutritional Status of Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB) with DMT2 Patients. Methods: This is a descriptive retrospective study observing Nutritional Status of MDR-TB with DMT2 patients based on gender, age, weight, height, and Fasting Blood Glucose (FBG) registered since January,1st –December, 31th 2016 in RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Results: Out of 42 Samples, there are 20 mens and 22 womens suffer MDR-TB with DMT2. The Nutritional Status of Women is Normal (28.57 %) and Man is Underweight (16.6 %). Based on the age of patients, 51-60 years is the highest frequency. The mean of Body Mass Index (BMI) from all age categories are Normal, except 31-40 years. The mean of height is 159.95 cm and weight is 52.88 kg. In FBG’s category, 100-200 is the highest frequency and mostly has normal BMI. The mean of BMI is 20.51 kg/m2. Conclusion; Majority patients of MDR-TB with DMT2 has Normal BMI.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.