Penelitian ini berjudul Peran Lembaga Adat Masyarakat Donggo (LAMDO) dalam Menyelesaikan Konflik Antar masyarakat di Kabupaten Dompu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran Lembaga Adat Masyarakat Donggo (LAMDO) dalam menyelesaikan konflik antarmasyarakat di Kabupaten Dompu. Bersandar pada pendekatan penelitian kualitatif, diperoleh hasil yang menegaskan bahwa tokoh adat yang mengorganisir diri melalui Lembaga Masyarakat Adat Donggo (LAMDO) mampu memposisikan diri sebagai salah satu unsur paling sentral di tengah kehidupan masyarakat tatkala konflik komunal antarwarga desa mencuat ke permukaan dan bertindak pula sebagai pelengkap spektrum peran “resolusi konflik” yang dilaksanakan unsur Pemerintah Kabupaten Dompu. Lembaga adat yang sebelumnya sudah lama tidak berfungsi bahkan hilang, coba dihidupkan lagi dan dimaksimalkan perannya. LAMDO menjadi pihak yang sangat berperan aktif dalam menggalang dan menjaga perdamaian pada saat konflik ataupun pasca konflik terjadi, tokoh adat yang ada pun merupakan pihak pertama yang coba didekati oleh pihak pemerintahan, karena melihat pentingnya dan strategisnya lembaga adat di tengah masyarakat Dompu. Karena dipercaya lembaga adat lebih dapat diterima oleh masyarakat setempat. Masyarakat sebetulnya memiliki kemampuan dan sensitivitas yang disebut “kearifan lokal” dalam menjaga kelangsungan dinamika masyarakat termasuk mengantispasi bahaya yang mengancam dan menyelesaikan konflik. Memberdayakan kearifan lokal sebagai alternatif solusi dalam penanganan konflik merupakan pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik. Dan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa LAMDO telah mampu mendayagunakan kearifan lokal dalam penanganan konflik komunal yang terjadi di Kabupaten Dompu, terutama pada kasus konflik warga Desa O’o dengan Lingkungan Kota Baru tahun 2014 lalu. Kemampuan LAMDO tersebut merefleksikan signifikasi dan fungsi kearifan lokal dalam resolusi konflik, yakni sebagai (a) penanda identitas sebuah komunitas, (b) elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, (c) sesuatu yang tidak bersifat memaksa tetapi lebih merupakan kesadaran dari dalam, (d) pemberi warna kebersamaan sebuah komunitas, (e) perubah pola fikir serta penyemai hubungan timbal-balik kelompok individu dan meletakkannya di atas common ground, dan (6) pendorong proses apresiasi, partisipasi sekaligus meminimalisir anasir yang merusak solidaritas dan integrasi komunitas.
Judul penelitian ini adalah : “Prospek Development And Visitor’s Management Gunung Tambora Sebagai Taman Nasional Di Kabupaten Bima. Dengan tujuan : 1) untuk mengetahui kondisi lingkungan internal dan eksternal mengembangkan Pariwisata Taman Nasional Gunung Tambora pada aspek development and visitor’s management di Kabupaten Bima, 2) Untuk mengetahui 2. Strategi apakah yang menjadi prioritas dalam mengembangkan Pariwisata Taman Nasional Gunung Tamborapada aspek development and visitor’s management di Kabupaten Bima, dan 3) Untuk mengetahui 3.Untuk mengetahui Alternatif strategi yang paling tepat dikembangkan Pariwisata Taman Nasional Gunung Tamborapada aspek development and visitor’s management di Kabupaten Bima. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Sampel di ambil dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang merupakan pengelola yang diserahi tanggung jawab untuk mengelola obyek wisata secara langsung. Tehnik penarikan sampel menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini selain menggunakan wawancara, observasi dan studi dokumentasi. (d) Tehnik analisis data menggunakan deskriptif kualitatif dengan pendekatan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian bahwa : pertama; kondisi lingkungan internal dan eksternal mengembangkan Pariwisata Taman Nasional Gunung Tambora pada aspek development and visitor’s management di Kabupaten Bima meliptuti : Lingkungan internal terdiri dari; potensi obyek wisata alam, partisipasi dan dukungan masyarakat sekitar kawasan Gunung Tambora, dukungan infrastruktur transportasi jalan dan jembatan, dukungan pelaku ekonomi di sekitar kawasan Gunung Tambora, dan kedua; lingkungan eksternal, meliputi : Kebijakan Pemerintah daerah pengembangan kawasan wisata Gunung Tambora, Wisatawan domestic/nasional mapun mancanegara, serta kegiatan event budaya terkait dengan Tambora Menyapa Dunia, kedua; Strategi yang menjadi prioritas dalam mengembangkan Pariwisata Taman Nasional Gunung Tambora pada aspek development and visitor’s management di Kabupaten Bima, melalui Destinasi Bentang Tambora saat ini di dominasi oleh wisata alam dan wisata sejarah dan wisatawan dapat melakukan camping ground, belajar mengolah kopi, melihat situs arkeologi sisa letusan gunung Tambora tahun 1815, sampai wisata air terjun atau wisata panen madu yang unik. Dan Ketiga; Alternatif strategi yang paling tepat dikembangkan Pariwisata Taman Nasional Gunung Tamborapada aspek development and visitor’s management di Kabupaten Bima, meliputi : Promosi , khususnya ke luar negeri mengenai potensi pariwisata yang ada di Bima, b. Bekerjasama dengan daerah lain yang telah berkembang dengan pesat pariwisatanya, misalnya Bali, c. Menumbuh kembangkan biro-biro perjalanan umum daerah, d. Mengikuti event-event dalam skala nasional dan internasional untuk memperkenalkan obyek wisata, e. Pengadaan buku-buku panduan pariwisata daerah seperti brosur, buklet dan lain-lain
