Penggunaan teknologi di masa pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak positif tetapi juga berdampak negatif. Anak-anak yang menggunakan teknologi tanpa pengawasan dapat mengakses konten pornografi dan membangkitkan rasa ingin tahu untuk mempraktikkannya. Seperti anak dalam Putusan No. 17/Pid.Sus-Anak/2021/PN.Srg yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak lain. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk pertanggungjawaban atas tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk menelaah aturan atau norma dalam ius constitutum. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum dan pendekatan kasus. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa unsur kesalahan sangat diperlukan untuk akuntabilitas anak pelaku. Kesalahan yang disengaja (opzet als oogmerk) telah dibuktikan oleh anak pelaku kepada anak korban dengan mengajaknya melakukan hubungan suami istri sebagai motivasinya untuk mempraktekkan konten pornografi yang diakses oleh anak pelaku. Jadi berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak pelaku dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Tangerang dan Praktek Kerja Lapangan bagi anak pelaku selama 1 (satu) bulan.
This research was conducted to find out how the campus actions as a non-penal effort in eradicating narcotics abuse. By using the normative juridical method, namely reviewing the norms in positive law, the approach in this research is statutory and uses secondary material as a source in research. It can be concluded that the campus as an educational environment if you want to produce outstanding graduates, must take good care of the behavior of its students, both academic and non-academic. In the non-academic field, campuses can ensure that their students are free from narcotics abuse by making preventive efforts (non-penal efforts) as a follow-up to the Presidential Instruction of the Republic of Indonesia Number 6 of 2018 campuses can carry out several non-penal efforts including legal advocacy, formation of cadres, information dissemination and reporting
The criminal justice system in Indonesia, like many other countries, faces the challenge of effectively addressing crime while ensuring justice for victims and rehabilitation for offenders. In response to the limitations of the traditional punitive approach, restorative justice has emerged as an alternative paradigm, emphasizing healing, reconciliation, and community involvement. This research study aims to trace the effectiveness of restorative justice practices within the Indonesian criminal justice system through a comparative analysis. By employing a mixed-methods approach, the research combines quantitative data from official criminal justice statistics and qualitative data from interviews, case studies, and focus groups. The findings reveal that restorative justice cases demonstrate higher rates of victim engagement, increased offender accountability, and lower recidivism rates compared to conventional cases. Victims express higher levels of satisfaction with the restorative justice process, and practitioners acknowledge its potential benefits. However, challenges in implementation and the need for community support are also evident. The research contributes to the ongoing discourse on criminal justice reform in Indonesia and provides evidence-based insights to guide policymakers in developing a more balanced and effective approach to addressing crime and promoting justice, healing, and restoration within society.
Kejahatan narkotika sangat meresahkan di banyak negara dan penggunaan secara melawan hukum menyebabkan kerusakan otak dan fisik penggunanya. Negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia telah melakukan segala upaya untuk memberantas kejahatan tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua negara tersebut kemudian menjadi sebuah ulasan perbandingan yang menarik untuk diteliti, terutama tentang perbedaan kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam menangani kejahatan narkotika antara kedua negara. Penelitian yang menggunakan metode perbandingan makro membandingkan sistem civil law yang diterapkan di Indonesia dan common law di Malaysia. Temuan menunjukkan bagaimana UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Indonesia dan Akta 234 Akta Dadah Berbahaya 1952 (revisi 1980 dan amandemen terbaru 2014) di Malaysia yang bertujuan untuk memberantas kejahatan narkotika atau dadah memiliki tiga perbedaan utama, yakni (1) penjatuhan pidana mati yang bersifat mandatori di Malaysia, (2) yurisprudensi menjadi sumber hukum utama common law (di Malaysia), serta (3) pengedepanan prinsip premum remidium di Indonesia yang berbanding terbalik dengan penerapan ultimum remidium di Malaysia.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.