<p>The title of this research is Reconstruction of Galuh Kingdom in 8<sup>th</sup>-15<sup>th</sup>century. Issue that will be studied is how to unravel the location of the capital and palace shape of Galuh Kingdom. To answer the issue is used the historical method which consists of four steps, namely heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Result of this research is that the existence of Galuh Kingdom is a history, not a myth. Historical sources which support the many arguments of its existence including inscriptions, foreign news, ancient manuscripts, social facts and mental facts. In addition, the life of its existence as long as eight centuries shows that Galuh Kingdom is not just existent but also strong because it is supported by a variety of solid and coherent system. Concerning about the location of capital and shape of the Kingdom , it still needs to explore further.</p><p> </p><p>Judul penelitian ini adalah Rekonstruksi Galuh Raya di abad ke-8-15. Masalah yang akan dipelajari adalah bagaimana mengungkap lokasi dari bentuk modal dan istana Kerajaan Galuh. Untuk menjawab masalah tersebut digunakan metode sejarah yang terdiri dari empat langkah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini adalah bahwa keberadaan Kerajaan Galuh adalah sejarah, bukan mitos. Sumber-sumber sejarah yang mendukung banyak argumen keberadaannya termasuk prasasti, berita asing, naskah kuno, fakta sosial dan fakta mental. Selain itu, kehidupan keberadaannya selama delapan abad menunjukkan bahwa Kerajaan Galuh tidak hanya ada tapi juga kuat karena didukung oleh berbagai sistem yang solid dan koheren. Mengenai tentang lokasi ibukota dan bentuk Kerajaan, masih perlu untuk menjelajahi lebih lanjut.</p><p> </p>
Penelitian tentang pengobatan alternatif penyakit tulang ini dilakukan dengan tujuan, pertama, untuk mengungkap faktor-faktor yang menjadi alasan pengobatan alternatif penyakit tulang masih sangat diminati oleh masyarakat; kedua, menjelaskan kearifan lokal yang digunakan oleh para terapis penyakit tulang dalam praktik pengobatan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan kearifan lokal para terapis penyakit tulang di wilayah Jawa Barat. Pengumpulan datanya dilakukan melalui studi lapangan, wawancara, dan studi pustaka. Hasil yang diperoleh dari penelitian lapangan adalah terungkapnya alasan masyarakat masih menggunakan jasa pengobatan tradisional. Alasan itu meliputi alasan praktis, ekonomis, berdaya guna, dan berhasil guna. Selain itu, terungkap juga kearifan lokal yang diwujudkan dalam cara penanganan pasien. Simpulannya adalah pengobatan alternatif penyakit tulang bukan lagi sebagai alternatif tetapi menjadi pilihan utama dan pertama. Oleh karena itu, kearifan lokal yang berkait dengan hal itu perlu diwariskan kepada generasi berikutnya dan sekaligus disistematisasi secara metodologis.This research aims to study why alternative medicine for bone disease is still in great demand by the public and to explain the local wisdom used by therapists for bone disease in West Java. This study uses a descriptive-qualitative method. Data collection is carried out through field studies, interviews, and literature studies. The results show that efficaciousness of its treatment are the reasons why the appeal for alternative medicine for bone disease aren’t declining, besides it having practical and economic advantages. In addition, local wisdom in handling patients plays an important part in its success. The conclusion is that alternative treatments for bone disease are no longer an alternative but they are becoming the first and foremost choice. Therefore, its local wisdom needs to be passed on to the next generation and at the same time methodologically systematized.