This article discusses the dynamics of the practice of discriminating religious minorities in Oi Bura Village, Tambora District, Bima Regency, West Nusa Tenggara Province by dominant ethnic and/or religious adherents there. The practice of religious discrimination took the form of prejudice, different treatment, and political-economic restrictions experienced by Hindus as immigrants from Bali. The study case approach used in this study examined the relevance of two main aspects. These aspects include (1) the history of Oi Bura Village and the phenomenon of social segregation, and (2) the practice of discrimination against religious minorities in that village and the strategy of eliminating it through the iterative construction of social inclusion discourse. The process of separating the location of settlements between a group of people from Bali and other groups in Oi Bura Village reflects the continuity of the colonial heritage in the form of ethnic and religious residential segregation. As a result, this practice has triggered the emergence of social distances between community groups that have violated the principles of inclusion or social solidarity.
This paper discusses the public relations communication strategy of the Regional Government of Bima Regency with the vision of "RAMAH” (Religius, Aman, Makmur, Amanah, dan Handal) in building its positive image in the eyes of the public. This paper used descriptive-qualitative analysis, on how public relationofBima Regency builds a positive image to foster harmonious relations between government organizations and the community and prevent the occurrence of psychological barriers that may occur between them. Public relations is a management function that aims to bridge the gap between the organization and its internal and external stakeholders. All policies and whatever happens in the organization, managers of public relations must know it. As a spokesman for the government, the role of public relations in government circles is very important in building a positive image of the government. In the current era of openness, public relation has an important and strategic role to support the achievement of goals set by organizational management. In the context of development, many activities have been carried out by the public relation of the Bima Regency Government to form its positive image by conducting socialization, reporting by cooperating with online media, both local and national, to publish government programs and performance as a form of realization of the vision of "RAMAH”.
This paper aims to discuss the dynamic intersection between the spatial barriers and the tendency of the utilization of "mediated citizenship" by villagers in accessing public services. It is important to map out how villagers interact with authoritative service providers at the local government level, which is not done directly, but through the mediation of a third party, namely a local NGO that is implementing a program in their village. Based on the context of Oi Bura Village, the tendency of the utilization of mediator services of "LAKPESDAM PCNU Kabupaten Bima" in accessing public services (especially the residential identities) began to take shape because it was triggered by the poor people's consideration about the spatial stretch of their village area with the site of the service provider that would have an impact on financial expenses and bureaucratic severity factors that must be passed when accessing these basic services. Although the residential identities should be obtained automatically based on formal status as an Indonesian citizen, in practice the access of the poor villagers to basic services is achieved through a third party mediation role. The limitations of the service providers' responsiveness, accountability and institutional capacity to act proactively in solving the public problems are increasingly opening up the chance for "permanence" of facilitation of the state-citizen interaction by third parties.Keywords: access, citizenship, mediator, service, space AbstrakMakalah ini bertujuan untuk membahas persimpangan dinamis antara hambatan spasial dan kecenderungan pemanfaatan "mediated citizenhip" oleh warga desa dalam mengakses layanan publik. Penting untuk memetakan bagaimana masyarakat desa berinteraksi dengan pemberi layanan otoritatif di tingkat pemerintah daerah, yang tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui mediasi pihak ketiga, yaitu LSM lokal yang melaksanakan program di desanya. Berdasarkan konteks Desa Oi Bura, kecenderungan pemanfaatan jasa mediator “LAKPESDAM PCNU Kabupaten Bima” dalam mengakses pelayanan publik (khususnya identitas permukiman) mulai terbentuk karena dipicu oleh pertimbangan masyarakat miskin terhadap tata ruang. hamparan wilayah desanya dengan lokasi penyedia layanan yang tentunya berdampak pada pengeluaran keuangan dan faktor keparahan birokrasi yang harus dilalui saat mengakses layanan dasar tersebut. Meskipun identitas kependudukan seharusnya diperoleh secara otomatis berdasarkan status formal sebagai warga negara Indonesia, pada praktiknya akses masyarakat miskin terhadap layanan dasar dicapai melalui peran mediasi pihak ketiga. Keterbatasan daya tanggap, akuntabilitas, dan kapasitas kelembagaan penyedia layanan untuk bertindak proaktif dalam menyelesaikan masalah publik semakin membuka peluang untuk "kelanggengan" fasilitasi interaksi negara-warga oleh pihak ketiga.Kata kunci: akses, citizenship, mediator, layanan, ruang.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.