In the second trial BPUPKI, both nationalist and Islamic groups consensual that the future of Indonesia's independence will be based on the principle "godhood by running Shari'ah obligation for adherents". The consensus seems to be built on the foundation is not solid. Therefore it is not surprising that one day after the proclamation of independence, the agreement re-questioned. That same day, PPKI held a hearing to review the deal. As a result, the clause contained in the Preamble of the 1945 Constitution was changed to "Based on Belief in God Almighty". After the issuance of a Presidential Decree, began the debate about the existence of the spirit of the Jakarta Charter in 1945 which is applicable in the context of Indonesian politics in this contemporary age. Abstrak: Spirit Piagam Jakarta dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada sidang kedua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI / Dokuritsu Zyunbi Tyosakai) yang berlangsung sejak tanggal 10 hingga 16 Juli 1945, baik golongan nasionalis maupun golongan Islam berkonsensus bahwa masa depan Indonesia merdeka akan didasarkan pada sila "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Penting dicatat, konsensus tersebut agaknya dibangun di atas landasan yang tidak kokoh. Karena itu, tidak aneh bila satu hari setelah proklamasi Kemerdekaan RI, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, kesepakatan tersebut kembali dipersoalkan. Pada hari itu juga, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk tanggal 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh Soekarno, menyelenggarakan sidang untuk meninjau kembali kesepakatan tersebut. Dalam sidang tersebut, anak kalimat yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 (Piagam Jakarta), yakni: "Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi "Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Setelah penerbitan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dimulailah perdebatan yang masih terus berlanjut hingga detik ini, mengenai ada atau tidak adanya semangat Piagam Jakarta dalam UUD 1945 yang berlaku dalam konteks politik Indonesia di masa kontemporer ini. DOI: 10.15408/jch.v4i1.3568
The Concept of Ribâ in the Quran and Fiqh Literature. The majority of commentators (jumhûr al-mufassirîn) argued that the reference of riba is a gift (al-'athiyyah) of one person to another, not with the aim of reaching Allah's pleasure. However, riba was just to get a mere worldly rewards. The Qur'an did not explicitly mention the prohibition of riba. Therefore, the scholars differ on what is really meant by riba in Qur'an verses. Some scholars say the meaning of riba in the Quran is forbidden riba or riba nasî'ah. In this article, the concept of riba is studied based on the Jurisprudence literature.
Islam menawarkan jalan hidup damai, saling menghormati antar sesama dan mengakui keragaman dan perbedaan. Jalan hidup dalam kedamaian yang ditawarkan bahkan sangat sesuai dengan nama yang disandangnya yakni Islam yang bermakna “selamat” dan “damai”. Ke-Islaman seseorang yang telah diikrarkan dalam jiwa dan pemikirannya sepatutnya mengantarkannya menjadi duta perdamaian dimanapun dalam kondisi apapun. Dalam kenyataannya, ajaran damai dalam Islam acapkali disalahartikan oleh sebagian pemeluknya. Terdapat kelompok dalam Islam yang mengimplementasikan ajaran Islam dengan perangai yang sangat kaku dan kasar, memonopoli kebenaran agama dari perspektif kelompoknya saja. Pada titik tertentu, cara beragama yang mengedepankan kepongahan dan arogansi seperti ini, akan menjebak seseorang dalam perilaku ekstrimisme. Ekstrimisme sendiri terdiri dari tiga unsur; ekstrimisme ideologi, ekstrimisme takfiri dan ekstrimisme jihadis. Ketiganya merupakan benalu bagi kelangsungan peradaban umat manusia. Maka dari itu, konsep “damai” dalam beragama harus terus menerus diberikan penggung yang luas. Agar konsep ini mendapatkan legitimasi yang kokoh, maka harus digagas sebuah konstruksi pemikiran yang bersumber dari kitab suci Alquran. Dalam tulisan ini, penulis menyajikan ayat-ayat Alquran yang berperspektif perdamaian dan moderasi beragama serta multikulturalisme sebagai landasan untuk membangun kontra-narasi terhadap merebaknya fenomena keberagamaan yang anti keragaman dan berujung pada sikap ekstrimisme. Sudah menjadi keharusan bagi umat manusia sebagai “pengguna” kitab untuk membumikan kalam tersebut agar tujuan diciptakannya manusia sebagai khalifah fil ardl. Khalifah yang dikehendaki Tuhan tentu bukanlah sekelompok manusia beringas yang gemar menebar ancaman dan ketakutan kepada sesama manusia. Tetapi khalifah yang membangun peradaban umat manusia yang mengedepankan kesantunan dan harmoni.
Abstrak: Presiden Non-Muslim di Negara Muslim: Diskursus Politik Islam dalam Konteks Politik Indonesia Kontemporer. Artikel ini secara spesifik dimaksudkan untuk membahas secara kritis pendapat para cendekiawan Muslim Indonesia tentang kemungkinan non-Muslim menjadi presiden di Negara Republik Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Hingga detik ini, wacana Islam klasik tentang masalah ini cenderung terjebak dalam model analisis normatif yang terkesan rigid dan tidak toleran. Wacana ini, sampai batas tertentu, kurang dapat menghargai kondisi sosial, budaya, sejarah, dan kompleksitas politik masyarakat Muslim. Oleh karena itu, diskursus klasik mengenai masalah ini oleh banyak cendekiawan Indonesia kontemporer dipandang telah gagal merespons dinamika sosial-politik saat ini, terutama bila dilihat dari sudut pandang multi-kulturalisme dan demokrasi. Artikel ini membahas dimensi penting mengenai kepemimpinan non-Muslim di Indonesia yang sering dilupakan atau sangat jarang didiskusikan.Kata Kunci: Islam di Indonesia, Presiden Non-Muslim, Otoritas Tuhan, Piagam Jakarta.Abstract: A Non-Muslim President in a Muslim State: Islamic Political Discourse in Contemporary Indonesia. This article charts the political discourse amongst Islamic leaders regarding the possibility of a non-Muslim becoming President in Indonesia, the world’s most populated Muslim state, an important issue but one that is only seldom discussed in an academic context. Until recently, classical Islamic discourse on this issue, which has generally rejected this possibility, had tended to be trapped in a normative model of analysis which today seems intolerant and rigid. This article contends that this discourse, to some extent, does not properly appreciate the complex social, cultural, historical and political realities of the Muslim community today. Indeed, many other contemporary scholars view this mode of discourse as failing to respond to the current social-political dynamic, especially those scholars coming at it from a multicultural democratic perspective. Perhaps most importantly, the legal reality—even though there is a reasonable degree of controversy surrounding it—which is that there is no criterion that the President has to be Muslim, is also rejected by this discourse.Keywords: Islam in Indonesia, Non-Muslim President, God’s Authority, Jakarta CharterDOI: 10.15408/ajis.v12i1.971
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.