The majority of scientific research in the world agrees that vaccination is a vital instrument that aims to solve the problem of the Covid-19 pandemic. In achieving this goal, the government is trying to ensure that vaccinations run as they should. Even though it is regulated in laws and regulations, the enforcement of vaccination law is not easy to implement. This article aims to examine the formulation of the legal basis that can ensure effective enforcement of vaccination law in Indonesia. By using normative legal research, this study aims to answer several problems. First, is vaccination a right or obligation for every citizen? Second, what are the legal bases that can be used to enforce the vaccination law in Indonesia? Third, what is the state’s responsibility for adverse events following vaccination in return for the vaccination obligation? This article provides a view that the principle of emergency reason does not know the law (necessitas non habet legem) can be an indicator of a shift in vaccination status which was originally only a right to become obligation. In addition, the wederspanningheid article in the Criminal Code (KUHP) regarding resistance to officers carrying out state obligations can be the legal basis for enforcing vaccination law. Furthermore, the enforcement of vaccination law must also go hand in hand with the state’s responsibility for adverse events following vaccination. Responsibilities can be in the form of vaccine testing, treatment, care, and court lawsuits if there is a default or unlawful act.
Artikel ini berupaya meninjau kembali praktik koalisi partai politik di tengah sistem presidensial pasca reformasi, dan menilai sejauh mana dampaknya terhadap kestabilan pemerintahan. Pasca reformasi 1998, sejumlah besar partai politik telah didirikan, menunjukkan bahwa munculnya fragmentasi politik adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Alih-alih melaksanakan pemerintahan secara sehat, partai politik membentuk koalisi untuk memperkuat kedudukan mereka di parlemen. Implikasi penerapan multi partai dalam sistem presidensial ini seringkali menimbulkan deadlock antara eksekutif dan legislatif. Sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi partai dapat menjadi sistem yang stabil dan efektif dengan cara penyederhanaan partai politik, desain pelembagaan koalisi, dan pengaturan pelembagaan oposisi. Namun di sisi lain koalisi juga menjadi sangat berpengaruh pada stabilitas pemerintahan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, artikel ini bertujuan untuk meneliti politik hukum terkait praktik koalisi partai politik di Indonesia dan mengetahui upaya-upaya dalam praktik ketatanegaraan yang dapat merealisasikan stabilitas sistem pemerintahan presidensial pada koalisi di multi partai. Artikel ini menemukan kesimpulan bahwa model pemilihan legislatif dan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat justru menjadi penyebab disharmonisasi antara legislatif dan eksekutif yang mengarah kepada terjadinya kebuntuan antar kedua lembaga tersebut. Lebih-lebih apabila yang menguasai lembaga ekesekutif dan lembaga legislatif adalah dari latar belakang partai politik yang berbeda. Akibatnya, praktik koalisi seperti ini cenderung mengakibatkan lebih banyak masalah, sehingga penerapan sistem ini memiliki dampak signifikan terhadap demokrasi yang didefinisikan dan dinegosiasikan. This article attempts to review the practice of coalitions of political parties in the post-reform presidential system and assess the extent of their impact on the stability of the government. Post-1998 reform, a large number of political parties have been established, suggesting that the emergence of political fragmentation is inevitable. Instead of implementing a healthy government, political parties formed coalitions to strengthen their positions in parliament. The implication of implementing multi-party in the presidential system often creates deadlocks between the executive and the legislature. A presidential system combined with a multi-party system can become a stable and effective system by simplifying political parties, designing institutionalized coalitions, and organizing opposition institutions. But on the other hand, the coalition has also greatly influenced the stability of the government. By using normative juridical research methods, this article aims to examine legal politics related to the practice of political party coalitions in Indonesia and to find out the efforts in state administration practices that can realize the stability of the presidential system of government in multi-party coalitions. This article finds the conclusion that the legislative and executive election models directly elected by the people are the cause of disharmony between the legislature and the executive which leads to a deadlock between the two institutions. This is even more so if those who control the executive and legislative bodies are from different political party backgrounds. As a result, coalition practices like this are likely to cause more problems, so the adoption of these systems has a significant impact on defined and negotiated democracy.
Sejak dekade awal reformasi, sejumlah besar partai politik (parpol) telah didirikan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia di era pasca-Soeharto tidak dapat menghalangi munculnya fragmentasi politik. Dengan mempertimbangkan sistem multi-partai ideal Sartori, pemerintah yang efisien harus mengadopsi pluralisme moderat di parlemen. Alih-alih mampu mendorong pluralisme moderat, hasil pemilihan umum (Pemilu) Indonesia setelah reformasi justru menghasilkan pluralisme ekstrem dengan partai-partai pemenang minoritas yang mengakibatkan pemerintahan yang lemah. Meskipun tidak ada ketentuan konstitusional tentang ambang batas pemilihan ini, dalam praktiknya, ambang batas pemilihan dipandang sebagai alternatif untuk menyederhanakan sistem multi-partai yang kompleks. Di sisi lain, penentuan jumlah persentase ambang batas pemilihan dilakukan tanpa metode dan argumen yang memadai. Dari Pemilu ke Pemilu persentase ambang batas pemilihan selalu berbeda-beda. Selain itu, para pembuat kebijakan hanya berpendapat bahwa semakin tinggi ambang pemilihan proses politik dan pengambilan keputusan akan lebih sederhana dan lebih efisien, tanpa dapat menjelaskan secara terukur angka ideal untuk setiap pemilihan dalam keadaan apa pun. Akibatnya, sistem ini dapat mengabaikan aspirasi pemilih yang suaranya sudah hangus tanpa sempat dihitung untuk konversi kursi DPR.
Ada begitu banyak pengakuan bahwa ketahanan pangan hanya ditentukan oleh ketersediaan lahan, teknologi, benih, iklim, dan cuaca. Namun, bukti yang berkembang pesat menunjukkan bahwa ketersediaan petani juga memiliki peran penting dalam memenuhi tantangan ketahanan pangan. Secara tidak langsung, jaminan ketersediaan petani juga menjadi indikator penting dalam menilai upaya penjaminan hak atas pangan. Artikel ini bertujuan untuk membahas sejauh mana ketersediaan petani dan regenerasinya terkait dengan ketahanan pangan. Artikel ini juga ingin merefleksikan bagaimana ketersediaan regulasi terhadap keberlanjutan pertanian yang memadai memiliki arti penting dalam menjamin hak atas pangan bagi warga negara. Dengan menggunakan penelitian hukum normatif yang dikolaborasikan dengan metode Reform Oriented Research, penelitian ini akan menjawab beberapa permasalahan. Pertama, bagaimana keterkaitan antara regenerasi petani dan ketahanan pangan? Kedua, bagaimana tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas pangan? Ketiga, bagaimana formulasi regulasi regenerasi petani untuk menjaga asa ketahanan pangan? Artikel ini mengklarifikasi bahwa ketersediaan petani memiliki pengaruh signifikan terhadap produksi pangan. Artikel ini juga menemukan bahwa negara memiliki peran penting dalam membangun regulasi pertanian yang dapat menjamin ketahanan pangan. Puncaknya, artikel ini mengusulkan dukungan regulasi yang terarah untuk memungkinkan tersedianya regulasi tentang regenerasi petani untuk menjawab tantangan ketahanan pangan.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.