AbstrakLatar Belakang: Sindrom Down merupakan suatu kelainan kromosom yang ditandai dengan adanya baik seluruhnya (trisomi 21) maupun sebagian (translokasi) suatu salinan tambahan kromosom ke 21. Apolipoprotein E (APOE) merupakan suatu bentuk protein polimorfik yang disandikan oleh suatu gen yang berlokasi pada lengan panjang kromosom 19 pada posisi 13.2 (19q13.2). Polimorfism gen APOE berkaitan dengan meningkatnya frekuensi alel ε4 yang berakibat terjadinya hambatan dalam percabangan dan pertumbuhan neuron. Dimungkinkan, penderita Sindrom Down Trisomi 21 memiliki gen APOE yang berbeda dengan kontrol sebagai faktor yang dapat mengakibatkan penuaan dini otak. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol untuk mengamati perbedaan distribusi dan frekuensi alel dan genotip gen APOE pada penderita Sindrom Down trisomi 21 dibandingkan dengan kontrol. Kasus Sindrom Down dan kontrol diambil dari data sekunder yang tersimpan di Center for Biomedical Research (CEBIOR) Semarang Indonesia. Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan metode yang terdapat di (CEBIOR) Semarang Indonesia. Kegiatan selanjutnya adalah pemeriksaan polimorfisme gen Apolipoprotein E dengan mengunakan teknik PCR dan RFLP. Hasil : Sebanyak 33 sampel dari penderita Sindrom Down, 18 laki-laki dan 15 perempuan dan 33 sampel kontrol, 18 laki-laki dan 15 perempuan. Baik sampel Sindrom Down maupun kontrol memiliki frekuensi alel ε3 paling tinggi dibandingkan dengan alel ε2 dan ε4. Pada Sindrom Down didapatkan alel ε4 4 sampel (6,1%) dan alel ε2 8 sampel (12,1%). Baik sampel Sindrom Down maupun kontrol memiliki genotip ε3/ε3 paling tinggi dibandingkan dengan genotip gen APOE lainnya. Pada Sindrom Down didapatkan genotip ε2/ε4 4 sampel (12,1%) dan genotip ε2/ε2 2 sampel (6,1%). Simpulan : Terdapat perbedaan distribusi alel dan genotip gen APOE pada penderita Sindrom Down trisomi 21 dibandingkan dengan kelompok kontrol. Diperlukan analisis sampel yang lebih banyak untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini.Kata kunci: Sindrom Down, Polimorfisme, Apolipoprotein E.AbstractBackgrounds :Down syndrome is an abnormal chromosomal condition, characterized by the presence of all (trisomy 21) or part (such as due to translocations) of a third copy of chromosome 21. Apolipoprotein E (APOE) is a polymorphic protein coded by a gene located on the long arm (q) of chromosome 19, positioning at 13.2 (19q13.2). Polymorphism of APOE gene is related with the increasing of allele ε4’s frequency thus cause obstruction in neuron ramification and development. In previous study, Down Syndrome groups are having different type of APOE gene compared with control. That why it can be considered as one of the caused premature aging of brain. Methods : This is a case control study to observe the difference of distribution and frequency of APOE gene allele and genotype in Down Syndrome Trysomi 21 compared to control. Down Syndrome and control samples was taken as secondary data from Center for Biomedical Research (CEBIOR) Semarang Indonesia. DNA extraction was done by using the commonly used salting out method in CEBIOR Semarang Indonesia. Subsequently polimorphism of APOE gene analysis has been done by using PCR and RFLP.Result : Thirty three samples were Down Syndrom patients, consist of 18 male and 15 female. Thirty three samples are control, consist of 18 male and 15 female. Both groups were having the highest frequency of allele ε3 compared to allele ε2 and ε4. In Down Syndrome, frequency of ε4 allele was found in 4 samples (6,1%) while allele ε2 was found in 8 samples (12,1%). Genotype ε3/ε3 were the highest frequency on both group compared to the other. In Down Syndrome group identified ε2/ε4 genotype in 4 samples (12,1%) and ε2/ε2 genotype in 2 samples (6,1%).Conclusion : There is slight difference distribution of APOE gene allele and genotype in Down Syndrome Trysomi 21 compared to control. More samples should be analyzed to confirm this finding.Keywords:Down Syndrome, Polymorpism, Apolipoprotein E.
Menyusui adalah cara terbaik dalam memberikan nutrisi ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Air Susu Ibu (ASI) mengandung protein dengan fungsi imunologis yaitu Immunoglobulin A (IgA) sekretori, laktoferin, dan lisozym. IgA sekretori dalam ASI berfungsi melindungi bayi dari infeksi bakteri, virus, maupun parasit. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar imunoglobulin A sekretori dalam ASI dengan berat badan bayi yang mendapat ASI eksklusif. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang diselenggarakan di RSUP M Djamil, beberapa puskesmas, dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Subjek penelitian adalah ibu dan bayi yang melaksanakan ASI eksklusif, berumur 4-6 bulan, dan bersedia ikut penelitian. Jumlah sampel minimal 59 subjek dan diambil secara consecutive sampling. Analisis statistik dengan Analisis Bivariat Korelasi Pearson. Didapatkan 60 subjek ikut serta dalam penelitian. Hasil: Jenis kelamin terbanyak perempuan yaitu 51,67% dengan usia bayi rata-rata 4,5 bulan. Berat badan rata-rata 6,75 kg SD +0,95. Kadar IgA sekretori rata-rata 17,3 ng/ml, SD +3,14. Didapatkan nilai p hubungan kadar IgA sekretori dalam ASI dan berat badan 0,908. Kesimpulan: Kadar imunoglobulin A sekretori dalam ASI tidak berhubungan dengan berat badan pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.
