This study entitled " The Payung Geulis Craft as a Local Wisdom of Tasikmalaya" aims to obtain data on a local wisdom as ancestral culture of Tasikmalaya. The method employed is a descriptive-analytical approach, which is used to describe phenomena taking place in the present or the past. Data collection techniques in this study are interviews, direct observations, and written sources from the community and a local government. The problems addressed in this study are to find the historical, economic, and aesthetic values existed at the Tasikmalaya craft; and how does the umbrella craft pass down from the older generation to the younger generation. The outcome of this research are, first, a Geulis umbrella is a product based on local knowledge that characterisize a Tasikmalaya society; the Geulis umbrella crafthas cultural, economic, and aestheticsignificances; and the existence of Geulis umbrella today isnearly extinct.Keywords: local wisdom, indigenous crafts, geulis umbrellas, Tasikmalaya. ABSTRAKPenelitian berjudul “Kerajinan Payung Geulissebagai Kearifan Lokal Tasikmalaya”ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang kearifan lokal Payung Geulis sebagai budaya leluhur Tasikmalaya.Metode dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitik, yaitu metode yang digunakan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat yang lampau.Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, pengamatan secara langsung, dan pengambilan sumber-sumber tertulis dari masyarakat dan pemerintah setempat. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana nilai historis, ekonomis, dan estetis yang ada pada kerajinan Payung Geulis Tasikmalaya; dan bagimana regenerasi kerajinan Payung Geulis itu dari generasi tua kepada generasi muda. Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah kerajinan Payung GeulisTasikmalaya merupakan kearifan lokal yang menjadi ciri dari masyarakat Tasikmalaya; kerajinan Payung Geulismemiliki nilai kultural, ekonomis, dan estetis yang cukup tinggi; eksistensi dan keberadaan Payung Geulis dewasa ini sudah semakin sulit ditemukan.Kata Kunci: kearifan lokal, kerajinan lokal, Payung Geulis, budaya, Tasikmalaya.
<p>The title of this research is Reconstruction of Galuh Kingdom in 8<sup>th</sup>-15<sup>th</sup>century. Issue that will be studied is how to unravel the location of the capital and palace shape of Galuh Kingdom. To answer the issue is used the historical method which consists of four steps, namely heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Result of this research is that the existence of Galuh Kingdom is a history, not a myth. Historical sources which support the many arguments of its existence including inscriptions, foreign news, ancient manuscripts, social facts and mental facts. In addition, the life of its existence as long as eight centuries shows that Galuh Kingdom is not just existent but also strong because it is supported by a variety of solid and coherent system. Concerning about the location of capital and shape of the Kingdom , it still needs to explore further.</p><p> </p><p>Judul penelitian ini adalah Rekonstruksi Galuh Raya di abad ke-8-15. Masalah yang akan dipelajari adalah bagaimana mengungkap lokasi dari bentuk modal dan istana Kerajaan Galuh. Untuk menjawab masalah tersebut digunakan metode sejarah yang terdiri dari empat langkah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini adalah bahwa keberadaan Kerajaan Galuh adalah sejarah, bukan mitos. Sumber-sumber sejarah yang mendukung banyak argumen keberadaannya termasuk prasasti, berita asing, naskah kuno, fakta sosial dan fakta mental. Selain itu, kehidupan keberadaannya selama delapan abad menunjukkan bahwa Kerajaan Galuh tidak hanya ada tapi juga kuat karena didukung oleh berbagai sistem yang solid dan koheren. Mengenai tentang lokasi ibukota dan bentuk Kerajaan, masih perlu untuk menjelajahi lebih lanjut.</p><p> </p>