ABSTRAK. Studi mengenai kedudukan kepemimpinan tradisional di Loloda Maluku Utara`pada masa kolonial hingga masa kemerdekaan Indonesia (1945)(1946)(1947)(1948)(1949)(1950)(1951)(1952)(1953)(1954)(1955)(1956)(1957)(1958) merupakan studi untuk melihat aspek-aspek perubahan terhadap kedudukan pemimpin di Loloda sebagai akibat dari politik kolonial dan pengaruh Kesultanan Ternate. Berkaitan dengan hal tersebut, masalah yang diangkat adalah bagaimana kedudukan pemimpin tradisional di Loloda pada masa kolonial dan masa kemerdekaan Indonesia (1945)(1946)(1947)(1948)(1949)(1950)(1951)(1952)(1953)(1954)(1955)(1956)(1957)(1958)? Adapun metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sementara konsep yang digunakan untuk menganalisis masalah adalah konsep kekuasaan, stratifikasi sosial dan legitimasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan pemimpin tradisional di Loloda pada masa kolonial (1808-1909) mengalami degradasi dengan diubahnya status Kerajaan Loloda menjadi distrik oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun, pemimpinnya tetap memakai gelar raja (kolano) karena didukung oleh otoritas dan legitimasi tradisional, kharismatik serta sistem pewarisan kekuasaan (assigned status) dalam status sosialnya. Dalam konteks ini, Pemerintah Kolonial juga mengakui gelar raja (kolano) sebagai strategi membangun kekuasaanya di Loloda. Pengakuan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap gelar raja (kolano) berakhir pada 1909 ketika raja dianggap mendalangi pemberontakan warganya yang mengakibatkan tewasnya Petugas Belanda yang bertugas di Loloda. Saat itulah kepala distrik (hoofd district) memakai gelar sangaji. Pada masa kemerdekaan Indonesia, kedudukan pemimpin tradisional disimbolkan dengan mangkubumi (jogugu), namun masyarakat Loloda menganggapnya sebagai raja (kolano). Dengan demikian, kedudukan pemimpinnya terlembagakan berdasarkan otoritas dan legitimasi tradisional, kharismatik dan sistem pewarisan (assigned status).Kata kunci: Loloda, kepemimpinan, otoritas, legitimasi. AUTHORITY AND LEGITIMATION OF POSITION TRADITIONAL LEADER IN LOLODA, NORTH MALUKU (1808-1945)Abstract. Study on the position of traditional leadership in Loloda, North Maluku from the colonial period to the early Indonesia (1945)(1946)(1947)(1948)(1949)(1950)(1951)(1952)(1953)(1954)(1955)(1956)(1957)(1958) is the study to see the changing aspects on the position of leader in Loloda as the result of colonial politics and the influence of Ternate Monarch (Kesultanan Ternate). In relation to the issue, the problem raised is how is the position of traditional leader in Loloda in the colonial period to the early Indonesia (1945)(1946)(1947)(1948)(1949)(1950)(1951)(1952)(1953)(1954)(1955)(1956)(1957)(1958)? The method employed for this research is the historical one which includes heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The concepts used to analyze the issue are the concepts of power, stratification, social concept, and legitimation. The results show that the position ...
Nyangku traditional ceremony has been practiced for a long time from generations to generations by Panjalu royal ancestors. The tradition is in the form of cleansing the Keywords: traditional ceremony, nyangku, function, myth ABSTRAKUpacara adat nyangku sudah berlangsung sejak lama dan dilakukan secara turun temurun oleh para leluhur kerajaan Panjalu. Kegiatan ini berupa membersihkan pedang Dulfi kor yang menjadi benda pusaka utama dalam upacara adat nyangku. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, studi pusataka dan dokumentasi. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah fungsi dan mitos. Fungsi yang terdapat dalam upacara adat nyangku ini berkaitan dengan beberapa aspek atau elemen yang saling berkaitan. Sedangkan mitos yang dijelaskan bukan hal yang bersifat mistis, namun sebuah pemaknaan dalam upacara adat nyangku. Hasil penelitian ini menjelaskan fungsi dari beberapa aspek dalam upacara adat nyangku, seperti tokoh masyarakat (sesepuh), pemerintah, situs dan bangunan adat, masyarakat, kuncen dan Yayasan Borosngora. Kemudian menjelaskan mitos yang terdapat dalam upacara adat nyangku yaitu air, kain, sesajen, gembyung, kele, dan Dulfi kor.
This study aims to analyze the concept of Madurese culture in the context of settlement and agriculture. The Madurese community is an agrarian society originating from the island of Madura with the dominant characteristic of using the Madurese language. Today, the Madurese are famous for the habit of people who often migrate outside the island of Madura, this is done solely to meet the economic needs of the Madurese. Many factors affect the migration activity, but the most dominant is that on the island of Madura the land is not fertile so that the Natural Resources in Madura are not well developed, especially in the agricultural sector. Even so, the Madurese have the concept of living and farming. In the concept of living it is known as the Tanean Lanjheng, while in the agricultural system it is known as the Moor Ecological system. This study uses a historical method approach consisting of heuristics, criticism, interpretation and historiography. Therefore, in this study, it is known: 1) Ecological systems in the agricultural system on the island of Madura, 2) The housing ecology system of the Madurese community, and 3) Implications of the agricultural and housing system on the socio-economy community of Madura.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.