AbstrakDalam kriteria diagnosis IMA oleh WHO salah satunya apabila ditemukan peningkatan kadar enzim jantung. Troponin T merupakan salah satu enzim jantung yang akan meningkat apabila terjadi kerusakan sel miokardium. Tujuan penelitian ini adalah menentukan hubungan antara kadar Troponin T dan luas infark miokard yang diukur dengan metode skoring QRS Selvester. Ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional yang dilaksanakan dari Oktober 2013 sampai September 2014 di Subbagian Rekam Medis RS Khusus Jantung YJI Cabang Utama Sumatera Barat. Analisis data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan p ≤ 0,05 jika bermakna. Sampel penelitian adalah data rekam medis semua pasien dengan diagnosis IMA di RS Khusus Jantung YJI Cabang Utama Sumatera Barat periode Juli 2013 – Juni 2014 yang diambil dengan teknik total sampling. Penyeleksian data menghasilkan 81 data pasien dengan diagnosis IMA dan 37 data yang memiliki hasil pemeriksaan troponin T dan EKG. EKG digunakan untuk menentukan luas infark dengan menggunakan metode skoring QRS Selvester dengan hasil luas infark rendah, sedang, dan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar Troponin T dengan luas infark pada pasien IMA dengan nilai p = 0,097 (p > 0,05). Kesimpulan penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan antara kadar Troponin T dan luas infark miokard.Kata kunci: troponin T, luas infark miokard, infark miokard akut, skoring QRS Selvester AbstractThe one of WHO criteria for the diagnosis of AMI is the elevated levels of cardiac enzymes. Troponin T is one of cardiac enzyme that will increase if there is a myocardial cells damage. The objective of this study was to determine the correlation between troponin T level and myocardial infarction size that measured by using Selvester QRS scoring method. This research was an analytic research with cross sectional design that conducted in October 2013 to September 2014 in the sub-section of Medical Record of Khusus Jantung YJI Cabang Utama Sumatera Barat hospital. Analysis of the data was using the Kolmogorov-Smirnov test to determine the correlation with p ≤ 0.05 was significant. Samples of the research were medical record data of all patients with diagnosis of AMI in the Khusus Jantung YJI Cabang Utama Sumatera Barat hospital period July 2013 - June 2014 that were selected with a total sampling technique. The result of data selection was 81 patients with diagnosis of AMI and 37 data with the results of Troponin T and ECG Examination. ECG results were used to determine infarction size by using Selvester QRS scoring method with results low, medium, and high of infarction size. The results shown that there was no significant correlation between Troponin T level and myocardial infarction size with p value was 0.097 (p> 0.05). The conclusion of this research is there is no correlation between Troponin T level and myocardial infarction size.Keywords: troponin T, myocardial infarction size, acute myocardial infarction, Selvester QRS scoring
AbstrakTujuan yang ingin dicapai dalam penulisan gagasan tertulis ini adalah menjelaskan kajianbiologi molekuler, imunologi dan aspek genetik pada infeksi HIV-1 serta memaparkandiagnosa yang efektif untuk mengetahui infeksi HIV-1 yang dapat diterapkan. Pengumpulandata dan informasi didapatkan melalui buku dan jurnal-jurnal ilmiah hasil penelitian. Datadan informasi yang diverifikasikan lebih lanjut terbatas pada bukti yang menunjukkanjenis-jenis diagnosa HIV-1 dan membuat jenis diagnosa yang lebih efektif. Setelah semuadata yang dibutuhkan terkumpul, dilakukan pengelolaan data dengan menyusun secarasistematis dan logis. Tes Double-detect Protein kemungkinan memiliki keefektifan lebihtinggi dari tes yang mendeteksi antigen p24 ataupun tes yang mendeteksi antibodi.Diagnosa dini pada infeksi HIV merupakan diagnosa yang dapat membantu pendeteksianHIV pada fase awal infeksi hingga sebelum masuknya fase serokonversi. Pada saat inilahtes Double-Detect Protein dapat dilakukan. Namun, perlu dilakukan tes NASBA sebagai followup test.AbstractThe objectives of this writing were to explain the topic of molecular biology,immunology, and the genetic aspect of HIV infection type I. And also to give out a moreeffective diagnose of HIV type I that can be applied. The data and information werecollected from various books and scientific journals resulted from research. Data andinformation was verified further limited to the evidence that shows the types of diagnosesof HIV-1 and created a more effective type of diagnoses. Once all the required datacollected, data management was done by arranging a systematic and logical manner. TheProtein Double-Detect test had the possibility of having a higher effectiveness compared to p24antigen test or antibody detection tests. Early diagnosis of HIV infection is a diagnosis thatcan help the detection of HIV in the early phase of infection prior to the entry phase ofseroconversion. At this time Double-Detect Proteins Test can be done. However, NASBA testsneeded as a follow-up test.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.