ABSTRAK. Studi mengenai kedudukan kepemimpinan tradisional di Loloda Maluku Utara`pada masa kolonial hingga masa kemerdekaan Indonesia (1945)(1946)(1947)(1948)(1949)(1950)(1951)(1952)(1953)(1954)(1955)(1956)(1957)(1958) merupakan studi untuk melihat aspek-aspek perubahan terhadap kedudukan pemimpin di Loloda sebagai akibat dari politik kolonial dan pengaruh Kesultanan Ternate. Berkaitan dengan hal tersebut, masalah yang diangkat adalah bagaimana kedudukan pemimpin tradisional di Loloda pada masa kolonial dan masa kemerdekaan Indonesia (1945)(1946)(1947)(1948)(1949)(1950)(1951)(1952)(1953)(1954)(1955)(1956)(1957)(1958)? Adapun metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sementara konsep yang digunakan untuk menganalisis masalah adalah konsep kekuasaan, stratifikasi sosial dan legitimasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan pemimpin tradisional di Loloda pada masa kolonial (1808-1909) mengalami degradasi dengan diubahnya status Kerajaan Loloda menjadi distrik oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun, pemimpinnya tetap memakai gelar raja (kolano) karena didukung oleh otoritas dan legitimasi tradisional, kharismatik serta sistem pewarisan kekuasaan (assigned status) dalam status sosialnya. Dalam konteks ini, Pemerintah Kolonial juga mengakui gelar raja (kolano) sebagai strategi membangun kekuasaanya di Loloda. Pengakuan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap gelar raja (kolano) berakhir pada 1909 ketika raja dianggap mendalangi pemberontakan warganya yang mengakibatkan tewasnya Petugas Belanda yang bertugas di Loloda. Saat itulah kepala distrik (hoofd district) memakai gelar sangaji. Pada masa kemerdekaan Indonesia, kedudukan pemimpin tradisional disimbolkan dengan mangkubumi (jogugu), namun masyarakat Loloda menganggapnya sebagai raja (kolano). Dengan demikian, kedudukan pemimpinnya terlembagakan berdasarkan otoritas dan legitimasi tradisional, kharismatik dan sistem pewarisan (assigned status).Kata kunci: Loloda, kepemimpinan, otoritas, legitimasi. AUTHORITY AND LEGITIMATION OF POSITION TRADITIONAL LEADER IN LOLODA, NORTH MALUKU (1808-1945)Abstract. Study on the position of traditional leadership in Loloda, North Maluku from the colonial period to the early Indonesia (1945)(1946)(1947)(1948)(1949)(1950)(1951)(1952)(1953)(1954)(1955)(1956)(1957)(1958) is the study to see the changing aspects on the position of leader in Loloda as the result of colonial politics and the influence of Ternate Monarch (Kesultanan Ternate). In relation to the issue, the problem raised is how is the position of traditional leader in Loloda in the colonial period to the early Indonesia (1945)(1946)(1947)(1948)(1949)(1950)(1951)(1952)(1953)(1954)(1955)(1956)(1957)(1958)? The method employed for this research is the historical one which includes heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The concepts used to analyze the issue are the concepts of power, stratification, social concept, and legitimation. The results show that the position ...
ini bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat, terutama para siswa, para petani, dan karang taruna, tentang pentingnya pengetahuan tentang seni di Kabupaten Ciamis untuk melestarikan budaya Sunda. Pengabdian kepada masyarakat ini dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan seni karinding di Ciamis. Dalam pelaksanannya, pengabdian ini bekerja sama dengan pemerintah daerah dan Karang Taruna. Metode yang digunakan dalam pengabdian ini adalah metode ceramah dan tanya jawab. Materi yang diberikan dalam pengabdian masyarakat ini adalah seni tradisional leluhur masyarakat Ciamis, yaitu seni karinding. Sumber data yang digunakan adalah menampilkan narasumber yang kompeten dalam bidang seni karinding sebagai data primer dan kajian pustaka sebagai data sekunder. Hasil yang dicapai dalam pengabdian ini adalah bahwa masyarakat Ciamis masih memelihara/melestarikan seni karinding sehingga bisa dijadikan satu di antara budaya leluhur di Ciamis.
Kesenian sisingaan merupakan kesenian yang berasal dari daerah di sebelah utara Provinsi Jawa Barat bernama Kabupaten Subang. Sampai saat ini, kesenian sisingaan dipersepsikan oleh banyak orang sebagai bagian dari perjuangan rakyat yang dalam hal ini perlawanan terhadap tuan tanah atau penjajah. Namun, pendapat ini perlu ditinjau ulang mengingat beberapa pakar kesenian seperti Edih dan Armin Asdi yang mengatakan bahwa pada awalnya kesenian ini berfungsi sebagai alat untuk mengarak anak-anak yang akan dikhitan. Maka, untuk menjabarkan persoalan tersebut peneliti menggunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kesenian sisingaan tidak lahir sebagai aksi perlawanan karena sebelum aksi tersebut terjadi, kesenian ini telah ada dan beberapa kali digelar pada acara khitanan. Setidak-tidaknya ada dua indikator yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan latar belakang terbentuknya sisingaan. Pertama, ia merupakan bagian integral dari proses islamisasi di Subang. Kedua, sebagai bentuk penghormatan kepada P.W. Hofland karena telah berjasa membangun Subang beserta penduduknya. Kata kunci: kesenian sisingaan, historis, Subang.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.