Barong-Rangda selalu hadir dalam praktik-praktik beragama Hindu di Bali. Sosok yang dicitrakan sebagai Hyang Siwa dan Hyang Bhatari Uma selalu dihubungkan dengan dunia mistik, dan Rangda selalu dikaitkan dengan tokoh Calonarang bernama Datengdirah, yakni janda Girah dalam lotar Calonarang. Dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali, Rangda adalah perwujudan dari Hyang Bhatari Durga sakti Bhatara Siwa dan sebagai penguasa kuburan yang dihubungkan dengan hal-hal yang menakutkan. Demikian pula Barong selalu dilekatkan dengan murthi Siwa dalam perwujudannya sebagai Banaspati Raja. Menariknya Barong-Rangda bukan saja dipahami sebagai simbol suci, tetapi dihayati dalam penghayatan yang beragam. Menariknya, sosok Barong-Rangda juga ditarikan oleh orang khusus yang disebut nyolahang Barong-Rangda atau menarikan sosok Barong-Rangda dalam ruang ritual dan pentas kesenian sakral. Berdasarkan hal tersebut, menarik untuk mengkaji liturgi sakralisasi Barong-Rangda, sehingga menemukan beberapa makna di dalamnya.
Topeng Sidakarya memeliki peranan penting dalam setiap upacara yadnya bagi umat Hindu di Bali. Upacara yadnya belum dinyatakan selesai sebelum dipentaskannya tarian sakral ini, sehingga dalam setiap prosesi ada pementasan tarian yang tergolong tari wali. Jenis tarian ini adalah bergenre tari topeng dengan atribut yang khas menampakan ketuaanya. Sidakarya secara literal berarti pekerajaan yang sudah tuntas atau selesai. Melalui pementasan tarian ini, masyarakat Hindu yang melangsungkan upacara yadnya diyakini sudah selesai menjalankan yadnya, dan tentunya ada pemberkatan di dalamnya. Tarian sakral yang menunjukan kesan magis, dan tidak saja dipandang sebagai pelengkap ritus yadnya, tetapi juga kaya makna teologi, keindahan dan filosofis yang berhubungan dengan praktik beragama Hindu di Bali yang di dalamnya tidak terlepas dari konsep satyam, siwam dan sundaram.
Pada kajian ini, secara khusus menelisik lebih dalam tentang pementasan tari sakral Rangda pada prosesi napak siti melalui pendekatan Teo-etika Hindu. Melalui kajian ini, penulis berupaya menggali makna teologis dan etika pementasan tari sakral Rangda yang dipentaskan dalam setiap sritual napak siti atau mapinton ketika prosesi sakralisasi Barong-Rangda dilakukan. Prosesi “menarikan” Rangda ini menjadi penting dilakukan sebagai sebuah proses “pengesahan”, bahwaRangda telah layak disebut sakral, dan berhak dijadikan objek pemujaan. Meskipun, Barong-Rangda sudah disakralkan melalui proses ritual, tetapi belum dilakukan proses napak siti, maka Barong dan adalah proses pemberkatan kepada pertiwi (bumi), dan dalam teologi Hindu pertiwi adalah Sakti dari Bhatara Siwa sebagai simbol kekuatan yang supream. Jadi, pementasan tarian napak siti ini menjadi hal yang menarik dikaji dalam upaya menggali makna teologi, estetik dan etika dalam menarikan Rangda sebagai pentasbihan, bahwa Rangda sudah terbukti sakral dan dapat dijadikan objek pemujaan.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.